Ada apa dengan pemekaran Provinsi Papua Tengah?

Peta Papua
Ilustrasi peta pulau Papua – Jubi/google map
Ilustrasi peta pulau Papua – Jubi/google map

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Yoseph Bunai

Read More

Papua memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. Alam Papua juga memiliki keunikan dan keunikan tersebut dilindungi sebagai suatu kesatuan dengan masyarakat setempat.

Alam adalah sumber kehidupan bagi masyarakat Papua, bukan hanya menghidupi secara material, melainkan juga kekuatan alam Papua dan itulah yang menggerakkan spirit orang Papua untuk hidup dan bergerak menjadi manusia yang sesungguhnya.

Alam Papua yang kaya dan manusia Papua yang unik sudah lama distigmakan sebagai primitif, kampungan, ketinggalan, dan tidak maju. Dengan ini, orang asing datang ke Papua dengan memaksakan orang Papua untuk ikut arus dalam kehidupan baru yang dianggap lebih maju, unggul, dan lebih beradab. Hal ini juga telah diusahakan oleh pemerintah Belanda dan Indonesia dengan melakukan perubahan baru bagi masyarakat setempat.

Di atas keterpaksaan ini orang Papua hidup dalam tekanan dan belum mampu mengikuti proses yang sudah dibuat sejak dahulu. Kala itu usaha-usaha pemerintah Belanda adalah sistem memaksa bagi orang Papua, sehingga orang Papua menjadi korban dan adat-istiadat atau nilai luhur budayanya tergoyang.

Selama dalam Indonesia telah terjadi pemekaran desa dan kampung di Papua, sehingga rumah warga dibuat dalam bentuk pemetakan ruang dengan membangun rumah pemukiman. Usaha tersebut dibuat besar-besaran untuk mendatangkan orang luar (migran). Tujuan pemerintah adalah  untuk mengatasi semua yang dianggap tidak maju, kampungan, dan tidak tahu apa-apa. Setiap daerah lalu memulai tugas baru dengan kebiasaan yang baru pula.

Aspirasi pemekaran provinsi (DOB) di Papua

Sejak pembentukan kabupaten dan Provinsi Irian Barat dengan UU No. 12/1969 Papua diwajibkan memakai nama Irian Jaya. Pada masa itulah terjadi perubahan dan mulai dilancarkan program untuk Papua. Papua lalu dihinggapi sistem Indonesia.

Kini para aktor pemekaran Papua belum membuat apa-apa untuk kesejahteraan orang Papua. Elite-elite masih ragu-ragu terhadap program pemerintahan Provinsi Papua dan Papua Barat, sehingga tidak perlu memaksa Presiden Joko Widodo untuk merestui pemekaran atau DOB (Daerah Otonomi Baru).

Rasanya sangat disayangkan jika tokoh-tokoh (elite-elite politik) Papua menanggapi aspirasi pemekaran Provinsi Papua berdasarkan tujuh wilayah adat yang sedang diwacanakan. Hal ini sangatlah keliru, sebab usaha keras pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat adalah untuk pembangunan dan kesejahteraan di Papua.

Di sisi lain, DOB merupakan upaya ekspedisi kekayaan alam, kemudian mewacanakan pemekaran, dengan tujuan, orang asing tidak merampas kekayaan alam yang dimiliki enam kabupaten di wilayah Meepago, seperti yang disampaikan Ketua Asosiasi Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Isaias Dou (Timika Express, 31 Oktober 2019).

Pemerintah pusat perlu melihat dengan baik aspirasi pemekaran Provinsi Papua Tengah karena wilayah enam kabupaten ini memiliki kekayaan alam masing-masing. Di sini juga terdapat proyek-proyek ilegal yang sedang beroperasi, tetapi tidak dikontrol serius oleh pemerintah setempat, seperti pendulangan emas di Degeuwo (Paniai), lahan kelapa sawit di Yaro-Nabire dan PT Pal-Jalan Trans Timika-Paniai, serta Illegal Logging Perusahaan Kayu di Perbatasan Mimika-Dogiyai.

Semua usaha ini dikelola oleh perusahan-perusahan maupun para kontraktor. Dalam hal ini tidak satu pun perusahaan yang mampu menyejahterakan masyarakat setempat. Justru tempat-tempat tersebut akan menimbulkan banyak masalah.

Usaha kesejahteraan pemerintah pusat untuk Papua dulu dan sekarang

Jelas bahwa Papua dipandang sebagai tanah yang besar dan kosong untuk dihuni dan ditinggali transmigran. Menurut sensus 1980, Provinsi Papua memiliki kepadatan penduduk 2,65 orang per km2. Penduduk asli diperkirakan berjumlah 800-900 ribu orang. Kebanyakan masih hidup terpencar-pencar.

