Papua No. 1 News Portal | Jubi
Manokwari, Jubi – Ikatan mahasiswa Fakfak di kota studi Manokwari, Papua Barat, menyatakan keberatan terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri Fakfak terhadap 23 tahanan politik (tapol) dengan dakwaan Makar pada kejadian 1 Desember 2019, dalam sidang putusan yang digelar selama dua hari (22 dan 23) Oktober 2020.
Mahasiswa beralasan, penolakan ini berdasar atas putusan hakim PN Fakfak yang berbeda-beda pada 23 terdakwa itu.
Frans D. Tigtigweria, ketua Ikatan Mahasiswa Fak Fak di kabupaten Manokwari, mengatakan bahwa sebagai bagian dari keluarga 23 terdakwa, merasa adanya kejanggalan hukum.
“Kami nilai ada kejanggalan, karena putusan hukuman yang diberikan hakim PN Fakfak berbeda-beda,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar Kamis (29/10/2020), kemarin.
Senada, Estentinus Pihiwi, wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Fakfak Kabupaten Manokwari, mengatakan putusan hakim PN Fakfak perlu mempertimbangkan sisi kemanusiaan dari para terdakwa, karena beberapa orang terdakwa telah berusia di atas 50-an tahun.
“Putusan hakim juga harus lihat dari sisi kemanusiaan, mereka (23 terdakwa), adalah orang tua kami, ada yang sudah berusia di atas 50 tahun. Perkara ini pun diproses hampir setahun baru ada putusan,” katanya.
Sementara, Samuel Herietrennggi, anak dari terdakwa Elieser Herietrennggi, yang kini masih menempuh perkuliahan di salah satu kampus negeri di Manokwari, memohon kepada hakim PN Fakfak, untuk memberikan pertimbangan hukuman terhadap ayahnya [terdakwa Elieser Herietrennggi] yang divonis 2 (dua) tahun penjara.
“Ayah adalah tulang punggung keluarga yang masih menanggung kami 3 (tiga) bersaudara, jadi kami harapkan ada pertimbangan oleh Hakim PN Fakfak,” katanya.
Sementara, Yulius Woy, satu di antara anggota ikatan Mahasiswa Fakfak di Kabupaten Manokwari, mengatakan aksi 1 Desember 2019 yang digelar hingga berujung penangkapan 23 orang [terdakwa], merupakan akumulasi dari tindakan rasisme yang terjadi pada 16 Agustus 2019 di Surabaya dan menjadi ricuh di sejumlah kabupaten/kota di tanah Papua termasuk Fakfak.
“Akar persoalan ada pada ujaran rasial di Surabaya dan memicu aksi protes secara spontan di seluruh tanah Papua. Jadi 23 orang tua kami, adalah bagian dari korban kemanusiaan, yang seharusnya menjadi pertimbangan Hakim PN Fakfak dalam memberikan putusan hukuman,” tukasnya.
Di tempat terpisah, tim koalisi advokat kemanusiaan Fakfak yang memberikan pendampingan hukum terhadap 23 terdakwa menyatakan ‘pikir-pikir’ terhadap putusan Hakim PN Fakfak.
Yan Christian Warinussy, dalam siaran persnya menyatakan bahwa LP3BH Manokwari telah mendapatkan informasi dari advokat Paul Sirwitubun [mitra] LP3BH, bahwa 11 terdakwa jalani sidang putusan oleh Hakim Ketua Thobias Benggian.
“11 terdakwa dalam sidang putusan yang dipimpin Hakim ketua PN Fakfak Thobias Benggian, rata-rata menerima vonis 1 (satu) tahun pidana penjara. Sementara hanya terdakwa Elias Herietrenggi yang dipidana penjara 2 (dua) tahun,”ujarnya.
Selanjutnya, 12 terdakwa lainnya yang dipimpin oleh Hakim Tri Margono (wakil ketua PN Fakfak), justru memberikan putusan bervariasi terhadap 12 terdakwa.
“23 klien kami tersebut didakwa dengan dakwaan berlapis, yaitu pasal Makar dan UU darurat Nomor 12 Tahun 1951. Sebagai tim penasehat hukum, kami diberi waktu 7 (tujuh) hari untuk ‘pikir-pikir’ dan akan menyatakan sikap apakah menerima putusan, ataukan melakukan upaya hukum,” tutur Warinussy.
Warinussy, juga mengatakan setelah melakukan koordinasi, 23 terdakwa menerima dengan baik putusan hakim, namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang akan melakukan upaya hukum.
“Menurut informasi dari mitra LP3BH di Fakfak, advokat Paul Sirwitubun, bahwa 23 terdakwa terima putusan hakim. Justru JPU yang akan melakukan upaya banding,” kata Warinussy. (*)
Editor: Edho Sinaga