Oleh: Pastor Bernardus Bofitwos Baru, OSA*
Metz memberikan autokritik kepada Gereja (kepada diri kita sebagai orang Kristen) dengan mengatakan, bahwa dalam perjalanan sejarah Gereja (kekristenan), Gereja mengartikan dan mempraktikkan ajaran Kristus sebagai sebuah agama yang terlalu menekankan aspek kedosaan individu, sehingga kehilangan penekanan pada aspek “penderitaan manusia” (the suffering people). Dengan demikian Gereja umat Allah dan hierarki (institusi), kehilangan sensibilitas (sensitivitasnya) atas penderitaan Yesus (the passion of Christ) yang hadir melalui penderitaan manusia yang kita jumpai sehari-hari dan diketahui melalui berbagai berita di media massa.
Karena kehilangan sensitivitas dan sensibilitas atas aspek penderitaan manusia, Gereja tidak mampu merasakan, mengalami, dan mengekspresikan perasaan penderitaan tersebut dengan mereka yang sedang menderita; Gereja pun tidak mampu berseru bersama dengan mereka yang sedang berseru (the scream), karena ditindih oleh berbagai beban hidup, baik politik, ekonomi, sosial-budaya, maupun persoalan lainnya.
Sikap ini sangat bertolak belakang dengan prinsip misi Gereja di dunia ini, sebagaimana ditegaskan dalam Konsili Vatikan II melalui dokumen Gaudium et Spes (GS). Misi Gereja adalah memajukan, melindungi dan menjunjung tinggi martabat manusia.
Korban konflik kekerasan bersenjata
Trikora (Tri Komando Rakyat) yang digaungkan oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, di Alun-Alun Yogyakarta, 19 Desember 1961, sebagai awal mula lahirnya operasi militer—sebagai legitimasi atas kekerasan bersenjata di Tanah Papua, hingga hari ini terjadi kekerasan bersenjata terhadap orang asli Papua, khususnya pejuang Papua merdeka (OPM). Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah organisasi politik yang lahir karena ideologi politik kemerdekaan.
Mayoritas orang asli Papua menolak dengan tegas invasi Soekarno merebut wilayah Papua Barat (West Papua) atau Irian Barat ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena hasil rekayasa, Pemerintah RI memenangkan Pepera 1969.
Lahirnya OPM, terlahir pula sayap militer OPM, yang dikenal dengan nama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), yang secara konsisten memperjuangkan ideologi kemerdekaannya hingga hari ini.
Perjuangan OPM mendapat perlawanan dari Pemerintah RI melalui operasi militer, yaitu pengiriman pasukan militer (TNI-Polri) secara besar-besaran ke seluruh wilayah Papua sejak Trikora hingga hari ini.
Perlawanan inilah yang terus-menerus melahirkan kekerasan bersenjata yang memakan banyak korban nyawa, baik di pihak sipil OAP dan non-OAP, khususnya perempuan dan anak-anak, maupun militer NKRI (TNI-Polri).
Kekerasan bersenjata itu, seperti, Biak Berdarah (kekerasan TNI-Polri terhadap masyarakat sipil, 6 Juli 1998). Pada saat itu puluhan orang ditembak oleh TNI-Polri. Tragedi Biak Berdarah ini dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran HAM berat, karena terjadi pembunuhan yang dilakukan dengan cara pembantaian missal (massacre).
Selain itu terjadi peristiwa Wasior Berdarah 13 Juni 2001, yang juga dikategorikan sebagai tindakan pembunuhan dengan cara pembantaian massal (massacre) oleh TNI-Polri terhadap masyarakat sipil. Lalu ada Abepura Berdarah atau Uncen Berdarah yang dilakukan oleh TNI-Polri terhadap mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen), 16 Maret 2006, ketika mahasiswa demo menuntut penutupan PT Freeport Indonesia.
Tak hanya itu, Wamena Berdarah – kekerasan TNI-Polri terhadap masyarakat sipil di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, 4 April 2003, dan masih banyak kekerasan bersenjata lainnya di Tanah Papua.
Belum lagi perang terbuka antara TNI-Polri vs TPNPB-OPM, seperti di Mapenduma (Nduga) pada 9 Januari – 9 Mei 1996. Ketika itu terjadi penyanderaan oleh pihak TPNPB-OPM pimpinan Kelly Kwalik terhadap 26 anggota Tim Ekspedisi Lorentz 95. Karena itu, TNI melakukan operasi militer terhadap TPNPB-OPM, sehingga terjadi banyak korban di pihak sipil. Peristiwa operasi militer atau perang di Nduga, terjadi karena dipicu oleh pembunuhan terhadap pekerja jalan trans-Papua pada 30 Juli 2020.
