AII dan KontraS minta hentikan kriminalisasi jurnalis

papua
Ilustrasi, kriminalisasi pers – Jubi/medan.aji.or.id
Ilustrasi, kriminalisasi pers – Jubi/medan.aji.or.id

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Menanggapi penetapan tersangka dan pengeroyokan terhadap jurnalis LKBN Antara, Teuku Dedi Iskandar, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid, dan Koordinator KontraS, Yati Andriyani, menyesalkan langkah kepolisian yang  menetapkan Dedi sebagai tersangka dan minta kepolisian menghentikan kriminalisasi terhadap jurnalis.

Read More

Menurut AII dan KontraS, seperti tertuang dalam rilis yang dikirim ke Jubi, Sabtu (22/2/2020), Dedi adalah korban kekerasan karena dialah yang dikeroyok oleh lebih dari dua orang. Namun, aparat kepolisian setempat justru menetapkan dia sebagai tersangka penganiayaan terhadap orang yang mengeroyoknya.

“Kekerasan terhadap jurnalis yang sedang bertugas tidak bisa dibenarkan sama sekali. Kerja mereka dilindungi hukum internasional HAM termasuk hukum nasional seperti UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, baik dalam mencari, memperoleh dan menyebarluaskan informasi. Pihak yang menghambat bisa terancam pidana. Jadi, penetapan tersangka tersebut menunjukkan minimnya jaminan kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers,” kata Usman.

“Aparat keamanan seharusnya lebih jeli dalam menilai mana yang penganiayaan dan mana yang merupakan pembelaan diri. Pelaku pengeroyokan Dedi adalah orang yang pernah terlibat kasus pengancaman seorang jurnalis lainnya terkait kasus di mana Dedi ikut memberitakannya. Artinya, terdapat unsur ancaman terkait profesi Dedi, dan itu pelanggaran hukum karena wartawan dilindungi UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers,” kata Yati.

Oleh karena itu, pimpinan dua lembaga ini mendesak pihak berwenang untuk mencabut status tersangka Dedi dan menyelidiki kasus ini secara tuntas dan dengan seadil-adilnya. Jangan sampai ada dugaan penetapan tersangka dan pengeroyokan terhadap Dedi karena sikap anti kritik terhadap pemberitaan yang dilakukannya.

“Pelaku yang terlibat tindakan pengroyokan tersebut harus diproses hukum dan dijamin hak-haknya dalam proses peradilan yang adil dan mengedepankan prinsip HAM.”

Kronologi penegroyokan

Polres Aceh Barat menetapkan Teuku Dedi Iskandar, wartawan LKBN Antara, sebagai tersangka kasus penganiayaan di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Ia dituduh melanggar pasal 351 jo 352 KUHP tentang penganiayaan. Penetapan tersebut berangkat dari laporan seorang pelaku pengeroyok yang menganiaya Dedi.

Menurut sejumlah informasi, pada Senin, 20 Januari 2020, Dedi sedang duduk di sebuah warung kopi di Meulaboh bersama Kabag Humas Polres Aceh Barat untuk meminta klarifikasi terkait kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya. Tiba-tiba Ketua PWI Aceh Barat tersebut didatangi seorang rekannya yang membawa serta sekitar lima orang.

Rekan Dedi tersebut kemudian memanggil Dedi ke belakang warung dan menyuruh Dedi menandatangani kuitansi utang. Merasa tidak memiliki utang, Dedi pun terkejut dan menolak. Sang rekan dan sekitar lima orang yang dibawa kemudian mengeroyok Dedi.

Penyerangan itu mengakibatkan Dedi mengalami sesak napas akibat benturan di bagian dada dan luka di tangan. Dedi lalu dilarikan ke RSUD Cut Nyak Dhien, Meulaboh.

Namun pada tanggal 20 Februari 2020, Dedi justru dipanggil Polres Aceh Barat untuk didengarkan keterangannya sebagai tersangka kasus penganiayaan.

Data Amnesty International menunjukkan sejak memasuki awal tahun 2020, ada tujuh jurnalis yang menjadi korban penganiayaan dan menerima ancaman, dua jurnalis dikriminalisasi dengan ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan pasal karet, Pasal 45 UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Satu orang jurnalis lain berkebangsaan Amerika Serikat, Philip Jacobson, ditahan oleh petugas imigrasi atas tuduhan pelanggaran Pasal 122 UU 6/2011 tentang Keimigrasian.

Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat selama 2019 terjadi 53 kasus kekerasan terhadap wartawan, didominasi oleh kekerasan fisik sebanyak 20 kasus dan pengrusakan alat kerja sebanya 14 kasus.

Bentuk kekerasan lain adalah teror enam kasus, kriminalisasi lima kasus, pengusiran, dan pelarangan liputan empat kasus dan pelarangan pemberitaan tiga kasus. Dalam laporan tersebut, tindakan kekerasan kepada jurnalis paling sering dilakukan oleh aparat polisi.

UU 40/1999 tentang Pers menyebutkan bahwa jurnalis dilarang dihalang-halangi saat meliput berita. Ancaman pidananya berupa hukuman penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

Dalam hukum internasional, kebebasan pers dan keterbukaan informasi termasuk dalam jenis kebebasan berekspresi, sehingga termasuk dalam hak asasi fundamental. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Related posts

Leave a Reply