Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Ketua Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua atau AMP, John Gobay, menuntut polisi segera membebaskan tanpa syarakat dua anggota AMP, Roland Levy dan Kelvin Molama. AMP juga meminta Kepolisian Daerah atau Polda Metro Jaya menghentikan proses hukum terhadap Roland Levy dan Kelvin Molama.
Roland Levy adalah pengurus Komite Pusat AMP, sementara Molama menjabat Sekretaris Komite Kota AMP Jakarta. Keduanya ditangkap aparat Polda Metro Jaya di Jakarta pada Rabu (3/3/2021) dini hari, dan pada Kamis (4/3/2021) dijadikan tersangka kasus dugaan kekerasan terhadap orang dan barang atau kasus pencurian dengan kekerasan, sebagaimana diatur Pasal 170 jo Pasal 365 KUHP.
John Gobay mempersoalkan prosedur penangkapan kedua aktivis itu. Gobay menduga polisi melakukan penangkapan secara sewenang-wenang dan mengandung unsur pemaksaan, tanpa penjelasan apapun.
Baca juga: 107 organisasi gabung PRP, tolak otsus jilid II
“Penangkapan dua kawan itu dilakukan di luar prosedur aturan dan hukum. Surat penangkapan tidak ada, bahkan anggota polisi juga tidak menunjukan surat tugas, juga surat perkaranya. Waktu penangkapan pada pagi subuh, langsung diborgol, lalu dibawa,” ungkap Gobay saat dihubungi Jubi, Jumat (5/3/2021).
Penangkapan sewenang-wenang itu dinilai Gobay seperti bentuk teror psikologi kepada para mahasiswa Papua yang sedang belajar di Jakarta. Apalagi, kedua aktivis yang ditangkap itu masih berstatus mahasiswa. “Proses penangkapan seperti itu bisa berakibat teror psikologi, dan bisa mencederai aktivitas belajar mahasiswa di Jakarta, terutama dua kawan itu,” kata Gobay.
Ia menduga ada motif politik di balik penangkapan tersebut. Pasalnya, penangkapan dilakukan pasca sejumlah aksi unjuk rasa mahasiswa Papua untuk menolak rencana pemerintah memperpanjang masa berlaku Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Levy dan Molama diketahui aktif dalam sejumlah demonstrasi pada akhir Januari lalu.
“Kedua anggota AMP itu ditangkap saat isu politik Papua sedang menggema. [Selama] dua bulan terakhir, aksi demonstrasi tolak Otsus dan menuntut referendum terjadi di Papua hingga di luar Papua. Kami curiga penangkapan itu upaya meneror dan memukul mundur gerakan mahasiswa yang saat ini sedang meningkat,” tuding Gobay.
Menyangsikan tuduhan
Sebelumnya, Kamis (4/3/2021) Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus mengatakan dua mahasiswa asal Papua, RL dan KM, ditangkap karena diduga terlibat kasus pengeroyokan dan pencurian dengan kekerasan terhadap sesama mahasiswa Papua berinisial RP.”Mereka itu terlibat kasus pidana pengeroyokan pasal 170 KUHP dan juga pencurian dengan kekerasan di 365 KUHP,” kata Yusri, sebagaimana dilansir Kantor Berita Antara.
Dugaan pengeroyokan dan pencurian dengan kekerasan itu terjadi pada 20 Januari 2021, namun baru dilaporkan ke polisi pada 27 Januari 2021. Menurut Yusri, pihaknya masih mengejar seorang tersangka lainnya.
John Gobay yang mengenal baik Kelvin Molama dan Roland Levy menyangsikan tudingan polisi itu. kepolisian. “Kelvin itu orangnya pendiam, tenang, suka mendengarkan, sementara Roland, suka banyak cerita, humoris, dekat dengan siapa saja. Dua orang ini suka senyum dan menyapa siapa saja. Saya kenal mereka sangat dekat dari sifat-sifat itu,” kata Gobay.
Aktivitas keduanya, menurut Gobay, selain ke kampus, lebih banyak berkumpul dengan teman-teman Papua dari asrama ke asrama. “Biasanya duduk-duduk diskusi, hingga mengorganisir aksi demo damai. Itu yang mereka berdua lakukan bersama kawan-kawan yang lainnya,” ujar Gobay.
Gobay juga menegaskan dirinya tidak mengenal dan tidak pernah mendengar nama Rajid Patiran, nama yang diumumkan polisi sebagai pelapor dengan inisial RP dan disebut-sebut mengaku sebagai Sekjen AMP.
Kriminalisasi
Tim Advokasi Papua yang mendampingi Levy dan Molama dalam kasus itu mengecam tindakan Polda Metro Jaya. Para advokat dalam Tim Advokasi Papua menilai penangkapan itu merupakan upaya kriminalisasi atau pemidanaan terhadap Levy dan Molama.
Tim Advokasi yang terdiri dari Andi Muhammad Rezaldy, Oky Wiratama Siagian dan Michael Himan menemukan banyak kejanggalan dalam proses penangkapan dan penetapan Levy dan Molama sebagia tersangka. Hal itu disampaikan Tim Advokasi Papua melalui keterangan pers tertulisnya, Kamis.
“Pertama, barang bukti yang disita tidak berkaitan dengan tuduhan yang disangkakan; kedua, tidak diberikannya surat penangkapan dan tidak ditunjukannya surat perintah penangkapan secara layak; ketiga, berita acara penolakan penangkapan dan BAP tersangka tidak diberikan kepada kuasa hukum meskipun telah diiminta berkali-kali; keempat, penetapan tersangka secara seketika, yang seolah-olah telah terjadinya peristiwa tertangkap tangan. Padahal dugaan peristiwanya terjadi pada bulan Januari yang lalu dan idealnya mereka seharusnya dipanggil terlebih dahulu sebagai saksi,” tulis Tim Advokasi Papua dalam keterangan pers tertulis itu.
Baca juga: Mahasiswa Papua di Kalsel tolak pemekaran provinsi dan Otsus
Tim Advokasi Papua berpendapat bahwa Kelvin dan Roland merupakan korban tindakan kriminalisasi yang diduga dilakukan oleh Polda Metro Jaya. “Kami menduga penangkapan kedua aktivis mahasiswa tersebut sangat dipaksakan untuk melemahkan aktivitas mereka yang sering menolak perpanjangan Otsus Papua Jilid 2 dan menolak Daerah Otonomi Baru,” demikian Tim Advokasi Papua.
Mereka menyatakan penangkapan Roland Levy dan Kelvin Molama melanggar ketentuan KUHAP, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Manajamen Penyidikan Pidana. Tim Advokasi Papua meminta Kapolda Metro Jaya memerintahkan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya segera menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan, dan meminta Inspektorat Pengawasan Umum Polri menyelediki dugaan kriminalisasi terhadap Roland Levy dan Kelvin Molama. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G