Perang ini mengakibatkan pengungsian masyarakat. Diperkirakan konflik ini telah menyebabkan korban jiwa sebanyak 182 orang .
Operasi militer atau perang antara TNI-Polri vs TPNPB-OPM di Intan Jaya, dimulai pada bulan Februari 2020, telah mengorbankan puluhan nyawa, baik sipil dan TNI-Polri, maupun pihak TPNPB-OPM. Korban-korban tersebut, diantaranya, Pendeta Yeremias Zanambani, yang terindikasi kuat ditembak oleh TNI pada 19 September 2020, dan katekis Rufinus Tigau dan Megianus Kobagau yang juga ditembak oleh TNI pada 26 Oktober 2020.
Peristiwa pembunuhan 4 anggota TNI AD di Kisor, Distrik Aifat Selatan, Maybrat oleh TPNPB-OPM pada 2 September 2021. Peristiwa ini memicu penambahan pasukan TNI-Polri untuk menyisir pihak TPNPB-OPM, sehingga berdampak pada pengungsian masyarakat sipil. Hingga hari ini masyarakat masih berada di tempat pengungsian, mereka belum kembali ke kampung halamannya. Akan terjadi korban di kalangan pengungsi kalau mereka tidak cepat dikembalikan ke kampung halamannya.
Polisi telah menetapkan DPO 20 anggota KNPB (Komite Nasional Papua Barat) yang diduga sebagai pelaku pembunuhan terhadap 4 anggota TNI AD tersebut. Untuk bisa menangkap anggota KNPB yang sudah di-DPO ini, polisi telah menangkap dan menyiksa sejumlah orang yang dicurigai sebagai anggota KNPB yang di-DPO.
Kemudian terjadi peristiwa Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, 13 September 2021, akibat penyerangan yang diduga dilakukan oleh TPNPB-OPM hingga seorang perawat dibunuh. Tindakan ini memicu operasi militer, sehingga memakan korban nyawa.
Belakangan dua orang anak kecil menjadi korban kekerasan bersenjata di Intan Jaya, yaitu Nopelinus Sondegau (2 tahun) dan Yoakim Mazau (6 tahun), yang diduga tertembak oleh pihak TNI, 26 Oktober 2021. Konflik bersenjata ini pula mengakibatkan pengungsian besar-besaran masyarakat sipil. Mereka telah meninggalkan kampung halaman beserta harta bendanya. TNI membombardir 14 kampung. Ada 47 kepala keluarga yang mengungsi ke perbatasan PNG .
Pertanyaannya, sampai kapan konflik bersenjata ini berakhir? Siapa yang dapat memediasi Pemerintah RI dan TPNPB-OPM, agar konflik bersenjata ini dapat diakhiri? Ataukah ini didiamkan saja hingga orang Papua punah?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh Gereja-Gereja di Tanah Papua, karena mereka yang saling berkonflik adalah manusia—anggota gereja dan ciptaan Allah, semartabat dengan kita (Gereja). Para pemimpin Gereja se-Tanah Papua harus segera ambil langkah-langkah konkret untuk memediasi kubu-kubu yang bertikai, agar konflik bersenjata ini segera diakhiri.
Dialog solusi bermartabat
Konflik ideologi politik orang asli Papua dengan Pemerintah Indonesia, yang bermuara pada konflik atau kekerasan bersenjata (operasi militer) tidak bisa dibiarkan. Konflik bersenjata antara TNI-Polri vs TPNPB-OPM, baik secara langsung berupa operasi militer atau perang, maupun berupa kekerasan polisi terhadap kaum sipil pada saat-saat demo damai, telah mengakibatkan ratusan, bahkan ribuan nyawa manusia melayang, terutama kaum perempuan, anak-anak dan orang-orang tua.
Kejahatan perang ini harus diakhiri dan dihentikan. Tidak bisa dibenarkan bahwa kekerasan terhadap kemanusiaan ini terus terjadi. Pemeliharaan dan pembiaran oleh negara agar kekerasan terhadap kemanusiaan ini terus terjadi adalah suatu perbuatan jahat.
Presiden harus berani mengambil langkah politik untuk mengakhiri konflik kemanusiaan yang terlama di Indonesia ini. Presiden harus berani mengambil kebijakan yang berprikemanusiaan dan berprikeadilan bagi warganya, khususnya warga negara yang hidup di Tanah Papua, dari Merauke hingga Sorong.
Ketika presiden tidak berani mengambil kebijakan yang berprikemanusiaan dan berprikeadilan, maka kekerasan terhadap kemanusiaan akan terus terjadi di Tanah Papua. Lingkaran kekerasan terhadap kemanusiaan ini merugikan semua pihak, termasuk negara. Oleh karena itu, diperlukan sebuah solusi politik yang menyeluruh dan bermartabat, solusi politik yang berperikemanusiaan dan berperikeadialan bagi semua pihak.
Sikap patriot perikemanusiaan dan perikeadilan yang harus dikedepankan, bukan sikap membalas kekerasan dengan kekerasan. Dibutuhkan hati berperikemanusiaan seorang Presiden agar bisa menyelesaikan konflik bersenjata ini dengan jalan damai. Pemerintah harus mempunyai kemauan politik tinggi (high political will) untuk mengakhiri konflik bersenjata ini.
Pendekatan kekerasan senjata tidak akan dan tidak pernah dapat menyelesaikan krisis kemanusiaan yang melanda dunia ini, termasuk di Papua. Sejarah telah membuktikan bahwa kekerasan atau perang, apapun bentuknya, hanya dapat diselesaikan dengan jalan damai, yaitu jalan dialog—jalan negosiasi.
Dialog adalah jalan (via) atau medium yang bermartabat, yang digunakan oleh manusia, untuk menyelesaikan berbagai konflik dan kekerasan, termasuk kekerasan bersenjata di Tanah Papua.
Mengapa dialog menjadi jalan utama penyelesaian konflik ini? Karena kita sebagai manusia memiliki martabat dan citra ilahi. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang bercitra dengan-Nya, yang memiliki akal budi, suara hati, kehendak bebas, dan mempunyai hak serta tanggung jawab yang sama di hadapan Tuhan.
Berhubung dengan dialog – negosiasi ini, Gereja hendaknya lebih berperan aktif mendorong semua pihak, khususnya kedua belah pihak yang bertikai, yaitu pihak Pemerintah Indonesia dengan pihak orang asli Papua yang diwakili oleh ULMWP (United Liberation Movement for West Papua).
Gereja harus berperan aktif mengajak dan mendorong kedua belah pihak yang bertikai agar duduk bersama untuk berdialog/negosiasi demi mengakhiri kekerasan kemanusiaan di Tanah Papua.
Gereja jangan diam terhadap kekerasan ini. Gereja harus tampil untuk mengajak dan mendorong kedua belah pihak yang bertikai untuk berdialog melalui mekanisme yang disepakati bersama dan dimediasi oleh pihak yang netral.
Para pemimpin Gereja harus mendekati kedua pihak yang bertikai, mengajak dan mendorong agar keduanya bersepakat mengakhiri kekerasan kemanusiaan ini dengan jalan dialog—negosiasi, bukan dengan jalan operasi militer atau kontak senjata. Gereja harus berperan aktif mengajak pihak Pemerintah dan TPNPB-OPM melalui ULMWP agar berdialog untuk mengakhiri konflik bersenjata, yang berakibat pada krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Format dialog telah ditawarkan oleh Pater Dr. Neles Tebay, melalui bukunya, “Dialog Jakarta – Papua” yang diterbitkan oleh SKP (Sekretariat Keadilan dan Perdamaian) Keuskupan Jayapura, 2009.
Gereja hendaknya tidak menggantikan peran Pemerintah, apalagi menjadi “kaki tangan” Pemerintah, tetapi Gereja harus tetap berada pada posisinya sebagai perantara, bukan memihak salah satunya.
Misi Gereja adalah misi keadilan dan perdamaian bagi kemanusiaan (justice and peace for humanity). Misi Gereja bukan demi memperjuangkan keamanan Negara, melainkan memperjuangan keadilan, perdamaian dan kemanusiaan.
Tokoh-tokoh Gereja tidak boleh menjadi pengkhianat atau Yudas Iskariot yang menjual kekuasaannya demi misi duniawi. Para pemimpin Gereja harus berperan aktif mengajak kedua belah pihak yang bertikai agar mengedepankan nilai-nilai kasih, persaudaraan dan kemanusiaan universal sebagai dasar pijakan, untuk mengakhiri konflik politik dan kekerasan bersenjata, yang terus-menerus berkecamuk di Tanah Papua hingga hari ini.
Jika political will pemerintah mencanangkan dialog dengan TPNPB-OPM melalui ULMWP, maka kekerasan bersenjata akan diakhiri, dan terciptalah masyarakat yang hidup dalam damai dan persaudaraan sejati. Selesai. (*)
*Penulis adalah Direktur SKPKC-OSA, tinggal di Biara Tagaste, Sorong, Papua Barat
Editor: Timoteus Marten