Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Welis Doga
Theys pernah mengatakan bahwa dirinya tidak akan berhenti memperjuangkan pengembalian kedaulatan rakyat Papua. “Saya akan berjuang terus sampai titik darah penghabisan atas pengembalian kedaulatan rakyat Papua.” Dalam kesempatan lain, Theys mengatakan, “Jika saya mati karena memperjuangkan kedaulatan Papua dan saya ke surga kemudian ada orang Indonesia di surga, saya akan sampaikan kepada Yesus, saya takut disiksa lagi oleh orang Indonesia.”
Ia sepertinya tahu akan meninggal karena perjuangan panjang itu. Sayangnya mimpi besar Theys itu tidak sampai terwujud. Mimpi itu berhenti di persimpangan jalan.
Mungkin saja dengan kematian Theys negara berharap gelombang kemerdekaan Papua itu musnah seturut hilangnya Theys, apalagi adanya triliunan rupiah dalam UU Otsus. Namun apa yang terjadi? Selama UU Otsus dengan triliunan rupiah itu pula gerakan kemerdekaan itu bagai jamur di musim hujan, tumbuh subur dan masif di penjuru dunia.
Ungkapan “satu mati tumbuh seribu” itu sepertinya nyata kini. Jika Theys adalah seorang diri yang hilang, kini seribu Theys bermunculan dimana-mana. Jika saat itu gerakan kemerdekaan menggema hanya sebatas dalam negeri Papua, dan sedikit di dunia internasional, kini justru hampir di berbagai benua gerakan kemerdekaan itu terus menggaung.
Ini artinya bahwa kematian Theys adalah awal dimana produk UU Otsus itu juga turut mati. Logikanya adalah jika Jakarta berpendapat bahwa menguaknya aspirasi merdeka yang disuarakan rakyat Papua 19 tahun lalu disebabkan karena kesenjangan sosial dan otsus adalah jawabannya, maka semestinya gerakan kemerdekaan rakyat Papua tidak seperti kini.
Dortheys tinggal nama tanpa pengadilan yang tuntas, kepahlawanan Hartomo semakin memuncak!
Theys Eluay kini tinggal nama. Kematiannya meninggalkan air mata yang cukup mendalam bagi rakyat Papua. Sejak kematiannya, perjuangan rakyat Papua bagai sebuah kapal tanpa dinahkodai seorang kapten. Rakyat Papua menganggap kematian tokoh kharismatik itu tidak wajar, itu sebuah pelanggaran HAM secara sistematis oleh negara. Rakyat Papua menuntut para pembunuh itu dihukum seberat-beratnya.
Namun dari tujuh orang yang didakwa sebagai pelaku, masing-masing hanya dihukum: Letkol Inf. Hartomo dituntut 2 tahun penjara, Mayor Inf. Donny Hutabarat dituntut 2 tahun 6 bulan penjara, Kapten Inf. Rionardo dituntut 2 tahun penjara, Lettu Inf. Agus Supriyanto dituntut 3 tahun plus usulan dipecat, Sertu Asrial dituntut 2 tahun penjara, Sertu Laurensius LI dituntut 2 tahun penjara dan Parka Ahmad Zulfahmi dituntut 3 tahun penjara plus usulan dipecat.
Sedangkan dua orang pelaksana lapangan dalam operasi penggalangan yang menyebabkan terbunuhnya Theys, yaitu Lettu Agus Supriyanto dan Praka Ahmad Zulfahmi dikenai tuntutan 3 tahun penjara dan diusulkan untuk dipecat, sedangkan Letkol Inf. Hartomo dan Mayor Inf. Hutabarat sebagai atasan para terdakwa yang memerintahkan dilaksanakannya operasi dikenai tuntutan 2 tahun dan 6 bulan penjara.
Ketujuh terdakwa itu dikenakan tuntutan subsider pasal 351 ayat 3 jo 55 yaitu penganiayaan yang mengakibatkan kematian, sedangkan dakwaan primer pasal 338 KUHP yaitu dengan sengaja merampas nyawa orang lain (pembunuhan), dinyatakan tidak terbukti oleh oditur militer.
Pengadilan militer itu benar-benar mencederai keadilan. Rakyat Papua tidak merasa puas terhadap proses hukum pengadilan militer terhadap pelaku pembunuhan. Di sini jelas bertentangan dengan prinsip imparsial sebuah pengadilan, sebab pengadilan militer itu hanyalah untuk menghindari UU Nomor 26 tahun 2000, yang memberikan wewenang kepada pengadilan HAM untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM.
