Aktivis Tolak Roma Agreement

Papua No. 1 News Portal I Jubi,

Jayapura, Jubi – Front Persatuan Mahasiswa (FPMP) terdiri dari  GempaR Papua, AMP, SONAMAPPA, dan FIM menolak Agreement Roma Ilegal. Mereka meminta agar rakyat Papua diberikan hak penentukan nasib sendiri sebagai rakyat Papua Barat.

“Perjanjian Roma atau Roma Agrement diadakan di Roma, Ibu Kota Italia pada 30 September 1962 dilakukan tanpa keterlibatan satupun wakil dari rakyat Papua,” kata Koordinator FPMP, Nelius Wenda Senin (2/10/2017).

Ia menyayangkan tanpa kehadiran wakil dari Papua, saat perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua.

Nelius mengatakan, Perjanjian Roma yang ditandatangani oleh Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat merupakan perjanjian yang sangat kontroversial. Dari 29 pasal di perjanjian di antaranya pasal 14 hingga 21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote).

“Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA kepada Indonesia," kata Nelius menjelaskan.

Perjanjian tersebut menimbulkan klaim Indonesia atas tanah Papua sudah dilakukan pasca penyerahan kekuasan Wilayah Papua Barat dari tangan Belanda kepada Indonesia melalui Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA pada 1 Mei 1963.

Usai penandatanganan itu Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan penumpasan gerakan pro kemerdekaan rakyat Papua.

 “Ironisnya sebelum proses penentuan nasib dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport telah menandatangani Kontrak Pertamannya dengan pemerintah Indonesia," katanya.

Perwakilan Forum Independen Mahasiswa, Teko Kogoya, mengatakan klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA).

Teko Kogoya mengatakan Papuan hanya diwakili 1.025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak suara.

“Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat," kata Teko.

Dalam kondisi tersebut  rakyat Papua juga menerima teror, intimidasi, penahanan, penembakan bahkan pembunuhan yang terterjadi hingga saat ini. “Ini menunjukan hak asazi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia," katanya. (*)

Related posts

Leave a Reply