19 tahun kematian Theys dan Otsus Papua (bagian 3)

papua-theys-eluay
Dortheys Hiyo Eluay - Jubi/Tempo.co

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Welis Doga

Andai saja Gus Dur tidak dikudeta, masih menjabat presiden kala itu, apa jadinya Papua? Mungkinkah Theys tetap dibunuh? Apakah otsus tetap dipaksakan untuk berlaku di Papua? Atau Gus Dur lebih dengar rakyat Papua untuk merdeka?

Read More

Ketokohan Gus Dur, tokoh NU yang humanis dan pluralis itu, jika ia tidak harus dikudeta, bukan seburuk kini situasi HAM di Papua. Mungkin juga otsus Papua tidak terjadi pro-kontra.

Megawati, PDIP: Awal dan akhir otsus Papua

Kehadiran dan respons Presiden Gus Dur di Papua serta isu Papua merdeka sepertinya membuat para elite nasionalis yang korup di Jakarta terganggu, terutama elite-elite yang selalu bersengkokol dengan kapitalis asing atau komplotan antidemokrasi.

Ambisi para elite Jakarta melengserkan Gus Dur itu seperti semakin nyata. Megawati misalnya baru tiga bulan menjabat Presiden Indonesia setelah Gus Dur dilengserkan MPR pada 23 Juli 2001. Pada 21 November 2001 produk hukum UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua itu disahkan dan ditandatangani Megawati.

Pengesahan UU Otsus Papua itu terjadi setelah 11 hari nyawa Ketua PDP, Theys H. Eluay direnggut. Mungkinkah lengsernya Gus Dur dan kematian Theys ada kaitannya dengan Papua? Ini bisa jadi mungkin, sebab tiga bulan setelah Gus Dur dilengserkan dan 11 hari setelah Theys dibunuh pada 10 November tepat pada 21 November 2001, UU Otsus Papua disahkan Presiden Megawati, yang juga ketua PDIP itu.

Dalam pandangan Jakarta, lahirnya UU Otsus Papua itu sebagai solusi kesejahteraan orang asli Papua (OAP) walaupun kita memahami bahwa kehadiran otsus adalah respons atas menguaknya aspirasi Papua merdeka.

Namun fatalnya adalah jika otsus sebagai jawaban atas ketertinggalan orang Papua atau didasari atas niat baik pemerintah, mengapa Theys dibunuh? Apalagi sebagai seorang tokoh, pemimpin rakyat Papua saat itu. Bukankah kehadiran otsus termasuk melindungi Theys?

Logikanya, jika otsus hadir sebagai niat baik pemerintah dalam menyejahterakan orang Papua, mestinya Theys Eluay sebagai pemimpin orang Papua saat itu menjadi penghubung Jakarta dalam meminimalisir aspirasi Papua merdeka, sehingga kesejahteraan dimaksud dalam kerangka otsus dapat berjalan maksimal.

Jika kembali pada 19 dan memasuki 20 tahun otsus Papua, maka kematian Theys sepertinya menjadi awal mula kematian otsus Papua, sebab dalam memasuki 20 tahun otsus, darah rakyat Papua terus mengalir akibat kekerasan aparat Indonesia.

Terus mengalirnya darah orang Papua di atas tanahnya sendiri dalam otsus, sepertinya mengikuti jejak kematian pemimpin orang Papua, Theys, 19 tahun lalu. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat mungkin diambil adalah kematian Theys sebagai awal tiadanya niat baik pemerintah Indonesia membangun Papua dengan hati atau menyejahterakan OAP, gagal menjadikan OAP sebagai tuan di atas tanahnya sendiri.

Otsus dihadirkan sebagai jawaban ketika ada sorotan internasional tentang berbagai kejahatan kemanusiaan di Papua. Buktinya adalah kematian Theys yang diikuti dengan kekerasan negara terhadap orang Papua tanpa pengadilan.

Sisi lain niat buruk pemerintah dalam rangka kehadiran UU Otsus Papua, yang seyogyanya membahas tentang nasib hidup orang Papua itu adalah tanpa melibatkan OAP. Hal itu seperti semakin terus dipraktikkan negara dengan pola-pola lama dalam membahas nasib hidup orang Papua dari waktu ke waktu. Misalnya Perjanjian New York 1962, Kontrak Karya Freeport pada 1967 atau Pepera 1969 dan paket perjanjian lainnya.

Tidak adanya niat baik pemerintah itu terjadi pula dalam rancangan awal UU Otsus Papua yang dilakukan oleh para akademisi Uncen dan beberapa pihak lainnya di Papua. Rancangan UU Otsus itu terjadi dalam jangka waktu singkat selama satu bulan di hotel Sentani Indah, Kabupaten Jayapura.

Dalam pernyataan salah satu akademisi Uncen yang juga eksponen dalam perumusan naskah akademik UU Otsus Papua, Prof. Melkias Hetharia dalam sebuah diskusi tentang Otsus di Jayapura mengatakan, isi UU Otsus itu sedikit tapi bentuknya luar biasa.

“Kami mengalami tekanan dari berbagai pihak saat susun rancangan materi UU Otsus Papua tekanan datang dari teman-teman di Papua tapi juga tekanan dari pusat (penguasa). Rancangannya sedikit lain dengan isinya, ada sedikit diubah lagi setelah rancangan itu ada di Jakarta. UU otsus itu hanya berisi 79 pasal. Jika dibandingkan dengan UU Otsus Aceh, UU Nomor 18/2001, awalnya hanya 38 pasal. Tapi Aceh mengambil langkah lebih jauh dengan revisi yang kemudian melahirkan 270 pasal hari ini. Sementara otsus dari 79 pasal yang sudah di ubah-ubah itu masih tertapi-tapi pada 79 pasal hingga kini, walaupun setelah 13 tahun otsus pada 2014 rancangan revisi diajukan Pemerintah Papua dengan nama UU Otsus Plus yang isinya 380 pasal.”

Pada penghujung UU Otsus Papua 2020, status otsus kembali sudah tentu akan jatuh dalam genggaman penguasa yang sama. Jika kehadiran Otsus Papua pada 2001 atau 19 tahun lalu di bawah kekuasaan Megawati dengan partainya PDIP, maka kini 2020 atau setelah 20 tahun otsus di Papua, kewenangan itu tetap jatuh ditangan penguasa republik yang sama, PDIP tentunya Megawati ada di sana.

Komando palu sidang parlemen Indonesia kini di bawah kendali partai yang sama dengan orang yang sama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa status otsus Papua, entah mau dilanjutkan atau tidak, tetap di bawah kendali partai penguasa saat itu dan kini. Apalagi kursi mayoritas DPR didukung koalisi. Selesai. (*)

Penulis adalah anggota AMPTPI, tinggal di Jayapura

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply