Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Relasi dalam rumah tangga yang berantakan atau broken home memaksa anak-anak keluar ke jalan-jalan hingga mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah anak jalanan di Kabupaten Lae, Provinsi Morobe, Papua Nugini.
Hal tersebut disampaikan Wakil Administrator Morobe {sektor sosial), Robin Bazinuc. Ia mengatakan meski tidak ada data dari pemerintah yang mendukung pernyataan itu, namun terbukti banyak anak-anak di jalanan yang meminta-minta makanan.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Post-Courier, sebagian besar anak yang berkeliaran di jalanan pusat Kota Lae, Eriku, dan Pasar Manin disebabkan atau berasal dari keluarga yang berantakan.
“Saya di sini karena ibu saya meninggal, ayah saya menikah lagi, dan meninggalkan saya. Saya melakukan ini (duduk di jalan dan mengemis) hanya untuk makan,” kata salah satu anak laki-laki, seperti dilasir Post Courier, Selasa [31/8/2021].
Pastor paroki Katolik St Mary, Pastor Arnold Schmitt, yang bekerja dengan anak-anak jalanan dan menjalankan program literasi untuk membantu anak-anak, mengatakan keluarga berantakan adalah salah satu faktor utama yang memaksa anak-anak keluar ke jalanan.
Pastor Arnold telah bekerja dengan anak-anak jalanan sejak tahun 2005 dan memperkenalkan program literasi untuk membantu anak-anak tersebut agar tetap bersekolah dan menjauh dari (kehidupan) jalanan.
Dia mengatakan ada banyak faktor sosial yang dapat memaksa seorang anak hingga berakhir di jalanan. Untuk itu, Pastor Arnold mengatakan penting bagi otoritas yang bertanggung jawab untuk memberikan solusi jangka panjang dalam rangka mengatasi masalah tersebut.
“Ada dua kelompok anak jalanan; anak-anak kecil (usia enam-13 tahun) dan pemuda. Dan, sebuah kelompok yang lebih kecil di jalanan. Sebagian besar anak-anak ini berasal dari pemukiman yang berkeliaran di jalanan dan kelompok ini menjadi semakin besar,” katanya.
“Ini mencerminkan rusaknya tatanan sosial di negara ini…. bagi anak-anak di sekolah literasi mayoritas dari mereka datang dari keluarga yang berantakan; orang tua bercerai atau berpisah atau untuk beberapa anak, orang tuanya tidak terlalu peduli.”
Pastor Arnold mengatakan terdapat beberapa titik yang digunakan anak-anak dan remaja ini pada malam hari termasuk Gereja Katolik St Mary di Top Town, sebuah gudang di Pasar Utama Lae dan di lapangan basket di Eriku.
Area yang dijadikan titik kumpul anak-anak jalanan itu, juga dikonfirmasi oleh petugas senior peradilan anak dari Departemen Kehakiman dan Jaksa Agung di Lae, Shiley Kwam.
Kwam mengatakan sebagian besar anak jalanan itu melakukan pelanggaran dan dapat menjalani hukuman tergantung pada sifat kejahatan yang mereka lakukan.
“Perlu ada program-program yang dibuat oleh Departemen Pengembangan Masyarakat, misalnya family tracing atau menelusuri keluarga agar orang tua dari anak-anak ini ikut bertanggung jawab,” ujarnya.
Pj Sekretaris Departemen Pengembangan Masyarakat dan Agama, Jerry Ubase, mengatakan terbukti ada peningkatan anak-anak di jalanan yang meminta makanan, uang, dan tidur di depan toko-toko di seluruh negeri.
Ubase mengatakan orang tua bertanggung jawab penuh atas anak-anak mereka dan departemen akan melakukan penelusuran keluarga untuk menemukan orang tua yang bertanggung jawab.
“Para orang tua itu akan dituntut di bawah Undang-Undang Lukautim Pikinini karena kelalaian,” katanya.
Kendati demikian, sementara Departemen Pengembangan Masyarakat masih berencana untuk menyelesaikan masalah ini, anak-anak akan terus berakhir di jalanan.
Belum ada perhatian serius
Organisasi nirlaba untuk kepentingan publik: Jaringan Internasional Peduli Anak dan Remaja atau CYC-Net melansir anak jalanan di Papua Nugini dikelompokkan menjadi empat kategori: (1) anak-anak yang bergabung dengan temannya di jalan pada siang hari dan pulang ke rumah; (2) anak-anak yang bekerja di jalanan dan pulang kampung; (3) anak-anak yang bekerja dan hidup di jalanan; (4) pekerja seks (gadis-gadis muda yang terlibat dalam prostitusi).
Kebanyakan anak jalanan terlibat dalam beberapa jenis kegiatan ekonomi mulai dari mengemis hingga pencurian kecil-kecilan dan prostitusi.
Fenomena anak jalanan merupakan isu sosial yang sedang berkembang di Papua Nugini. Pemandangan umum ini terlihat di dua kota negara: Port Moresby dan Lae dan di kota-kota besar seperti Mount Hagen, Goroka, dan Madang.
Saat berjalan melalui pusat perbelanjaan di Port Moresby dan Lae, orang dengan mudah dapat melihat anak-anak berusia 7 dan 8 tahun baik yang mengemis atau sebagai penjual atau hanya berkeliaran tanpa tujuan pada jam sekolah.
Menurut CYC-Net, anak-anak berakhir di jalanan karena kekerasan dalam rumah tangga, segala bentuk pelecehan, kehancuran keluarga, yatim piatu karena kematian orang tua kandung, pengangguran orang tua, pengaruh/tekanan teman sebaya, dan faktor psikologis dan pribadi lainnya.
Apakah ada masa depan bagi anak jalanan di Papua Nugini saat ini? Mereka tentu menjadi ancaman bagi bangsa. Ketika anak jalanan menyadari bahwa mereka tidak memiliki sarana/sumber penghidupan, satu-satunya alternatif yang tersedia adalah terlibat dalam kegiatan kriminal besar seperti perampokan bank untuk bertahan hidup. Bahkan, telah dilaporkan bahwa beberapa kejahatan besar yang dilakukan di negara ini adalah oleh anak-anak muda yang pernah menjadi anak jalanan. (*)
Editor: Yuliana Lantipo