Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Soleman Itlay
Dampak peristiwa rasisme di Surabaya dan Malang pada 2019 sangat besar. Banyak orang West Papua yang tewas dan mengalami luka kritis. Ironisnya, peristiwa itu terjadi saat Indonesia memperingati hari ulang tahun ke-74.
Pelaku atas nama Tri Susanti dan Arifin memang telah ditahan, diproses hukum dan diadili oleh penegak hukum, tetapi hukuman yang dijatuhkan atas mereka ini tidak sebanding dengan hukuman yang diterima oleh orang-orang West Papua, terutama korban anti rasisme yang ditahan, disiksa, dan diadili di Indonesia.
Keterlibatan ormas-ormas atau milisi reaksioner negara yang Tri Susanti dan Arifin himpun diduga kuat menggunakan atribut negara, kemudian bertingkah sewenang-wenang, di luar hukum, kebenaran, dan nilai kemanusiaan.
Kedua orang itu jelas-jelas mencoreng nama baik Indonesia. Tapi pengadilan hanya memvonis mereka dalam tahanan kurang lebih 7 bulan. Hukuman yang mereka terima malah lebih ringan daripada korban rasisme, yaitu, orang-orang West Papua.
Hal ini bisa dilihat dari hampir 60 orang West Papua, dari beberapa kabupaten/kota yang melakukan aksi secara spontan, tetapi justru ditangkap, disiksa, diadili dan dikenakan pasal makar, kemudian dijatuhkan hukuman lebih besar, paling lama 10 tahun dan paling cepat 11 bulan. Ujaran rasisme dan hukuman yang diskriminatif seperti ini senantiasa dikenang orang-orang West Papua sebagai tragedi ketidakadilan.
Beberapa catatan menarik dari peristiwa ini menjadikan orang-orang Papua marah, jengkel dan tidak pernah merasa memiliki sebagai bagian dari NKRI:
Pertama, 15 mahasiswa West Papua di asrama Kamasan III, Surabaya, Jawa Timur, dikepung selama 3×24 jam atau sekitar tiga jam, 15 – 17 Agustus 2019; kedua, setelah mereka dikepung, makanan dan minuman yang dibawakan oleh kenalan dan orang-orang yang bersimpati justru disita ormas reaksioner dan militer di luar pagar asrama; ketiga, kejadian demikian berdampak pada kesehatan anak-anak asrama dan penghuni asrama itu. Kondisi ini membuat mereka kelaparan dan haus, yang mengakibatkan depresi atau tekanan psikologis dan penderitaan; keempat, sudah begitu menjengkelkan, mereka diteriaki “monyet” oleh orang-orang dari luar pagar; kelima, jelas bahwa peristiwa itu terjadi di atas fakta lembaran sejarah, antara lain, New York Agreement, Roma Agreement, UNTEA 1 Mei 1963, MoU Freeport McMoRan—kontrak karya I, Pepera 1969; dan keenam, peristiwa rasisme itu bersamaan dengan operasi militer kolonial Indonesia, alih-alih penegakan hukum di kabupaten Nduga, Timika (areal Freeport Indonesia), Lanny Jaya, dan daerah lainnya di Papua menjelang peringatan HUT ke-74 kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2019.
Peristiwa rasisme di Surabaya dan Malang ini menambah luka bagi orang West Papua, selain eksploitasi sumber daya alam sejak PT Freeport beroperasi 58 tahun lalu, dan pelanggaran-pelanggaran HAM.
Boas Salossa, kapten tim Persipura menulis: “mana yang lebih terhormat, monyet cari ilmu di rumah orang lain atau manusia yang cari makan di rumah monyet?” setelah mendengar peristiwa rasisme di Jawa Timur itu. Respons lainnya disampaikan Pastor Amandus dalam hommili di Gereja Katedral Tiga Raja Timika dengan menirukan pernyataan Boas dan mengajak umat Katolik untuk melawan diskriminasi rasial seperti itu.
Sebagai manusia yang berakal sehat, nurani, dan berperikemanusiaan, kita sulit menerima ujaran rasisme seperti peristiwa Jawa Timur tahun lalu, karena itu bertentangan dengan hukum Tuhan dan undang-undang negara. Ironisnya, peristiwa rasisme justru terjadi di negara yang getol menyebut diri sebagai negara demokrasi terbesar dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Silakan bicara toleransi sampai membuat kerongkongan kering seperti dunia tertimpa kegersangan panjang, silakan bicara kemanusiaan dan keadilan yang tertera di dalam Pancasila dan UUD 45, tapi tak bisa dipungkiri, bahwa terjadi pengabaian terhadap penegakan hukum yang telah ditunjukkan Indonesia kepada publik.
Tidak hanya orang tua dan keluarga dari 15 anak yang dikepung, dihina, dikhianati, dimonyetkan, dan dibinatangkan, tetapi juga semua orang West Papua, bahkan orang-orang Indonesia yang berperikemanusiaan dan bernurani dan Negara-negara lain marah, jengkel, benci dan mengecam tindakan aparat keamanan dan militer serta milisi kolonial itu.
Orang-orang West Papua yang nurani kemanusiaannya diinjak-injak, memerotes dengan tindakan spontan melalui demo damai di seluruh Papua, Indonesia dan dunia hingga aksi lainnya berujung kerusuhan.
Pokok-pokok tuntutan orang West Papua
Dalam demonstrasi damai berujung kerusuhan tahun lalu, orang-orang West Papua meminta negara kolonial ini membongkar jaringan rasisme dan menangkap aktor-aktornya. Tuntutan yang paling mendesak adalah menangkap dan mengadili orang yang pertama kali melihat dan melaporkan bendera merah putih di selokan depan asrama mahasiswa West Papua di Surabaya sebelum 15-17 Agustus 2019 itu.
