10 akar sejarah kekerasan negara di Papua (1/2)

papua-demo-tolak-New-York-Agreement
Demonstrasi tolak New York Agreement di Jalan Pos 7 Sentani, Kabupaten Jayapura-Papua, Sabtu (15/8/2020), yang dibubarkan aparat keamanan - Jubi/IST 

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Gembala Dr. Socratez Yoman, MA

“…sikap merasa tak pernah bersalah dari pemerintah Indonesia juga akan menjauhkan orang Papua dari Indonesia” (Amiruddin, al Rahab, 2010: 64).

Read More

Melalui artikel ini, penulis tegaskan dan sampaikan kepada seluruh rakyat dan bangsa Papua dan Indonesia, bahwa akar sejarah konflik antara bangsa (negara) Indonesia dan bangsa Papua,  bukan separatis, makar, OPM, KKB, dan teroris. Itu semua adalah mitos, hoaks, label atau stigma yang diproduksi penguasa Indonesia melalui TNI/Polri sebagai topeng atau tameng untuk menyembunyikan akar sejarah konflik yang sesungguhnya.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah menemukan dan memetakan empat akar sejarah konflik atau kekerasan negara di Papua.

Empat pokok akar konflik itu dirumuskan LIPI dalam buku “Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future” (2008), yaitu, 1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; 2) Kekerasan negara dan pelanggaran HAM berat sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; 3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; dan 4) Kegagalan pembangunan, meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

Dari sepuluh akar konflik di Papua, enam akar kekerasan negara tidak diungkap atau dipetakan oleh LIPI. Enam akar sejarah konflik berdarah yang terpanjang atau terlama di Asia yang tidak pernah diselesaikan, sebagai berikut,

Kolonialisme

Akar konflik/kekerasan yang paling utama di Papua ialah kolonialisme, yaitu Indonesia sebagai kolonial modern menduduki dan menjajah serta menindas rakyat dan bangsa Papua Barat (Tanah Papua) sejak 1 Mei 1963.

Ada berbagai bentuk penjajahan yang dilakukan oleh kekuatan militer Indonesia, salah satu contohnya ialah penghilangan dan pembakaran buku-buku atau dokumen-dokumen sejarah yang berhubungan dengan identitas bangsa Papua.

Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 5 Juli 2020 menyatakan: “Begitu mendapat tempat di Papua (setelah UNTEA tanggal 1 Mei 1963), para elite Indonesia yang menampakkan kekuatannya dan membakar semua buku, dokumen-dokumen, jurnal, dan semua tulisan tentang sejarah, etnografi, penduduk, pemerintahan; semua dibakar di depan orang banyak di halaman kantor DPRP sekarang di Jayapura” (Lihat, Acub Zainal dalam memoarnya: I Love the Army).

“Pembakaran besar-besaran tentang semua buku-buku teks dari sekolah, sejarah dan semua simbol-simbol nasionalisme Papua di Taman Imbi yang dilakukan ABRI (TNI) dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Indonesia, Mrs. Rusiah Sardjono.”

Pastor Frans Lieshout, OFM melayani di Papua selama 56 tahun sejak tiba di Papua pada 18 April 1969 dan kembali ke Belanda pada 28 Oktober 2019. Pastor Frans dalam surat kabar Belanda De Volkskrant (Koran Rakyat) diterbitkan pada 10 Januari 2020, menyampaikan pengalamannya di Tanah Papua.

“Saya sempat ikut salah satu penerbangan KLM yang terakhir ke Hollandia, dan pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian.”

“Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar.” (Gembala Dan Guru Bagi Papua, 2020: hal. 593).

Fakta lain ialah pada bulan April 1963, Adolof Henesby, Kepala Sekolah salah satu Sekolah Kristen di Jayapura ditangkap oleh pasukan tentara Indonesia. Sekolahnya digrebek dan mereka mencari simbol-simbol nasional Papua, bendera-bendera, buku-buku, kartu-kartu, sesuatu yang berhubungan dengan budaya orang-orang Papua diambil. Adolof Henesby dibawa ke asrama tentara Indonesia dan diinterogasi tentang mengapa dia masih memelihara dan menyimpan lambang-lambang Papua” (TAPOL, Bulletin No.53, September 1982).

Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno, mengeluarkan Surat Larangan pada Mei Nomor 8 Tahun 1963.

“Melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman-pengumuman, penyebaran, perdagangan atau artikel, pameran umum, gambaran-gambaran atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden.”

Kapitalisme

Kolonialisme/pendudukan dan penjajahan wilayah selalu hadir karena daya tarik sumber daya alam yang melimpah. Jadi, kolonialisme di Papua karena adanya kapitalisme. Sumber Daya Alam (SDA) Papua yang kaya raya seperti susu dan madu menjadi motivasi pendudukan dan penjajahan Indonesia yang ditopang oleh kepentingan ekonomi Amerika Serikat di Papua.

Kepentingan kapitalisme di Papua mengorbankan tiga tokoh penting, yaitu: (a) Sekretaris Jenderal PBB, Dag Hammarskjold di Kongo pada 17/18 September 1961; (b)  Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang tewas ditembak pada 22 November 1963 oleh Lee Harvey Oswald; (c) Presiden Indonesia, Ir.Soekarno, dilengserkan pada tahun 1965 dengan tuduhan pendukung partai Komunis.

Tiga orang yang dianggap penghambat kepentingan ekonomi di Papua ini dikorbankan. Para pemilik modal dengan secepatnya membuat perjanjian kontrak kerja PT Freeport McMoran dengan Soeharto pada 7 April 1967 untuk tambang dan uranium di Nemangkawi/Ndugu-Ndugu (Tembagapura). Perjanjian kontrak kerja ini dibuat dua tahun sebelum Papua dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata, melalui rekayasa Pepera 1969, yang cacat hukum dan moral serta melawan standar dan kaidah-kaidah atau hukum internasional

Militerisme

Militerisme memperkuat dan memperkokoh serta melindungi kolonialisme dan kapitalisme. Kolonialisme identik dengan militerisme. Kapitalisme identik dengan militerisme. Ini disebut gabungan kekuatan triplet atau kembar tiga. Artinya, kolonialisme, kapitalisme, dan militerisme itu satu nyawa dan satu roh yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lain.

Dengan tepat Amiruddin al Rahab menyatakan: “Semakin menghujamnya cengkeraman militer terhadap kehidupan sosial politik di Papua juga tidak terlepas dari potensi ekonomi daerah ini yang begitu besar. Hal itu terlihat ketika PT Freeport mulai menanamkan investasinya di Papua, untuk melindungi PT Freeport, militer di Papua mulai mengembangkan pengaruh dalam politik lokal dengan cara yang lebih keras. Selain itu, militer juga memperbesar kekuasaannya dengan menempatkan diri sebagai pelindung dari mengalirnya ribuan para imigran dan transmigrasi dari luar Papua.” (Heboh Papua: Perang Rahasia-Trauma Dan Separatisme:  al Rahab: 2010:46).

Khusus di Papua, moncong senjata menjadi satu-satunya solusi yang dipakai negara selama 58 tahun sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini untuk menjaga kapitalisme dan memperkokoh kolonialisme. Orang-orang asli Papua yang bersuara kritis untuk melindungi hak atas tanah mereka dan memperjuangkan keadilan serta martabat kemanusiaan dituduh separatis, makar, OPM dan KKB dan dibantai seperti hewan dan binatang. Pelakunya kejahatan yang mengorbankan nyawa manusia orang asli Papua tidak pernah dihukum, bahkan disebut seperti pahlawan nasional.

Amiruddin al Rahab dengan tepat mengatakan: “Kehadiran dan sepak terjang ABRI yang kerap melakukan kekerasan di Papua kemudian melahirkan satu sikap yang khas Papua, yaitu Indonesia diasosiasikan dengan kekerasan. Orang-orang Papua secara perlahan, baik elite, maupun [rakyat] jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguhnya. Singkatnya dalam pandangan orang Papua, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI” (2010:43).

