Papua No. 1 News Portal | Jubi
Vikjen Keuskupan Agung Merauke mengatakan tanah di Jalan Misi yang telah dimanfaatkan untuk pembangunan sekolah-sekolah maupun kampus adalah milik Keuskupan Agung Merauke.
Belasan orang dipimpin Nikolaus Moli Kaize mendatangi sekolah-sekolah dan Sekolah Tinggi Katolik (STK) Santo Yakobus dengan membawa janur sekaligus mengikatnya di pintu masuk pagar sekolah dan kampus, Selasa, 28 Januari 2020 sekitar pukul 06.30 WP.
Selain memalang STK, rombongan Kaize juga memalang SMP Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik (YPPK) St. Michael, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Santo Antonius, dan kantor YPPK.
Aksi pemalangan tersebut sebagai bentuk protes kepada pemerintah karena Nikolaus mengklaim bangunan sekolah-sekolah Katolik di sepanjang Jalan Misi tersebut belum selesai ganti ruginya.
Pemalangan itu sempat membuat pelajar dan mahasiswa tak bisa masuk ke dalam area kampus.
Setelah mendapatkan informasi aparat kepolisian langsung turun ke lokasi dan melakukan negosiasi dengan Nikolaus Moli Kaize agar janur dibuka karena proses belajar-mengajar dan perkuliahan harus berjalan.
Dari hasil pembicaraan disepakati sasi yang dipasang akan dibuka. Lalu Nikolaus bersama belasan masyarakat Marind-Buti dibawa ke Polres Merauke untuk berdialog.
Dalam pertemuan Nikolaus Kaize mengaku pihaknya menunggu terlalu lama penyelesaian ganti rugi tanah oleh pemerintah setempat sehingga ia memutuskan memalang kompleks tersebut dengan memasang janur.
“Saya bersama keluarga mengambil langkah demikian lantaran menunggu terlalu lama jawaban dari pemerintah setempat, mudah-mudahan dengan langkah yang diambil ini ada penyelesaian pembayaran,” katanya.
Vikjen Keuskupan Agung Merauke, Hendrikus Kariwob, kepada sejumlah wartawan mempersilakan masyarakat menggugat jika merasa tidak puas. Tetapi, jelasnya, tanah di Jalan Misi yang telah dimanfaatkan untuk pembangunan sekolah-sekolah maupun kampus adalah milik Keuskupan Agung Merauke.
Asal-usul tanah tersebut, katanya, sekitar 1950-an Pemerintah Belanda menguasai Jalan Misi tersebut, lalu saat itu mereka meminta tempat yang sudah dibuka di sekitar area Pelabuhan Merauke yang merupakan tanah milik keuskupan. Karena telah ada sejumlah bangunan pemerintahan di situ.
Selanjutnya terjadi kesepakatan dengan pihak keuskupan untuk dilakukan tukar guling. Dari situ lokasi di Jalan Misi digunakan dan dimanfaatkan untuk kawasan pendidikan sehingga mulai dibangun sekolah-sekolah Katolik.
“Dari tahun ke tahun sekolah-sekolah Katolik dibangun mulai dari tingkat SD, SMK, SMK, hingga Perguruan Tinggi,” katanya.
Dengan demikian, lanjutnya, keberadaan tanah di Jalan Misi sah milik keuskupan. Lalu dulu orang tua menyerahkan dengan tujuan baik untuk pendidikan bagi orang Papua.
Namun sayangnya, katanya, datang generasi sekarang entah karena tuntutan ekonomi atau desakan uang mereka memanfaatkan kesempatan mendatangi keuskupan, sekaligus meminta pembayaran ganti rugi tanah tersebut.
“Ketika mereka datang tahun lalu kami memfasilitasi, bahkan memberikan dana Rp15 juta kepada Nikolaus Kaize agar turun bersama tim dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) ke lokasi melakukan pengukuran tanah,” katanya.
Selanjutnya, kata Kariwob, sudah ada pertemuan juga bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Merauke, Moses Kaibu. Saat itu Moses berjanji melakukan komunikasi dengan pemerintah untuk membicarakan secara baik bersama pemilik ulayat.
“Di saat sedang menunggu justru Nikolaus Kaize datang melakukan pemalangan terhadap sejumlah bangunan sekolah, ini yang membuat kami kecewa,” ujarnya.
Ia mengatakan tanah di Jalan Misi adalah milik keuskupan yang telah bersertifikat.
“Jika ingin menuntut silakan datang ke pemerintah sekaligus menyampaikan, mari kita tunggu kepastian dari Pemerintah Kabupaten Merauke untuk dilakukan pertemuan sehingga ada titik temu penyelesaian sekaligus pemilik ulayat menyampaikan keinginannya,” katanya.
Kuasa hukum Keuskupan Agung Merauke, Aloysius Dumatubun, dalam pertemuan mengatakan ada dokumen surat ditandatangani oleh almarhum Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Marind-Imbuti, Kasimirus Gomo Ndiken.
Dalam surat tersebut disebutkan tanah-tanah yang telah diberikan masyarakat kepada keuskupan tidak boleh diambil atau dipalang.
“Ini surat yang ditandatangani, jadi perlu saya tunjukkan kepada masyarakat agar dapat diketahui,” katanya.
Ia mempersilakan jika ada yang menggugat, tetapi tidak dengan cara memalang.
“Nanti kami akan tunjukkan bukti-bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah maupun surat dari almarhum Ketua LMA Marind-Imbuti di pengadilan,” ujarnya.
Wakapolres Merauke, Kompol YS Kadang, menegaskan siapapun tidak berhak melakukan pemalangan terhadap fasilitas umum, termasuk sekolah.
“Dengan pemalangan sejumlah bangunan sekolah telah meresahkan murid, guru, maupun orangtua, mestinya kalau ada permasalahan dikomunikasikan terlebih dahulu, tidak dengan mengambil jalan pintas seperti begini,” katanya.
Menurut Wakapolres, langkah yang dilakukan Nikolaus Kaize dengan memalang sejumlah sekolah telah melanggar aturan dan harusnya diproses secara hukum.
“Masih baik Pastor Hendrikus Kariwob maupun pihak yayasan tidak mengambil langkah demikian, tetapi ingin membicarakan secara baik-baik,” ujarnya.
Ia berharap ke depan tidak ada pemalangan lagi.
“Apalagi menyangkut fasilitas umum yang digunakan banyak orang, ini menjadi warning (peringatan-red) bagi para pemilik ulayat,” ujarnya. (*)
Editor: Syofiardi