Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Diperkirakan 62 persen variasi berat badan bayi ketika lahir merupakan faktor lingkungan. Sedangkan sisanya adalah pengaruh gen bayi dan gen yang dibawa oleh ibu dari neneknya.
Demikian disampaikan Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Provinsi Papua Drg. Cristina Siregar, M.Kes. Menurutnya pertumbuhan janin memang dipengaruhi oleh faktor gen. Namun, tampaknya faktor lingkungan di dalam kandungan jauh lebih besar pengaruhnya.
Pengaruh lingkungan gizi terhadap janin sangat dipengaruhi oleh waktu atau kapan kekurangan gizi tersebut terjadi di dalam proses perkembangan janin.
“Bahkan dampak salah gizi pada masa dini kehamilan tersebut bersifat trans-generasi atau dari nenek ke cucu, bukan lagi bersifat antar-generasi atau dari ibu ke anak,” ujarnya.
Di mana setiap organ tubuh, kata Cristina, mempunyai fase kritis pertumbuhan yang berbeda yang disebut ‘critical windows’, yaitu masa di dalam perkembangan janin di mana terjadi diferensiasi dan proliferasi sel paling cepat.
BACA JUGA: Jelang penerapan BTM, semua guru harus sudah divaksinasi
“Sehingga pada masa ini janin sangat sensitif terhadap persediaan gizi yang sub-optimal dan akibatnya akan berdampak jangka panjang,” katanya dalam acara daring workshop “Penguatan Pelayanan Gizi Ibu Hamil Tingkat Provinsi Papua 2021”.
Cristina mengatakan bila lingkungan kekurangan gizi berlangsung lama, maka janin akan melakukan penyesuaian melalui perubahan struktur, fungsi fisiologis, dan metabolisme di dalam tubuhnya.
“Dampaknya akan mempengaruhi jangka panjang masa kehidupan selanjutnya, yakni tinggi badan, otak yang mempengaruhi fungsi kognitif yang kurang optimal, dan fungsi organ lainnya, sehingga meningkatkan resiko terjadinya berbagai penyakit kronis dan tidak menular,” katanya.
Cristina menambahkan, berdasarkan penelitian terhadap hampir tiga ribu anak terkait kemampuan kognitif, hasilnya keterlambatan pertumbuhan pada masa kanak-kanak berhubungan dengan rendahnya kemampuan verbal, visuo-spatial, dan berhitung pada usia 20 tahun
“Kenapa semua itu bisa terjadi, karena suplai makanan janin sangat tergantung pada suplai makanan dari ibu, baik makanan yang dikonsumsi maupun yang berasal dari simpanan di dalam tubuh ibu,” ujarnya.
Dengan demikian, kata Cristina, sangat penting untuk memastikan kesehatan yang baik dan gizi yang cukup pada seribu hari pertama kehidupan. Maka itu perlu intervensi terhadap ibu hamil, yakni intervensi prioritas seperti pemberian tablet tambah darah, pemberian makanan tambahan bumil, Kekurangan Energi Kronis (KEK), serta intervensi pendukung seperti pemberian suplementasi kalsium dan pemeriksaan kehamilan.
“Serat intervensi prioritas sesuai kondisi tertentu, seperti perlindungan dari malaria, pencegahan HIV, sifilis, dan Hepatitis,” katanya.
Dwi Kristanto, nutrition officer UNICEF Kantor Wilayah Papua dan Papua Barat, mengatakan gizi ibu hamil yang optimal dapat membantu kelahiran yang sehat dan mencegah Bayi Berat Lahir Rendah (BBRL) dan stunting pada anak. Pada masa ini merupakan ‘window of opportunity’ untuk membentuk sel dan jaringan tubuh atau istilahnya masa emas.
“Gizi ibu hamil tidak hanya identik pada masa kehamilan, tetapi meliputi masa sebelum kehamilan, selama kehamilan, dan sesudah kehamilan atau saat menyusui,” ujarnya.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi gizi ibu hamil di antaranya keterbatasan pelatihan dalam konseling untuk ibu hamil dan menyusui, ketidaksesuaian promosi dan pemasaran makanan kurang sehat, serta keterbatasan akses makanan beragam.
“Papua salah satu provinsi yang memiliki kerawanan pangan yang tinggi. Selain itu berdasarkan survei nasional sekitar 38 persen masyarakat belum dapat mengakses makanan bergizi dan belum dapat memenuhi angka kecukupan gizi,” katanya.
Untuk itu, kata Kristanto, penting pelayanan bagi ibu hamil, yakni penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan, pengukuran tekanan darah, pengukuran lingkaran lengan atas (LiLA), pengukuran tinggi puncak rahim, dan penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus sesuai status imunisasi.
“Serta pemberian tablet tambah dari minimal 90 tablet selama kehamilan, pelayanan tes laboratorium sederhana minimal tes hemoglobin darah (Hb), dan pelaksanaan temu wicara atau pemberian komunikasi interpersonal dan konseling,” ujarnya.
Selain itu, tambahnya, perlu rencana aksi penguatan sistem kesehatan dan gizi dengan memperioritaskan gizi ibu hamil dalam perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan dan pemantauan, melakukan ‘supportif supervise’ untuk konseling gizi ibu hamil.
“Juga penguatan kapasitas tenaga kesehatan untuk melakukan konseling berkualitas dan memperkuat kelas ibu hamil dan ibu balita,” katanya. (*)
Editor: Syofiardi