Kekerasan negara di Nduga (2018), Intan Jaya (2019), Puncak Ilaga (2020), Yahukimo (2021), dan Maybrat (2021) tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme dan kolonialisme. TPNPB atau OPM yang tidak berdaya (powerless) selalu dikambinghitamkan, untuk operasi-operasi militer dengan tujuan penguasaan wilayah yang berpotensi ada tambang emas dan sumber daya alam yang lain.

Rasisme

Pandangan dan keyakinan rasisme menjadi landasan atau dasar pendudukan dan penjajahan serta penindasan penguasa Indonesia atas OAP (orang asli Papua). Penguasa Indonesia dan sebagian besar orang Indonesia memandang OAP adalah manusia kelas dua. Karena dianggap manusia kelas dua, maka OAP dengan mudah disebut monyet, gorila, dan kata-kata negatif lainnya.

Ada diskriminasi rasial, etnis, agama, dan golongan yang berlangsung lama dalam sistem kenaikan pangkat dalam tubuh TNI-Polri, yaitu bagi orang Kristen pada umumnya dan lebih khusus OAP sulit mendapatkan pangkat yang lebih tinggi. Walaupun ada, itu sangat terbatas dan hanya perkecualian dan persyaratan-persyaratan tertentu.

Fasisme

Karena OAP dianggap manusia kelas dua, monyet dan lain-lain, maka suara OAP diabaikan dan tidak didengarkan. Terbukti dengan penolakan Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 dan Otsus Jilid II Nomor 2 tahun 2021 tidak didengarkan dan penguasa Indonesia tetap mengesahkan UU Nomor 2 Tahun 2021. Fasisme artinya kekuasaan totaliter. Penguasa Indonesia menerapkan kekuasaan totaliter di Papua.

Watak penguasa fasisme ialah kekuasaan memaksa dan rakyat harus menerima keputusan penguasa. Praktik kekuasaan pemerintah yang berwatak fasisme itu dihadapi oleh rakyat dan bangsa Papua dalam realitas sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini.

Ketidakadilan

Ketidakadilan selalu berakar kuat dalam penguasa yang berwatak kolonialisme, kapitalisme, militerisme, rasisme, dan fasisme. Terbukti dengan proses pembuatan New York Agreement 15 Agustus 1962 tentang nasib dan masa depan OAP, tapi OAP tidak pernah dilibatkan. Yang membuat New York Agreement adalah bangsa-bangsa kolonial, yaitu Amerika Serikat dan Indonesia.

 

Ketidakadilan lain ialah pelaksanaan Pepera 1969 mengabaikan atau mengkhianati 800.000 orang dan ABRI memilih 1.025 orang untuk membacakan pernyataan yang sudah disiapkan ABRI.

Aceh/GAM dijadikan mitra dialog pemerintah Indonesia yang dimediasi pihak ketiga di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Pada saat rakyat dan bangsa Papua menuntut dialog damai dengan ULMWP, sikap ketidakadilan ditunjukkan negara dengan moncong senjata dan mengirim ribuan pasukan TNI ke Papua.

Ketidakadilan yang paling kejam dan tidak beradab ialah OAP melawan rasisme dan korban rasisme, tapi ditangkap dan dipenjarakan dengan stigma atau label makar. Ini benar-benar watak Indonesia yang barbar dan kriminal dan kejahatan yang melampaui batas-batas kemanusiaan.

Theo van den Broek menyatakan ketidakadilan negara terhadap orang asli Papua, sebagai berikut:

“…suara yang begitu terang untuk meminta perubahan pendekatan dalam menangani persoalan Papua, dari pendekatan keamanan ke pendekatan dialog, tidak didengar oleh pemerintahan di Jakarta. Bahkan, Presiden Jokowi semakin bergerak ke belakang dan perlahan-lahan keluar dari kerumitan persoalan Papua, sedangkan panggung semakin diduduki oleh pensiunan militer: Moeldoko, Ryamizard, Hendropriyono, Prabowo, dan Wiranto. Dan, hal ini bukan berita baik bagi Papua” (Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum: 2020:35). Bersambung. (*)

Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, anggota Dewan Gereja Papua (WPCC), anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC), dan anggota Baptist World (BWA)

Editor: Admin Jubi

Related posts

Leave a Reply