Tuntutan hukuman oditur militer yang sangat rendah kepada para terdakwa, juga menunjukkan bahwa persidangan yang dilaksanakan hanya sekadar memenuhi prosedur hukum belaka, dan jauh dari rasa keadilan. Sedangkan pihak lain di Jakarta menganggapnya sebagai hal yang wajar karena mengganggu kedaulatan negara.
Theys dianggap sebagai pemberontak dan wajar dibunuh. Hal seperti itu dikatakan Kepala Staf Satuan Angkatan Darat (Kasad), Ryamizard, yang tidak setuju atas hukuman berat yang diberikan kepada Hartomo, dkk. Jika pun divonis bersalah, ia berharap Hartomo dihukum ringan saja. “Hukum mengatakan mereka bersalah. Okelah dia dihukum. Tetapi bagi saya dia pahlawan.” (tempo.co, 21 April 2003).
Bagi Ryamizard, Theys adalah pemberontak yang ingin merdeka dari Indonesia. Ia menilai hukuman yang diberikan kepada Hartomo justru teramat berat. Bagi Ryamizard, “nggak betul itu.” Pemecatan dari dinas militer tentu sangat menyakitkan. Hartomo adalah Letnan Kolonel Infanteri dalam satuan elite baret merah.
Hartomo dikenai tuntutan 2,6 tahun penjara, tetapi semua hukuman itu berjalan tertutup, tidak ada orang Papua yang tahu tentang hukuman yang dijalani Hartomo. Ia juga tidak dipecat dari kesatuan militer, tetapi masih aktif sebagai militer walaupun tidak terlalu tampil di publik.
Pada era Presiden SBY, Hartomo benar-benar tenggelam. Berdasarkan penelusuran Made Supriatma seperti ditulis Indoprogress, para perwira Kopassus yang terlibat dalam kasus pembunuhan Theys itu tidak kemana-mana. Meski tak begitu bersinar, mereka masih berdinas di angkatan darat. Ada yang jadi perwira intel, komandan kodim, dan batalyon.
Hartomo sendiri di akhir masa kepresidenan SBY pernah menjadi Komandan Pusat Intelijen Angkatan Darat (Danpusintelad) dan sudah berpangkat brigadir jenderal. “Hartomo adalah salah satu dari dua orang pertama di angkatannya yang mencapai pangkat Brigjen,” tulis Made Supriatma. Ketika menjadi Danpusintelad itulah Hartomo kembali tersorot. Masa lalunya sebagai perwira yang kesangkut kasus tentu menjadi santapan media massa (Tirto.id, 28 November 2018).
Joko Widodo dengan partai PDIP memperoleh suara tertinggi pada pilpres 2014 dan 2019. Jika di zaman SBY Ryamizard “cuma” jadi Kasad, maka di era Jokowi dia ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan pada periode pertama. Ryamizard adalah bosnya Hartomo dan salah seorang jenderal yang dekat dengan Megawati.
Pada masa Ryamizard menjabat Menteri Pertahanan, karier Hartomo tetap baik, meski tak terlalu moncer. Pada Juli 2015, dengan pangkat mayjen, Hartomo menjadi Gubernur Akademi Militer. Hartomo menempati jabatan yang dulu diampu mertua SBY, Sarwo Edhi Wibowo.
Masa kekuasan partai PDIP, Hartomo setelah menempati jabatan Gubernur Akmil, lalu dimutasi menjadi Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) pada akhir 2016. Pada Oktober 2017, Hartono menjadi Komandan Pusat Teritorial Angkatan Darat (Pusterad), dan 22 November 2018, Hartomo menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) TNI dengan menyandang pangkat jenderal bintang tiga. Begitulah jalan karier Hartomo, pahlawan versi Ryamizard Ryacudu.
Kini PDIP masih pegang kendali di republik ini. Apakah kemudian karier Hartomo akan memuncak lagi? Apa langkah yang akan diambil Megawati dan PDIP atas karier Hartomo? Bukan tidak mungkin, ingat bahwa jika Hartomo di masa kepemimpinan Partai Demokrat, SBY tidak terlalu muncul ke permukaan, maka kini perlahan karier Hartomo semakin memuncak di bawah kekuasaan PDIP dan Megawati.
