Jayapura, Jubi – Aliansi mahasiswa Papua (AMP) Jawa mengelar aksi demo damai memperingati peristiwa Biak Berdarah, 6 Juli 2019.
Aksi dimulai Pukul 09.40 WIB dari Patung Kuda Universitas Diponegoro menuju Simpang Lima dan berakhir di Polda Semarang. Dalam perjalanan menuju Polda Jateng secara bergantian massa aksi menyampaikan orasi-orasi.
Mahasiswa mengecam tindakan brutal militer dan polisi di Biak. Dari sejumlah kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia(HAM) di Tanah Papua Indonesia tidak mampu untuk menyelesaikan sehingga harus diberikan hak pentuan nasib sendiri seperti dicantukan dalam piagam PBB tentang hak sipil dan politik.
Mahasiswa juga menyampaikan bahwa Indonesia merupakan pemerintahan yang pro terhadap pemodal. Sehingga semua persoalan hak asasi manusia (HAM) tidak akan diselesaikan.
Koordinator aksi Simon Douw mengatakan peristiwa memilukan yang terjadi di Biak pada tahun 1998 silam itu tidak terlepas dari sejarah kolonisasi wilayah Papua melalui invasi militer sejak tahun 1962.
“ Kasus-kasus pelanggaran hak asasi di Wasior Berdarah, Wamena Berdarah, Abepura Berdarah, Paniai Berdarah dan sejumlah kasus lainnya merupakan akibat daripada proses integrasi yang salah,” Sabtu (6/7/2019) melalui rilisnya kepada Jubi.
Dia juga menjelaskan militer dan polisi merupakan aktor utama pelaku pelanggar HAM di Papua.
Sementara Rafael Yelemaken, Ketua AMP Semarang mengatakan Indonesia yang mengaku sebagaimana negara demokrasi pada praktiknya tidaklah demikian.
Pasalnya menurut dia hingga saat ini pelaku pelanggaran HAM di Biak tidak diproses hukum, artinya bahwa Indonesia tidak menjamin asas-asas demokrasi, hukum dan HAM sehingga solusi yang tepat bagi rakyat Papua adalah diberikannya kebebasan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis.
Adapun poin-poin tuntutan pada aksi itu adalah:
1. PBB dan Indonesia segera memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua
2. Usut tuntas dan adili pelanggar HAM di Papua
3. Hentikan operasi perusahaan ilegal seperti Freeport, BP, LNG Tangguh dan sejumlah perusahaan lainnya penyebab persoalan rakyat Papua. (*)
Editor: Syam Terrajana