Lukas Enembe menolak tawaran istana untuk menjadi Carateker Gubernur Papua Tengah. Meskipun Lukas Enembe menyetujui tawaran menjadi Ketua DPD Demokrat, ia mensyaratkan prosesnya harus sesuai mekanisme.
Oleh Musa Haluk
Beberapa tahun belakangan ini sekelompok orang telah membangun berbagai opini dengan meminjam predikat akademisi, adapula yang mengaku sebagai birokrat mantan pekabat Kota. Pihak lainnya mengaku intelektual, politisi dan sebagainya. Mereka ini hanya kulitnya saja Papua. Tetapi apa yang mereka suarakan adalah pihal lain. Mereka kadang mengaku diri sebagai akademisi kemudian mencoba memprovokasi rakyat Papua dengan membangun narasi-narasi fiktif, penuh nuansa rasis dengan muatan subjektif.
Mereka mengorbankan segalanya untuk menjadi lidah dan budak para pejabat, elit, intelijen, keamanan, investor hingga politisi Jakarta. Dengan harapan mereka diberikan tempat di lingkaran kekuasaan, jabatan bahkan bisa jalan-jalan ke luar negeri bersenang-senang. Kadang mereka mengaku bisa lobby negara tertentu untuk meredam isu Papua dan seterusnya. Mereka sama-sama baku tipu dan saling menghibur. Pada saat yang sama mereka juga saling memanfaatkan. Satunya butuhkan lidah dan mulut orang Papua sebagai bagian dari politik pecah belah orang Papua sedangkan kelompok di Papua yang senang menjadi budak penguasa membutuhkan uang dan mencicipi kekuasaan. Para pihak di Papua yang bersikap seperti ini sesungguhnya perlu refleksikan dari kata-kata Barnabas Suebu, “Saya Menyesal.”
Apa yang kurang dari Suebu bagi Indonesia. Semua sempurna, dari birokrat, politisi, Ketua DPRD Irian Jaya, Gubernur, Duta Besar dsb.
Komitmen Suebu
Beberapa hari terakhir ini ada upaya membangun isu, Lukas Enembe memperjuangkan pemekaran sejak ia menjadi Wakil/Bupati Puncak Jaya. Lukas Enembe disebutkan sudah buat komitmen dengan Presiden SBY tentang pemekaran Papua sejak 2006. Narasi-narasi sesat macam ini perlu diluruskan dengan data dan fakta supaya rakyat tidak sesat dan gagal paham.
Fakta yang sesungguhnya adalah pada pertengahan Juni 2006 terjadi dua kali pertemuan di Istana Negara:
Pertemuan pertama antara Barnabas Suebu dengan SBY adalah untuk menyampaikan komitmen kepada SBY apabila ia dilantik sebagai Gubernur Papua. Suebu menyampaikan empat komitmennya Presiden SBY sebagai berikut :
- Memastikan Papua tetap sebagai bagian dari NKRI;
- Memastikan Provinsi Irian Jaya Barat (PB) akan menerima dana Otsus atau menjadi subjek dan objek Otsus;
- Memulangkan tokoh-tokoh OPM dari luar negeri ke Papua; dan
- Memastikan kelanjutan Operasional PT. Freeport Indonesia.
Setelah empat komitmen ini disetujui, hari berikutnya dilakukan pertemuan kedua di Istana Negara. Dalam pertemuan kedua di Istana Negara ini hadir juga Lukas Enembe, Abraham Atururi (saat itu Barnabas Suebu dan Abraham Atururi belum dilantik) dan Ketua DPRP John Ibo serta Ketua DPR Irian Jaya Barat Demianus Ijie. Pertemuan ini dilakukan untuk memastikan pelantikan Gubernur Papua.
Empat komitmen yang disampaikan oleh Barnabas Suebu pada akhirnya tergenapi.
Komitmen pertama terbukti hingga hari ini.
Poin kedua direalisasikan oleh Suebu Atururi pada 5 Februari 2007 mengusung Tema: Papua Dua tapi Satu dan Satu tapi Dua.
Pada bulan berikutnya di tahun 2007 untuk pertama kalinya kedua provinsi melakukan Musrenbang di Biak.
Turut serta Ketua MRP Papua. Kesepakatan kedua pihak melalui Musrenbang memastikan Provinsi Irian Jaya Barat menerima dana Otsus.
