Oleh: Alfredo J.M. Manullang
Quae sunt minoris culpae sunt majoris infamiae. Demikian salah satu postulat dalam ilmu hukum yang dapat diartikan bahwa kejahatan yang kejam akan dihukum dengan hukuman yang kejam.
Tulisan ini dibuat sebagai respons atas fenomena maraknya pemberitaan tentang dana bantuan sosial (bansos) di tengah pandemi vovid-19 yang disalahgunakan oleh “penyalur bansos”.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu perbuatan yang sangat jahat. Semakin masif kampanye untuk melawan korupsi justru semakin banyak terkuak kasus korupsi.
Korupsi telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan, serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.
Pelaku tindak pidana korupsi dapat dikatakan lebih berbahaya dibandingkan teroris, sebab uang triliunan rupiah yang disalahgunakan seorang pelaku, merupakan biaya kelangsungan hidup jutaan penduduk miskin Indonesia. Dalam konteks itulah koruptor dapat disebut the real terrorist.
Dari perspektif kriminologis korupsi dikualifikasikan sebagai the multy endemic crime, atau ada pula yang menyebutnya sebagai the structural crime atau kejahatan yang sudah berstruktur, mengakar kuat dan bahkan sudah bersistem, sehingga korupsi digolongkan ke dalam seriously crime (kejahatan serius) atau extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).
Dengan demikian penanganannya pun semestinya berskala luar biasa (extra ordinary action).
Bisa dijerat pidana
Apakah fenomena tersebut di atas dapat dikatakan sebagai kejahatan dalam hukum pidana?
Ada tiga kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana, masing-masing adalah individuale belangen (kepentingan-kepentingan individu), sociale of maatschappelijkebelangen (kepentingan-kepentingan sosial atau masyarakat), dan staatsbelangen (kepentingan-kepentingan negara.
“Het strafrecht zich richt tegen min of meer abnormale gedragingen,” yang berarti hukum pidana berfungsi untuk melawan tindakan-tindakan yang tidak normal. Demikian menurut Vos sebagaimana dikutip dari Eddy O.S. Hiariej.
Tindakan-tindakan tidak normal yang dimaksud adalah tindakan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang berpotensi dilakukan oleh “penyalur bansos” di tengah pandemi covid-19.
Jika dilihat, berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka tindakan tersebut dianggap sebagai korupsi.
Pasal 2 dan 3 UU a quo dirumuskan sebagai berikut :
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan,
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dana atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milar rupiah).
Lebih lanjut, frasa “keadaan tertentu” dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU a quo adalah sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Bertalian dengan hal tersebut perlu diingat bahwa Presiden Joko Widodo secara resmi telah menetapkan covid-19 sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.
Oleh karena itu, hemat penulis tindakan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang dilakukan oleh “penyalur bansos” di tengah pandemi covid-19, pelakunya dapat diancam dengan pidana mati.
Pidana mati adalah pidana terberat (mors dicitur ultimum supplicium).
Namun tentu dengan memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Dalam SEMA tersebut terdapat kriteria jumlah kerugian keuangan negara yang telah disepakati para hakim agung, sebagai dasar penggunaan Pasal 2 atau Pasal 3 UU a quo.
Jika kerugian negara kurang dari seratus juta rupiah, maka diterapkan Pasal 3 (menguntungkan), jika lebih dari seratus juta rupiah maka digunakan Pasal 2 (memperkaya).
Perbedaan Pasal 2 dan 3
Pasal 2 dan Pasal 3 UU a quo merupakan pasal yang populer yang digunakan penuntut umum ketika menghadapi kasus korupsi yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara.
Lebih lanjut, pembeda dari kedua pasal tersebut adalah :
Pertama, terletak pada delik pokok atau delik utama (kernbestanddeel).
Perbuatan yang dilarang pada kedua pasal tersebut adalah perbuatan memperkaya (Pasal 2 ayat 1) dan menguntungkan (Pasal 3) diri sendiri atau orang lain atau korporasi;
Kedua, sarana yang digunakan untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Pasal 2 ayat (1) mengatur, sarana yang digunakan adalah melalui perbuatan melawan hukum (PMH), sedangkan Pasal 3 sarana yang digunakan adalah melalui menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
Ketiga, berkaitan dengan ancaman pidana. Pasal 2 memiliki ancaman pidana minimum dan maksimum yang lebih berat dibandingkan dengan ancaman pidana pada Pasal 3. (*)
Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih dan Magister Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada