Welem Muyapa petani tekun dari Suku Mee di Nabire

nabire papua
Ladang jagung Welem Muyapa yang subur. - Dok. Pribadi.

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Nabire, Jubi – Welem Muyapa menelepon Jubi pada Kamis, 22 Juli 2021 malam. Ia meminta maaf karena beberapa hari sibuk memberi pupuk tanamannya. Ia juga baru sempat membeli pulsa untuk menghubungi balik, setelah Jubi mengirimkan pesan meminta waktu untuk wawancara.

Read More

Jubi menelepon balik dan bercakap panjang lebar tentang perjuangannya menjadi petani.

Muyapa petani tekun dari suku Mee. Ia telah bermukim lebih 20 tahun di RT 002/RW 001, Kampung Wanggar Sari, Distrik Wanggar, Kabupaten Nabire, Papua.

Pada Mei 2021 ia senang karena penjualan jagung dari hasil pertaniannya lumayan besar, Rp27 juta.

“Itu hasil panen terbesar saya selama menjadi petani, apalagi saat ini sedang pandemi Covid-19,” ujarnya.

Hasil panen biasanya tergantung pada dua hal yang bisa menguntungkan atau malah sebaliknya menderita kerugian. Jika harga naik maka keuntungan akan diperoleh, sebaliknya jika harga anjlok maka keuntungan menipis.

Muyapa tidak hanya bertani, tetapi juga beternak. Namun pekerjaan rutinnya adalah bertani jagung.

Khusus untuk tanaman jagung di lahan seluas 1,4 hektare dengan hasil 4 ton, penjualannya berkisar Rp14 juta hingga Rp16 juta sekali panen.

Harga jagung kering per kilogram di Nabire bervariasi, mulai Rp3.000 hingga Rp6.000. “Waktu menjual Mei 2021 pas harga naik Rp5.800 per kilogram, saya sangat bersyukur dan puas,” katanya.

BACA JUGA: Petani Arso, Papua belajar mengolah singkong menjadi tapioka

Dalam setahun Muyapa menanam jagung tiga kali. Jika ditanam pada Januari maka akan dipanen akhir April. Kemudian lahan dibiarkan sebulan untuk ditanam lagi, begitu seterusnya.

Setelah ditanam, jagung akan diberi pupuk antara 10 sampai 15 hari. Pupuk akan diberikan dua kali selama masa tanam.  Pupuk kedua ketika usia tanaman 35 sampai 40 hari, menjelang bunga tumuh. Pupuk diberkan dengan cara disebarkan dengan jarak sekitar 10 cm dari tanaman.

“Saya pupuk dua kali dengan NPK atau urea, biasa habis 16 karung untuk satu setengah hektare lahan, jadi ada 32 karung,” katanya.

Takaran pupuk pertama biasanya sedikit, sedangkan pupuk kedua lebih banyak karena lahan sering digunakan.

Hal lain yang diperhatikan Muyapa adalah serangan hama, karena hama sering menyerang pada bagian tongkol jagung. Terkadang ada penyakit yang juga menyerang sehingga hasilnya gosong atau busuk.

“Jadi saya selalu siapkan obat hama kalau ada penyakitnya, tapi saya bersyukur selama ini belum ada hama yang merusak sampai tanaman tidak menghasilkan, biasanya kalau gagal panen itu karena kuranng pupuk atau hujan dan banjir,” katanya.

Muyapa menjadi petani sekitar 20 tahun. Ia memulai setelah lulus dari SMA YPK Tabernakel Nabire. Waktu itu orang tuanya tidak cukup biaya untuk menguliahkannya. Lalu ia memikirkan masa depannya tanpa kuliah. Ia melihat peluang bertani yang cukup menjanjikan di Nabire. Namun bertani tentu harus memiliki lahan.

Karena itu ia bertekad memiliki lahan sendiri dengan bekerja apa saja untuk mendapatkan uang. Upayanya berhasil dengan membeli sebidang tanah di Kampung Wanggar Sari pada 2000. Di sana ia memulainya dengan beternak babi, ayam, dan mentok.

Dua tahun kemudian ia berhasil membeli sebidang tanah seluas 1 hektare milik warga kampung yang memungkinkan untuk bertani. Di lahan itu ia mulai berkebun sayur mayur, kacang tanah, dan kacang panjang. Hasilnya untuk dijual guna memenuhi kebutuhan keluarga dan sisanya ditabung.

Kini ia memiliki lahan 6 hektare selain satu lahan lainnya. Lahan tersebut dibelinya dari hasil kebun dan menjual ternak.

“Kalau ada uang dan ada yang jual tanah pasti saya beli,” katanya.

Di atas lahan 6 ha tersebut ia tanam aneka tanaman. Satu hektare untuk padi, satu hektare untuk sayuran seperti kacang panjang, bayam, sawi, dan kangkung. Satu hektare lagi untuk keladi, umbi-umbian, dan daun petatas (untuk pakan babi). Satu hektare lainnya khusus ditanami rumput pakan sapi. Sedangkan dua hektare lainnya untuk jagung.

Selain bertani, Muyapa juga tekun memelihara ternak, seperti ayam, babi, sapi, dan bebek.

Selain hasil panen jagung Rp27 juta, pada Desember 2020 ia juga mendapatkan Rp54 juta dari hasil penjualan babi. Baik uang hasil panen maupun penjualan ternak biasanya akan disisihkannya atau dibagi untuk beberapa keperluan. Misalnya untuk kebutuhan keluarga dan tabungan. Sementara uang dari hasil penjualan kacang biasanya untuk jajan anak-anak.

“Saya akan selalu bagi kalau dapat uang, jadi sudah ada pos-pos yang dibagi, baik kebutuhan maupun tabungan, ini dilakukan karena saya hanya seorang petani, bukan pegawai yang tiap bulan ada gaji,” ujarnya. (*)

Editor: Syofiardi

Related posts

Leave a Reply