Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Berbagai persoalan yang terjadi pasca pelaksanaan pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota legislatif tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, seperti terjadinya Pemilu susulan, Pemungutan Suara Ulang (PSU) hingga meninggalnya ratusan petugas penyelenggara, membuat akademisi angkat suara.
Elvira Rumkabu, akademisi dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura kepada Jubi belum lama ini mengatakan, proses demokrasi di Indonesia khususnya di Papua pada tahun ini bisa dikatakan kemunduran demokrasi.
“Tahun ini hingga lima kertas suara. Jangankan petugas (penyelenggara) yang merasa kelelahan. Masyarakat saja sampai hari pencoblosan masih bingung. Menurut saya ini seperti suatu kemunduran demokrasi di Kota Jayapura,” katanya.
Dikatakan, dari tahun ke tahun, masyarakat sudah semakin kritis namun tidak diimbangi dengan proses sosialisasi yang tepat guna dari pihak penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) tingkat provinsi maupun kabupaten kota.
“Sangat mengerikan ini bisa terjadi ketika masyarakat sangat kritis dan ketika pemilu begitu komplek. Saya pikir banyak yang perlu dievaluasi ke depannya, mulai dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu serta masyarakat,”ujarnya.
Apalagi menurutnya ada ratusan penyelenggara di beberapa daerah meninggal akibat proses Pemilu yang komplek tersebut. Data yang dihimpun Jubi menyebutkan ada sekitar 95 penyelenggara (KPU) meninggal, Empat diantaranya ada di Papua. Sedangkan korban meninggal ditubuh Bawaslu ada 14 orang.
“Beban kerja dari pihak KPSS, PPD dan penyelenggara lainnya banyak sekali. Menurut saya perlu dilakukan identifikasi masalah kasus soal kematian. Misalnya, petugas tersebut meninggal akibat faktor psikis. Nah, kedepannya harus dilakukan intervensi terhadap pemeriksaan psikis kepada calon anggota KPPS, PPD dan lainnya. Walaupun, nantinya pembekakan anggaran terjadi. Tetapi saya pikir pasti ada cara yang kemudian bisa dilakukan,” katanya.
Soal santunan menurut Rumkabu yang juga alumni Australian National University, sudah menjadi keharusan dan sewajarnya dilakukan.
“Petugas yang meninggal tersebut menjalankan amanah dan menjalankan tugas Negara. Sudah sepantasnya dibiayai oleh Negara atas hak-hak yang akan diterima oleh hak warisnya,” ujarnya.
Sengkarut Pemilu 2019 tersebut pun dikeluhkan sebagian masyarakat. Satu diantaranya adalah Marlinus Kekri, warga Kabupaten Jayapura. Kekri menilai pemungutan suara dalam Pemilihan Umum 2019 sebagai pemungutan suara paling rumit dan membingungkan pemilih dibandingkan pemungutan suara pemilihan umum sebelumnya.
Selain kebingungan membedakan lima jenis surat suara yang harus dicoblos, para pemilih juga kesulitan mencari nama di antara ratusan nama calon anggota legislatif dalam surat suara.
“Apalagi dalam surat suara tidak ada foto caleg, hanya ada nama, nomor urut caleg, dan nama partai,” kata Kekri kepada Jubi.
Warga lainnya, Melki Runggeri mengatakan, tata cara mencoblos dalam pemungutan suara Pemilu 2019 terlalu rumit dan menyulitkan pemilih. Ia berharap proses pencoblosan pada pemilihan umum (pemilu) di masa mendatang dapat lebih memudahkan pemilih. (*)
Editor : Edho Sinaga