Sebenarnya transmigran banyak yang datang, baik secara resmi, maupun spontan. Transmigrasi spontan biasanya dari Maluku, Sulawesi Selatan, NTT, dan daerah lainnya di Indonesia. Sedangkan transmigrasi resmi dari pemerintah berasal dari Jawa. Transmigrasi resmi menempati wilayah Merauke, Jayapura, Sorong, Manokwari, dan Paniai–kini Kabupaten Nabire (Boelaars: 1986 dalam “Manusia Irian, Dahulu, Sekarang, Masa Depan).

Nabire adalah daerah transmigrasi pertama sejak terbentuknya Provinsi Irian Jaya. Misi transmigrasi adalah motivasi partisipasi dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam membangun dirinya sendiri agar kemandirian masyarakat lebih cepat terwujud dan ketergantungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah semakin berkurang (Transmigrasi Masa Dulu, Kini dan Harapan Kedepan, hlm. 15 [?]). Daerah trans di Nabire fokus mengelola bidang perkebunan dan peternakan. Nabire juga diagungkan oleh kabupaten lain sebagai kota jeruk dan lahan padi.

Usaha transmigrasi bekerja sama dengan pemerintah setempat. Sayangnya masyarakat Nabire, khususnya OAP dari suku Mee, Nabire dan Migani tidak mempunyai sawah dan lahan jeruk. Pertanyaannya, apakah setelah Nabire menjadi ibukota Provinsi Papua Tengah masyarakat asli dapat sejahtera dan memiliki sawah dan jeruk berhektare-hektare? Hal ini harus menjadi perhatian serius.

Paniai dan Deiyai menjadi kota tua zending dan misi Katolik Belanda. Pada zaman dahulu Belanda mendirikan Yayasan Fundwi yang terutama memberikan perhatian pada pemulihan infrastruktur, sementara pemerintah menempuh arah yang sama pula dan memperhatikan fasilitas-fasilitas pipa air dan perusahan-perusahan listrik di pusat-pusat kota. Juga ekspor desa dikembangkan (kopra, karet, kakao, cengkeh), sedangkan perkebunan dan pertanian (kacang tanah, kopi, kakao, cengkeh) dikembangkan oleh penduduk pribumi.

Sedangkan bagian keagamaan menghasilkan produk-produk perdagangan ini terhadap segala macam usaha dari pihak jawatan-jawatan pemerintah dan organisasi swasta (terutama zending dan misi Katolik) di desa/kota yang tidak hanya memperhatikan bangunan-bangunan, tetapi terutama pembentukan kader (Boelaars. Ibid).

Paniai, Deiyai dan Dogiyai yang gencar dengan pembangunannya dibuat pelatihan bagi kaum wanita seperti kursus masak-memasak, jahit-menjahit pakaian (SKB). Pembinaan kader dalam pelayanan dalam bentuk kursus di PPK Epouto. Pusat Zending Kingmi (sekarang GKIP) di Papua adalah Paniai. Sehingga usaha-usaha misionaris zending telah mengupayakan SDM melalui pendidikan.

Mereka membuka STA Kebo-Paniai, STA Gakokebo-Deiyai, dan STA Enarotali-Paniai untuk mempersiapkan kader bagi OAP (sampai saat ini masih aktif). Apakah pemerintah masih mendukung usaha yang dilakukan para misionaris untuk masyarakat Papua?

Dogiyai adalah kabupaten yang memiliki kebudayaan bercocok tanam dan beternak. Di sana juga diceritakan bahwa misionaris Katolik berupaya membuat program bersifat pemberdayaan masyarakat setempat, yakni P5, tempat produk kopi asli, dan lainnya.

Namun, kini sistem yang telah dibangun jauh berbeda dengan apa yang dibuat misionaris. Artinya, P5 tidak lagi seperti dulu yang diagungkan dan banyak daerah berdatangan untuk mengikuti kursus dan memelihara sapi, serta menanam kopi dan buah-buahan.

Kabupaten Mimika disebut-sebut dapur dunia dengan kekayaan emas dan tembaganya. Hasil kekayaannya diagungkan oleh banyak negara, tetapi masyarakat dan kekayaan alamnya dirampas oleh orang lain. Masyarakat Kamoro dan Amungme dipinggirkan.

Kenyataan menyebutkan bahwa masyarakat tidak memiliki rumah layak dan tidak cukup mendapatkan 1 persen hasil Freeport dibandingkan dengan 99 % yang dinikmati orang lain. Masyarakat setempat hanya sepersen yang didibagi dalam bentuk pendidikan, perekonomian, perikanan, dll. Apakah adil dengan perlakuan yang dibuat oleh kepentingan pemerintah setempat dengan PT Freeport Indonesia terhadap pemilik hak ulayat sebagai tuan atas kekayaannya?

Semua usaha kesejahteraan untuk Papua dalam bentuk apa saja telah dibuat, tetapi kenyataanya belum ada kesejahteraan sampai saat ini.

