Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Welis Doga
Sembilan belas tahun lalu, 10 November 2001, tokoh pemersatu, pemimpin besar rakyat Papua, Ketua Presidium Dewan Papua (PDP), mendiang Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay dibunuh oleh Tim Mawar, Komando Pasukan Khusus (Kopasus) dibawah pimpinan Hartomo.
Theys bersama sopirnya, Aristoteles Masoka dibunuh di Skyline, Jalan Raya Entrop – Abepura, Kota Jayapura, Papua, saat pulang ke rumahnya di Sentani usai menghadiri silaturahmi dalam rangka Hari Pahlawan. Theys diundang dan dijemput oleh Komandan Kopassus, Hartomo, di rumahnya, pendopo Sentani, Kabupaten Jayapura, dan selanjutnya menuju markas kopassus di Hamadi, Distrik Jayapura Selatan.
Setelah dibunuh, Theys dibawa dan dibuang ke gua kecil di wilayah Skouw, dan ditemukan tak bernyawa pada malam harinya. Sedangkan Aristoteles belum diketahui keberadaannya sampai sekarang.
Pada tahun yang sama, 23 Juli 2001, Presiden keempat RI, Abdurahman Wahid atau Gus Dur, dilengserkan. Tahun yang sama pula Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) berlaku di Papua di bawah kekuasaan Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Gus Dur.
Adakah kaitan kehumanisan Gus Dur dalam merespons aspirasi Papua merdeka dan lengsernya Beliau dari kursi presiden dan pembunuhan Theys dengan otsus Papua? Tentu saja kita tidak punya bukti untuk menjawab pertanyaan di atas. Namun satu yang pasti bahwa pembunuhan Theys oleh Kopasus dari Tim Mawar di bawah pimpinan Hartomo terjadi tiga bulan setelah Gus Dur dilengserkan. Sebelas hari kemudian, UU Otsus Papua ditandatangani Megawati.
Selain lengsernya Gus Dur karena didasari hal-hal lain sebagaimana pendapat berbagai pihak, misalnya, Gus Dur lebih banyak keluar negeri dibanding mengurus negara dalam situasi krisis moneter yang belum pulih. Atau adanya kasus korupsi, padahal dalam proses hukumnya tidak dapat terbukti kasus korupsinya.
Kedekatan seorang Gus Dur yang humanis terhadap isu Papua merdeka di bawah kepemimpinan Theys Eluay bukan tidak mungkin menjadi alasan lain lengsernya seorang Gus Dur. Dalam dunia kapitalisme, siapa yang mau rugi dengan aset investasinya yang menghasilkan jutaan miliar dolar dalam setahun, apalagi Papua yang kaya akan sumber daya alam?
Sejak tokoh pemersatu itu dibunuh, rakyat Papua kurang lebih hingga dua dasawarsa, seperti anak ayam kehilangan induk. Agenda perjuangan yang ditinggalkannya sempat mengalami gelombang karena tidak ada tokoh yang bisa menahkodai perjuangan panjang rakyat Papua.
Namun kematian Theys bukan alasan bagi orang Papua untuk mundur. Selama otsus masih berlabuh di Tanah Papua, gerakan kemerdekan itu justru bertumbuh subur di berbagai lapisan dan penjuru dunia, seperti slogan “mati satu tumbuh seribu”.
Padahal pemerintah mengharapkan bahwa tiadanya pemimpin rakyat Papua dan berlakunya otsus Papua membuat isu Papua merdeka mati suri. Harapan itu justru terbalik. Kini gerakan Papua merdeka lebih menggema di berbagai penjuru dunia. Jika demikian, apa langkah penguasa hari ini? Apakah akan tetap sama, harus hilangkan lagi para pemimpin rakyat Papua pro kemerdekaan, kemudian memaksakan otsus dilanjutkan lagi? Ini dilema besar yang akan dihadapi pemerintah.
Kematian Theys sepertinya menjadi awal mula kematian UU Otsus produk Megawati Soekarnoputri. Sembilan belas tahun lalu otsus lahir dan kini di akhir 19 tahun nasib hidup rakyat Papua kembali lagi jatuh kepada penguasa republik yang sama, PDIP.
Walaupun Presiden RI adalah Joko Widodo, jangan lupa bahwa pemerintahan masih di bawah kendali partai yang sama, PDIP (Megawati). Bagaimana nantinya nasib orang Papua di bawah kekuasaan partai yang sama? Mungkin sulit mengubah arah kebijakan terhadap Papua dengan produk hukum yang namanya otsus itu! Bahkan pola lama meminimalisir persoalan Papua bisa saja diterapkan kini walau itu bukan harapan rakyat.
Lalu bagaimana dengan Komandan Kopassus, pembunuh Dortheys Eluay dan sopirnya, Aristoteles Masoka yang kini menjabat sebagai Kasad TNI? Mungkinkah ia akan menduduki kursi panas, orang nomor satu di tubuh TNI? Bagi pemerhati kemanusiaan, Hartomo sulit jadi orang nomor satu di tubuh TNI. Tapi bagi para nasionalis, ia adalah pahlawan yang pantas menyandang posisi tertinggi di institusi TNI.
Jangan juga lupa bahwa Hartomo setelah tenggelam di masa kekuasaan partai Demokrat (SBY), masih aktif di kedinasan militer. Kini di zaman PDIP berkuasa, kariernya seperti lari marathon. Seandainya Hartomo berhasil menduduki kursi panas di institusi TNI, apakah ia akan dengar-dengaran lagi dengan bosnya, Megawati? Menggunakan pola lama, awal dimana dengan polanya untuk memuluskan otsus Papua di penghujung pro-kontra otsus Papua hari ini? Semua orang yang punya andil dalam memuluskan otsus Papua kala itu, kini sedang menguasai istana.