Sebagai tindak lanjutnya pada 2008, Presiden SBY keluarkan PP No. 1 tentang perubahan Otsus dan 6 bulan kemudian keluarkan UU No. 35 atas perubahan Otsus. Perubahan ini hanya mengubah satu pasal saja untuk memastikan provinsi Irian Jaya Barat menerima dana Otsus.
Komitmen memulangkan tokoh-tokoh OPM dilakukan dengan membentuk Tim Repatriasi. Beberapa tokoh OPM yang pulang waktu itu hanya dari Sentani dan Teluk Youtefa. Mereka adalah Nick Messet, Frans Albert Joku dan Nicolas Youwe. Pemerintah pusat dan daerah mengeluarkan dana besar untuk operasional pemulangan mereka.
Komitmen kelanjutan operasional PT. Freeport Indonesia.
Setelah Barnabas Suebu dilantik, ia berkunjung keTembagapura. Suebu keluarkan statemen, “Orang Papua butuhkan susu Freeport. Jadi jangan tutup Freeport.”
Jadi yang buat komitmen sebagaimana para pihak maksudkan adalah Pak Suebu. Inilah yang Bapak Suebu maksudkan “Saya Menyesal”.
2006 istana dekati Lukas Enembe
Setelah pertemuan dengan Barnabas Suebu, Abraham Atururi, John Ibo, Jimie Ijie dan Lukas Enembe dengan Presiden SBY Istana Negara, pihak SBY mendekati Lukas Enembe. Mereka memberikan dua tawaran kepada Lukas Enembe. Tawaran pertama adalah menjadi Caretaker Gubernur Papua Tengah dan menjadi Ketua DPD Demokrat Papua yang waktu itu dijabat oleh Budi Baldus Waromi.
Lukas Enembe menolak tawaran istana untuk menjadi Carateker Gubernur Papua Tengah. Meskipun Lukas Enembe menyetujui tawaran menjadi Ketua DPD Demokrat, ia mensyaratkan prosesnya harus sesuai mekanisme.
Pada akhir 2007 dilakukan Musda Demokrat dan Lukas Enembe terpilih sebagai ketua Partai Demokrat Provinsi Papua.
Rakyat Papua dan Indonesia perlu mengetahui bahwa pada Pilgub 2006, defakto telah dimenangkan oleh Lukas Enembe. Tetapi pasca terjadi peristiwa 16 Maret, isu “anti orang gunung” dihembuskan sangat kencang.
Beberapa jam sebelum pleno KPUD Papua terjadi pemindahan 12.000 suara dari PPD Distrik Samenage (Yahukimo) kepada pasangan Barnabas Suebu – Alex Hesegem. Saat pembacaan hasil pleno para saksi kaget. Saksi PDS Ham Nawipa protes namun polisi mengeluarkan paksa HAM Nawipa dari ruangan pleno di Kantor KPUD Papua.
Pasangan Lukas Enembe menggugat di Mahkamah Agung namun putusan memenangkan pasangan Suebu – Hesegem. Meskipun massa Enembe protes di Jakarta, namun protes tidak berlanjut ke Papua. Enembe dan massanya menerima putusan tersebut. Selanjutnya para pendukung Lukas Enembe membuat cap jempol dengan darah, bernazar setia dukung Enembe sampai menjadi Gubernur Papua. Nazar dan komitmen itu dibuktikan kemudian.
Lukas Enembe tidak menerima tawaran menjadi Caretaker Gubernur Papua Tengah, yang akan menjadi pintu pemekaran Papua setelah Irian Jaya Barat. Ia berkomitmen Papua milik semua. Sebagai seorang anak adat dan tokoh Papua, anak Papua akan bertarung di Papua. Bukan mundur dan buat pemekaran baru.
Fakta ini terjadi di depan mata kita semua. Kebenaran boleh disalahkan tetapi tidak dikalahkan.
Bertarunglah dengan jujur. Bangunlah narasi berdasarkan kejujuran, sesuai data dan fakta bukan asumsi dan sentimen subjektif. Apalagi membangun opini hanya karena mendapatkan tempat di lingkaran kekuasaan atau uang. Narasi fiktif untuk mencela saudaramu akan terbukti pada saatnya nanti. Matahari masih terbit dari Timur.
Lawan fitnah, lawan budak penguasa, budak Jakarta. Lawan mereka yang menjadi kaki tangan, mulut Jakarta untuk menjual tanah air Papua kepada orang asing. (*)
Penulis adalah Ketua Umum DPP Kamar Adat Pengusaha (KAP) – Papua.