Ulasan utama yang direfleksikan penulis adalah, belum adanya niat untuk menyejahterakan masyarakat dari pemimpin sendiri. Hasil kekayaan yang disalurkan ke setiap kabupaten tidak digunakan dengan baik dan benar, sehingga segala lini–pendidikan, ekonomi, dan kesehatan–hanya tinggal bangunan tanpa pengajar, dokter/suster/mantri.

Semua tinggal bangunan bagi orang Papua. Masing-masing tingkat pelayanan belum mendapatkan pelayanan yang baik dan benar. Kemudian di bidang perekonomian yang dulunya dilakukan oleh orang lain, kenyataannya sekarang pemerintah belum mampu bekerja sama dengan masyarakat ihwal apa yang telah dibuat oleh misionaris. Akhirnya, semua usaha kesejahteraan masyarakat tidak berkembang secara urgen.

Ada kesan bahwa pemerintah pusat memanfaatkan momen dimulainya pemerintah Indonesia menyatukan Papua ke dalam NKRI (1969) melalui Pepera. Pemerintah pusat melakukan berbagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan di Papua. Pemerintah Indonesia telah menetapkan wilayah kekuasaan secara administratif dari Provinsi Irian Jaya sampai dengan pelosok RT/RW.

Provinsi Irian Jaya juga telah memekarkan banyak kabupaten/distrik, bahkan mulai berupaya destinasai wilayah. Itulah struktur kenegaraan Republik Indonesia yang dilindungi oleh undang-undang dan didasarkan pada Pancasila.

Jika pemerintah pusat menyetujui DOB ini berarti pemerintah tidak melihat dan tidak meyakinkan program pemerintah pusat yang telah dibuat untuk Papua. Pemerintah pusat telah melakukan berbagai cara untuk memberdayakan masyarakat Papua. Salah satunya adalah transmigrasi dan (mengucurkan) dana otsus agar setiap kampung dibangun dan dikontrol oleh kepala kampung sendiri, di bawah pimpinan bupati.

Kemudian usaha transmigrasi tidak hanya memindahkan penduduk ke daerah kosong di Papua, tetapi juga upaya pemerintah pusat untuk mengembangkan aspek sosial, terutama dalam perekonomian yang lebih maju. Tetapi semua usaha pemerintah tidak ada tidak ada gunanya untuk OAP.

Pemerintah pusat jangan menambah masalah, tetapi berusaha menyadarkan para tokoh-tokoh (penggagas) pemekaran untuk mengembangkan potensi yang dimiliki masyarakat setempat, melalui usaha-usaha yang telah dibangun dan relevan.

Papua tidak menyediakan tempat kosong lagi untuk transmigrasi dan untuk lahan militerisasi, karena usaha sebelumnya belum ada keuntungan bagi Papua dan OAP. Militerisasi hanya menimbulkan trauma.

Para tokoh pemekaran jangan abaikan program pemerintahan yang sudah ada

Para tokoh (elite) pemekaran jangan mengabaikan program pusat untuk menyejahterakan masyarakatnya, dan mesti bertanya untuk apa pemekaran. Transmigrasi justru membuat masyarakat asli di pelosok terpinggirkan. Salah satu contoh kecil, dulu sekitar SD di Paniai, sekitar Aikai, Enarotali, adalah kolam pemancingan, tapi kini jadi tempat jual-beli. Kemudian pelabuhan di ujung lapangan terbang kini jadi perumahan. Ini terjadi akibat banyaknya penduduk dari transmigrasi spontan.

Apakah kita mau supaya anak-cucu kita hidup terlantar dan terpinggirkan? Sekolah-sekolah di pedalaman tanpa pelayanan, apakah dengan adanya provinsi baru akan terisi tenaga pengajar dan medis di kampung dengan baik? Rasanya hanya mimpi belaka. Dengan kehadiran provinsi baru, apakah OAP diberikan hak yang sama mengelola SDA?

Kenyataannya, SDA dirampas. PT Pal Jalan Trans Timika-Paniai yang sedang dibuat di wilayah pemerintahan Timika, lahan sawit, pendulangan emas Kali Degeuwo di Paniai, pembunuhan di wilayah pendulangan emas secara ilegal oleh orang asing, illegal logging di Sukikan Selatan tanpa perlindungan pemerintah pusat dalam wilayah antara Dogiyai-Mimika. Kelapa sawit di Nabire-Yaro dan Mimika yang membakar dan merusakkan hutan serta margasatwa setempat, yang dibuat oleh orang asing.

Provinsi baru (Papua Tengah) terdiri dari enam kabupaten. Jangan bermimpi akan dengan mudah menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah kerusakan dan membuka lahan bagi kapitalis dan pengusaha-pengusaha besar.

Papua bukanlah daerah kosong. Jangan lagi membuka provinsi pemekaran, tetapi harus membangun SDM di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, dll. Pemerintah harus menangani permasalahan yang dihadapi masyarakat dengan bijaksana, bukan malah sibuk mewacanakan pemekaran. (*)

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana STFT Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timo Marten

Related posts

Leave a Reply