10 akar sejarah kekerasan negara di Papua (2/2)

papua-demo-tolak-New-York-Agreement
Demonstrasi tolak New York Agreement di Jalan Pos 7 Sentani, Kabupaten Jayapura-Papua, Sabtu (15/8/2020), yang dibubarkan aparat keamanan - Jubi/IST 

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Gembala Dr. Socratez Yoman, MA

Sepuluh akar konflik ini yang menyebabkan luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia. Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, dengan iman menggambarkan tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua.

Read More

“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.”  (Sumber: Prof. Dr. Franz Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015:255,257).

Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan: “Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).

Dari 10 akar sejarah konflik antara Indonesia dan Papua, penguasa Indonesia sebagai kolonial modern yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa Papua, telah berhasil menghasilkan enam sikap dalam jiwa, daging, darah dan pikiran serta perasaan rakyat dan bangsa Papua, di antaranya:

Awareness (kesadaran)

Seluruh rakyat dan bangsa Papua Barat menyadari dan ada kebangkitan bahwa Indonesia adalah penguasa kolonial modern yang menduduki dan menjajah bangsa Papua Barat dengan moncong senjata sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang memasuki tahun 2021.

United (persatuan)

Kesadaran dan kebangkitan adanya pendudukan dan kolonialisme Indonesia atas bangsa Papua, sehingga OAP melahirkan sikap persatuan dengan membentuk wadah perjuangan bersama, yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

ULMWP menjadi wadah politik resmi yang menjadi observer di MSG (Melanesian Spearhead Group) dan bersuara di forum-forum seperti Forum Kepulauan Pasifik atau PIF (Pacific Island Forum), ACP (Africa Caribbean and Pacific) dan forum-forum internasional lainnya.

Distrust (ketidakpercayaan)

Rakyat dan bangsa Papua telah kehilangan kepercayaan terhadap penguasa Indonesia. Kepercayaan terhadap Indonesia menjadi gundul atau botak.

Sudah tidak ada cara lain untuk mengembalikan kepercayaan rakyat kepada penguasa pemerintah Indonesia. Label teroris terhadap orang asli Papua menambah luka membusuk dan bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia dari kaca mata orang asli Papua.

Otsus jilid 2 Nomor 2 Tahun 2021 malahan menambah runtuhnya kepercayaan rakyat dan bangsa Papua, terhadap penguasa Indonesia.

Disobedience (ketidakpatuhan)

Kesadaran, kebangkitan dan persatuan dan ketidakpercayaan itu, kemudian melahirkan ketidakpatuhan OAP kepada penguasa Indonesia dan berbagai undang-undang dan ideologi bangsa. Contohnya, pada 17 Agustus 2021, mayoritas orang asli Papua tidak mengibarkan bendera merah putih di halaman rumah seperti tahun 1980-an sampai tahun 1990-an.

Rakyat dan bangsa Papua menyadari, bahwa bendera merah putih ialah lambang penjajahan. Alam juga turut tidak setuju dan itu terbukti di Manokwari dan di Jembatan Merah Jayapura.

Rejection (penolakan)

Sikap penolakan rakyat Papua terhadap Indonesia sudah dimulai sejak pelaksanaan Pepera 1969. Mayoritas atau 95% OAP menolak untuk digabungkan dengan wilayah Indonesia melalui proses Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI.

“…bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.” (Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Layman’s report, July 18, 1969, in NAA). Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: “Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.” (Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).

Doktor Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969: “Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).

Keterlibatan militer Indonesia juga diakui oleh Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando: “Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka.”

(2009:hal.169).

Resistance (perlawanan)

Sikap perlawanan rakyat dan bangsa Papua terhadap pendudukan dan penjajahan Indonesia itu sejak tahun 1960-an. Perlawanan atau penolakan itu terbukti tidak pernah terhenti dan sampai memasuki tahun 2021 ini masih dan tetap dilakukan perlawanan terhadap Indonesia.

Yang menjadi tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia saat ini, bahwa lahirnya atau terbentuknya ketidakpercayaan (distrust), ketidakpatuhan (disobedience), penolakan (rejection), dan perlawanan (resistance) terhadap Indonesia itu, dilakukan oleh hampir 100% generasi muda Papua, yang belajar dari dan dalam sistem pendidikan tingkat Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi yang diselenggarakan Indonesia.

Penulis juga generasi yang mengenyam pendidikan Sekolah Dasar Negeri atau SD Inpres, SMP Negeri, SMA Negeri dan Universitas Negeri Cenderawasih, tapi tidak menjadi orang Indonesia, karena penulis belajar proses sejarah penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata, penuh darah dan air mata. Yang dilawan oleh rakyat dan bangsa Papua ialah akar sejarah konflik, yaitu: diskriminasi rasial, fasisme, kolonialisme, militerisme, kapitalisme, pelanggaran berat HAM, ketidakadilan, dan sejarah Pepera 1969 yang cacat hukum dan moral.

Rakyat dan bangsa Papua juga menolak dan melawan hoaks, mitos-mitos, stigma atau label yang diproduksi penguasa Indonesia, yaitu: separatisme, makar, OPM, KKB, dan teroris, sebagai topeng atau tameng untuk menyembunyikan sejarah akar konflik Papua.

Sekarang Indonesia menghadapi tantangan berat, yaitu, kesadaran (awareness), persatuan (united) ketidakpercayaan (distrust),  ketidakpatuhan (disobedience), penolakan (rejection) dan perlawanan (resistance). Selesai. (*)

Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, anggota Dewan Gereja Papua (WPCC), anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC), dan anggota Baptist World (BWA)

Editor: Admin Jubi

Related posts

Leave a Reply