Dortheys Hiyo Eluay: tokoh besar, pemersatu rakyat Papua
Kehadiran seorang tokoh dalam sebuah misi besar mempengaruhi jalannya roda pergerakan. Perjuangan rakyat Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia, mendirikan Negara West Papua benar-benar menggema di seluruh pelosok West Papua sejak reformasi di Indonesia pada 1998. Menggemanya keinginan rakyat Papua untuk merdeka di bawah pemimpin tokoh kharismatik, Ondofolo Theys Hiyo Eluay tidak terlepas dari ketokohannya yang berani.
Theys mampu berdiri sebagai seorang bapak dari rakyat Papua. Ia mampu mempersatukan orang Papua dari berbagai elemen, organisasi, dan suku-suku, dan mampu menghilangkan image, perbedaan antara orang Papua gunung atau pantai. Ia juga mampu memobilisasi gerakan kemerdekaan Papua hingga di kampung-kampung. Ia benar-benar energik, mampu menggoyang ketatanegaraan Indonesia. Kehadiran UU Otsus adalah bukti dari masifnya gerakan kemerdekaan Papua yang dinahkodai They Eluay saat itu.
Kehilangan seorang tokoh kharismatik yang dimiliki orang Papua itu boleh dibilang cukup mempengaruhi gelombang dan arah gerakan kemerdekaan Papua. Perjuangan rakyat Papua seperti mengalami kemunduran sejak itu, bara api perjuangan redup seketika. Para pimpinan PDP misalnya, seperti kehilangan seorang nakhoda pada tahun-tahun awal.
Gerakan kemerdekaan itu kemudian mundur jauh, harus kembali ke titik awal. Jika mundurnya gerakan kemerdekaan Papua pada angkatan 1960 dan 1970-an dikarenakan gesekan dari dalam, era 2000-an dengan PDP mengalami kemunduran karena faktor eksternal, yakni terbunuhnya Theys Eluay pada 2001.
Ketokohan Theys mampu meminimalisir gesekan dari dalam. Hal itu terbukti dengan menggaungnya isu Papua merdeka di seluruh lapisan rakyat Papua dalam satu kesatuan di bawah payung PDP. Ia mampu menjaga keutuhan payung persatuan itu, ia tidak dapat terjebak dengan gesekan kecil yang digoreng dari dalam (ambisi internal).
Ketokohan dan kemampuan mengakomodasi seluruh elemen gerakan kemerdekaan Papua yang dimiliki Theys seperti semakin solid. Apalagi setelah Kongres Rakyat Papua (KRP) II di GOR Cenderawasih, Kota Jayapura, 29 Mei – 4 Juni 2000, Theys terpilih sebagai Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) setelah sebelumnya sebagai Ketua Lembaga Musyawarah Adat (LMA) dengan memproklamirkan berdirinya Negara Papua Barat di pendopo, Sentani Jayapura.
Gerakan kemerdekaan Papua mulai menggema sejak ia terpilih sebagai Ketua PDP pada KRP II, kurang lebih satu tahun kepemimpinannya sebelum dibunuh oleh Kopassus. Kurang lebih satu tahun kepemimpinan dalam PDP membuat gerakan kemerdekaan Papua semakin masif. Hal itu kemudian direspons oleh pemerintah Indonesia dengan sebuah kekhawatiran besar, apalagi didukung oleh Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan mendukung KRP II, yang diikuti dengan perubahan nama Irian Jaya ke Papua, lalu adanya izin pengibaran bendera bintang kejora.
Hal lain tentang tokoh kharismatik Papua, Ondofolo Theys Eluay, pada 1 Desember 1999 menginstruksikan pengibaran bendera bintang kejora. Selaku “pemimpin besar bangsa Papua”, ia memimpin upacara HUT kemerdekaan Papua Barat di halaman gedung Dewan Kesenian Irian Jaya, Taman Imbi, Kota Jayapura, dengan mengibarkan bendera bintang kejora.
Ia juga dikenal mengetahui sejarah panjang Papua, bersikukuh bahwa yang ia lakukan adalah menuntut kembali kedaulatan rakyat Papua, yang menurutnya telah diserahkan dari pemerintah kolonial Belanda kepada rakyat Papua, 1 Desember 1961.
Pada masa pemerintahan Gus Dur, PDP mendapat cukup ruang gerak. Kedekatan ini oleh sejumlah kalangan di Jakarta maupun Papua dikatakan berbau politis, tersirat dari ucapan Gus Dur, yang mengatakan bahwa jika ia dijatuhkan, maka Papua dan Madura akan melepaskan diri.
Selanjutnya pada tahun 2000, Theys juga menandatangani komunike politik pada musyawarah besar (mubes) di Jayapura, 23-26 Februari. Dalam Kongres Nasional II Papua Barat melahirkan tujuh poin resolusi. Salah satunya adalah pengukuhan dirinya sebagai ketua PDP tersebut.
Akibat kegiatan-kegiatan yang dilakukannya itu, pemerintah Indonesia kemudian sempat menuntut dengan tuntutan telah melakukan tindakan makar terhadap negara. Bersambung. (*)
Penulis adalah anggota AMPTPI, tinggal di Jayapura
Editor: Timoteus Marten