Hartomo sebagai pahlawan dalam pandangan mantan Kasad TNI diera SBY dan Menteri Pertahanan di era Jokowi, Ryamizard itu seperti semakin terwujud. Walaupun dalam pandangan orang Papua dan para pemerhati kemanusiaan nasional maupun internasional, Hartomo sebagai pelanggar HAM memiliki jejak kelam.
Lalu akankah karier Hartomo semakin memuncak pada tingkat tertinggi atau akan menjadi orang nomor satu di tubuh TNI? Bukan tidak mungkin, bukan juga diragukan. Ikuti saja karier Hartomo di era kekuasaan PDIP. Dalam hitungan waktu yang boleh dikatakan terlalu singkat itu, karier Hartomo semakin memuncak. Apalagi kini Hartomo menjabat sebagai Kasad TNI dengan pangkat terakhir jenderal bintang tiga. Posisi strategis ini sangat memenuhi syara Hartomo merebut posisi nomor satu di institusi TNI.
Jika benar Hartomo menyambangi bintang empat dengan posisi orang nomor satu di tubuh TNI, lalu apa kebijakannya terhadap Papua dalam situasi otsus dan aspirasi Papua merdeka yang semakin meluas kini? Apalagi didukung penguasa republik dari presiden hingga parlemennya?
Siaplah rakyat Papua jika kepahlawanan seorang Hartomo yang adalah komandan Kopassus pada 2001 yang sukses membunuh pemimpin besar rakyat Papua, Dortheys Hiyo Eluay itu kemudian hingga pada puncak tertinggi di tubuh militer. Apalagi didukung penguasa yang sama, PDIP dan Megawati dari era 2001 dan kini 2020.
Kehumanisan Gus Dur terhadap aspirasi Papua merdeka
Di era Gus Dur aspirasi kemerdekaan Papua seperti mendapat legitimasi daripada zaman Megawati. Presiden Gus Dur merespons aspirasi rakyat Papua untuk merdeka dengan mendatangi Papua, menghadiri KRP II tahun 2000, dan mengajak orang Papua untuk duduk bicara. Ia mendengarkan keluhan rakyat Papua. Hal ini justru tidak terjadi pada Presiden Megawati atau presiden setelahnya.
Kedekatan Gus Dur yang dikenal dengan tokoh NU yang plural menjadi bagian penting menggaungnya isu Papua merdeka, yang saat itu dinahkodai mendiang Theys di bawah payung PDP. Apa yang dilakukan Gus Dur terhadap aspirasi Papua merdeka, kehadiran fisiknya dalam merespons gerakan kemerdekaan Papua, dikenang oleh orang Papua dengan menyebutnya “Gus Dur itu matanya buta tapi hatinya tidak buta”.
Saat Gus Dur hadir dalam KRP II, awak media bertanya kepadanya, “apa artinya kongres ini, Gus?” Dengan polos, penuh senyuman ia menjawab, “anggap saja tidak beda dengan kongres-kongres yang lain.”
Banyak elite Jakarta yang menentang KRP II, tapi Gus Dur justru menyetujuinya. Ia bahkan membantu KRP II dengan membantu Rp 1 miliar. Langkah Gus Dur dianggap banyak orang lain daripada yang lain. Apalagi Gus Dur menemui kelompok pro kemerdekaan dalam kongres tersebut.
Gus Dur menegaskan bahwa semua yang ada di Papua adalah saudara-saudara dirinya, saudara sebangsa dan sesama manusia. Hal ini dilakukan Gus Dur tak lain untuk membangun kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah.
Sosok Gus Dur memang tidak bisa dilepaskan perannya dalam memberikan spirit kemanusiaan di Tanah Papua dari segala bentuk diskriminasi, marginalisasi, dan krisis di segala sektor kehidupan orang Papua.
Pada 30 Desember 1999 atau tepat 2 bulan 10 hari setelah dilantik menjadi Presiden ke-4 RI, Gus Dur berkunjung ke Papua—Irian Jaya waktu itu—dengan dua tujuan: berdialog dengan berbagai elemen di Papua dan melihat matahari terbit pertama milenium kedua 1 Januari 2000.