Tuntutan yang paling penting dan jauh lebih mendesak lagi adalah menangkap pelaku yang menyebut “monyet” atau Papua keluar dari NKRI. Apakah pengucap kata monyet adalah anggota TNI atau preman? Tetapi apa yang negara kolonial dalam rezim Jokowi lakukan? Sikap, keputusan dan keberpihakan Presiden Jokowi, Panglima TNI dan Kapolri, serta pihak terkait lainnya sangat jelas.
Pertama, sangat berpihak pada aparat keamanan dan militer Indonesia bersama milisi, dan tetap melindungi aktor hingga pelaku utama, otak di balik aksi Tri Susanti dan Arifin, termasuk anggota TNI yang jelas-jelas bicara “monyet” dan mengancam nyawa mahasiswa West Papua;
Kedua, aktor-aktor dan pelaku-pelaku utama tersebut hingga saat ini belum ditangkap dan diadili. Tetapi menangkap dan mengadili Tri Susanti dan Arifin seolah-olah mereka adalah aktor dan pelaku ujaran rasis itu. Negara tetap melindungi mereka.
Apakah karena mereka adalah aparat keamanan dan militer? Apakah karena mereka milisi pro pemerintah dan elite politik nasional yang dekat dengan para jenderal berbintang? Apakah karena mereka ras Melayu, yang sama dengan ras Presiden Joko Widodo, Panglima, Kapolri, ketua DPR dan lainnya? Sebaliknya, negara justru menangkap, menyiksa, mengadili, memroses hukum dan memenjarakan orang West Papua yang memerotes ujaran rasisme.
Tri Susanti dan Arifin ditangkap sangat manusiawi, tetapi para aktivis, mahasiswa dan masyarakat sipil West Papua ditangkap dengan tindak kekerasan dan kejahatan hukum secara sewenang-wenang. Tri Susanti dan Arifin dihukum sangat ringan. Kurang lebih 6-7 bulan. Tetapi orang West Papua yang protes dicap aktor dan pelaku, kemudian dikenakan pasal makar, sebuah pasal yang biasanya memberatkan hukuman bagi seseorang karena melawan negara atau berniat memisahkan diri dari sebuah negara berdaulat.
Padahal orang West Papua hanya memerotes ujaran rasisme. Indonesia melihat protes itu sebagai sebuah upaya untuk keluar dari Indonesia. Lalu dengan alasan itu, mengenakan pasal makar itu kepada semua orang West Papua yang ditahan dan diproses hukum di peradilan Indonesia.
Kurang lebih 60-an orang West Papua dikenakan pasal itu, kemudian dijatuhkan hukumam paling maksimal 10 tahun dan minimal 5 tahun. Kemudian, itu berubah seiring dengan adanya desakan kuat dari luar negeri hingga dalam negeri.
Kolonial menjatuhkan hukuman kurang lebih dan rata-rata 11 tahun ke bawah, sebuah waktu yang sangat lama dibandingkan aktor dan pelaku utama hingga saat ini belum ditangkap dan diadili, termasuk Tri Susanti dan Arifin yang hanya dijatuhi vonis hukuman penjara selama 6-7 bulan.
Apakah karena orang West Papua itu beda ras dan ras Melanesia? Apakah karena orang West Papua itu kulit hitam dan berambut keriting, tidak sama dengan aktor-aktor dan pelaku-pelaku, termasuk Tri Susanti dan Arifin yang beras Melayu seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya? Apakah karena orang West Papua itu bangsa kelas Z di Indonesia? Apakah karena orang West Papua bukan warga negara Indonesia? Apakah karena orang West Papua yang ditangkap, disiksa, diadili, diproses hukum dan dipenjarakan itu beda ideologi politik ataukah karena alasan lainnya?
Kasus rasisme tidak perlu menjadi atau statusnya meningkat—berubah diskriminasi rasial yang ujung-ujungnya nanti membenarkan status negara Indonesia yang sangat dikriminatif dan rasis. Hal ini hanya akibat dari penegakan hukum di peradilan hukum kolonial yang tebang pilih—tajam ke bawah tumpul ke atas.
Penegakan hukum model seperti ini semakin memperbesar ketidakpercayaan orang West Papua terhadap kolonial Indonesia. Praktik hukum semacam inilah yang membuat orang West Papua semakin sadar, bahwa di dalam Indonesia tidak ada jaminan keadilan, hukum, dan kedamaian, serta masa depan yang baik.
Hari perkabungan dan rasisme bagi orang West Papua
Penegakan hukum yang sangat dikriminatif dan rasis itu pulalah yang mendorong orang West Papua melakukan refleksi intensif dan menyatakan, bahwa 16 Agustus adalah hari rasisme orang West Papua.
Selama Indonesia menjadi kolonial bagi orang West Papua, selama itu pula kaum “budak kulit hitam” di wilayah paling timur Indonesia ini akan merayakan atau memperingatinya setiap tahun sebagai hari perkabungan.
Operasi militer dan pelanggan-pelanggaran HAM yang tak kunjung usai di West Papua sejak 1960 hingga saat ini, mendorong orang-orang West Papua harus menyatakan, bahwa secara khusus 17 Agustus yang oleh Indonesia sebagai peringatan HUT kemerdekaan RI, tetapi Papua merayakannya sebagai hari rasisme bagi orang Papua. (*)
Penulis adalah masyarakat Papua, tinggal di Kota Jayapura
Editor: Timoteus Marten