Papua No. 1 News Portal | Jubi
Sorong, Jubi – Sejumlah pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Peduli Keadilan bagi Monyet berunjukrasa di Kota Sorong, Papua Barat, Senin (9/3/2020). Mereka menuntut pembebasan para tahanan politik atau tapol di seluruh Tanah Papua. Dalam unjukrasa yang berlangsung di perempatan Maranatha itu, mereka membagikan selebaran seruan pembebasan para tapol Papua.
Koordinator lapangan aksi itu, Natalis Yewen menyatakan mereka ingin memberi informasi kepada masyarakat tentang putusan pengadilan terhadap dua pelaku rasisme Papua. Pada 3 Februari 2020 lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menghukum terdakwa rasisme Papua Tri Susanti alias Susi tujuh bulan penjara. Sementara seorang terdakwa rasisme Papua lainnya, Syamsul Arifin pada 30 Januari 2020 dihukum lima bulan penjara.
“Kami menilai putusan tersebut tidak sesuai dengan dampak dari ujaran rasis yang dilakukan oleh kedua pelaku. Ini merupakan bentuk ketidakadilan Negara lewat hukum. Ujaran rasis itu [telah] terjadi [sejumlah] kerusuhan di Tanah Papua,” kata Yewen.
Natalis Yewen menyatakan dampak ujaran rasialisme terhadap para mahasiswa Papua yang berada di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya pada 16 Agustus 2019 itu berdampak luas, dan menimbulkan kerugian material dan non material bagi banyak orang. Selain itu, sejumlah orang asli Papua maupun orang non-Papua meninggal dunia dalam bentrokan atau amuk massa yang muncul sebagai reaksi atas ujaran rasisme itu.
Ujaran rasis terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 telah memicu sejumlah unjukrasa di berbagai wilayah di Papua dan Indonesia. Pasca unjukrasa besar-besaran yang terjadi di Sorong pada Agustus 2019, sejumlah 15 orang ditangkap. Pasca itu, ada delapan orang yang ditetapkan sebagai tersangka makar.
Dalam selebaran yang dibagikan kepada para pengguna jalan di Kota Sorong, Forum Peduli Keadilan bagi Monyet menuntut para tapol dibebaskan. Proses hukum terhadap para tapol Papua dinilai tidak layak dilanjutkan, karena para terdakwa rasisme Papua hanya dihukum tujuh bulan dan lima bulan penjara.
Forum Peduli Keadilan bagi Monyet menegaskan para aktivis hak asasi manusia (HAM) dan mahasiswa telah berunjukrasa demi menuntut pengembalian harga diri orang Papua pasca kasus rasisme Surabaya. Akan tetapi, mereka malah ditangkap, didakwa melakukan makar, dan terancam hukuman penjara maksimal 15 tahun dan 20 tahun penjara. “Karena itu kami meminta agar para Tapol dibebaskan demi keadilan,” kata Yewen.
Ia menegaskan, pihaknya akan tetap mengawal proses persidangan yang sedang dijalani para aktivis HAM, hingga tuntutan mereka dijalankan oleh penegak hukum. Jika tuntutan mereka tidak penuhi, Yewen dan kawan-kawannya akan terus berdiri dan bersuara demi keadilan bagi orang Papua.
Yewen menyatakan ujaran rasis sebutan monyet merupakan penghinaan yang sangat merendahkan harkat dan martabat orang Papua. Tindakan rasis itu membuat orang Papua akan selalu kecewa kepada pemerintah, dan memicu orang Papua untuk terus menuntut hak penentuan nasib sendiri.
“Kalau putusan pengadilan tidak menjadi efek jera bagi para pelaku rasisme, tidak ada yang bisa menjamin [bahwa] tidak akan ada lagi ujaran rasisme kepada orang Papua. Tindakan rasisme terhadap orang Papua bukanlah baru pertama kali terjadi, namun sudah berulang kali [terjadi]. Kami berharap ada hukuman yang seberat-beratnya bagi setiap orang yang mengeluarkan ujaran rasis,” kata Yewen.
Aktivis Garda Papua Sorong, Nova yang turut berunjukrasa pada Senin mengatakan penahanan para aktivis Papua merupakan kriminalisasi terhadap orang Papua. “Kami orang Papua adalah korban ujaran rasis. Tetapi mengapa saudara saya diancam [hukuman yang] lebih berat dari pada pelaku rasisme di Surabaya?” kata Nova.
Nova menyesalkan tindakan negara terhadap orang Papua. “Saya akan tetap bersuara bagi teman-teman yang ditahan, sampai mereka dilepaskan,” katanya.(*)/[CR3]
Editor: Aryo Wisanggeni G