Mulai jam 8 malam pada 30 Desember 1999 ia berdialog dengan berbagai elemen di gedung pertemuan gubernur di Jayapura. Meskipun dengan cara perwakilan, banyak sekali yang datang karena penjagaan tidak ketat. Gus Dur mempersilakan mereka berbicara terlebih dulu, dari yang sangat keras dengan tuntutan merdeka dan tidak mempercayai lagi pemerintah Indonesia, hingga mereka yang memuji tapi dengan berbagai tuntutan.
Selanjutnya presiden merespons mereka. Banyak hal ditanggapi, tetapi yang penting, “Saya akan mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua. Saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua.
Perhatian Gus Dur terhadap konflik vertikal dan kedekatannya dengan para eksponen, yang oleh pemerintah pusat disebut separatis, sebenarnya bukan hanya di Indonesia, melainkan juga kepada negara-negara tetangga, seperti di Pattani, Thailand Selatan dan Mindanao, Filipina Selatan.
Gus Dur tidak hanya memfasilitasi dialog dan mencari jalan damai, tetapi juga mendampingi mereka sebagai sahabat dan saudara, tanpa memprovokasi dan melanggar etika hubungan antarnegara, karena Gus Dur juga terlibat aktif mewujudkan perdamaian bangsa-bangsa di dunia yang terlibat konflik.
Gus Dur menempatkan dua konflik vertikal di Papua sebagai isu kewarganegaraan. Prinsip utama kewarganegaraan adalah kesetaraan. Pendekatan yang dilakukan Gus Dur adalah dialog langsung. Melakukan penguatan masyarakat sipil, melakukan berbagai pertemuan, membangun kesepakatan, sampai pada titik nol derajat, yang berarti tidak ada tuntutan.
Dengan pendekatan personal yang begitu kuat, Gus Dur mengakomodasi penyebutan nama Papua. Sebelumnya, siapa saja yang menyebut Papua akan dianggap separatis. Pemerintah memberi nama Irian Jaya, sementara masyarakat menginginkan nama Papua, karena Papua itulah nama yang sudah lama ada. Pengembalian nama Papua oleh Gus Dur berjalan tanpa syarat, tanpa konsensus apa pun, langsung saja dibolehkan untuk menyebut nama Papua (nu.or.id).
Lalu mengapa Gus Dur dilengserkan? Ketokohan seorang Gus Dur yang humanis dan berani menentang arus itu dengan beberapa kebijakannya yang kontroversial bisa dimungkinkan adanya kudeta terhadap dirinya sebagai presiden. Kebijakan-kebijakan Gus Dur menurut penantangnya yang kontroversial itu, misalnya, seringnya kunjungan ke luar negeri, perombakan kabinet terus-menerus, wacana penghapusan TAP MPRS tentang PKI, keputusan meminta maaf dengan keluarga korban pemberantasan PKI, menyebut DPR seperti taman kanak-kanak dengan mengeluarkan dekrit presiden tentang pembekuan DPR/MPR sebagai respons atas memorandum DPR I dan II, hingga rencana menjalin hubungan dengan Israel. Atau adanya isu tentang pergantian kapolri, isu korupsi yang dikenal dengan Bruneigate dan Buloggate.
Lalu adakah alasan lain lengsernya Gus Dur karena responsnya terhadap aspirasi merdeka yang disuarakan rakyat Papua, menghadiri KRP II dengan dukungan dana hingga mengiyakan pengibaran bendera bintang kejora di seluruh Tanah Papua? Bisa jadi alasan lain walaupun tidak dapat membuktikannya.
Di sisi lain, lepasnya Timor Leste di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie masih segar dalam ingatan perjalanan bangsa Indonesia yang hanya baru terjadi pada 1999. Hal-hal itu tentu menjadi alasan lain kemudian adanya gerakan lengsernya Gus Dur melalui Sidang Istimewa MPR 23 Juli 2001 dengan memberhentikan Gus Dur sebagai presiden dan mengangkat wakilnya, Megawati sebagai presiden untuk waktu sisa jabatannya.
Selain itu, dalam salah satu talkshow di televisi, Gus Dur pernah mengatakan bahwa orang yang paling bertanggung jawab atas pelengserannya adalah Faisal Tanjung dan Megawati Soekarnoputri. Bersambung. (*)
Penulis adalah anggota AMPTPI, tinggal di Jayapura
Editor: Timoteus Marten