Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Perupa asal Papua, Elya Alexander Tebay menorehkan sketsa peta Tanah Papua yang menjadi refleksinya atas banyak pemekaran wilayah administrasi di sana. Tebay menilai pemekaran wilayah dan pembentukan daerah otonom baru justru menimbulkan degradasi budaya orang asli Papua.
“Saya gambar pohon sebanyak tujuh, urat nadi Papua. [Saya juga] menggambar kepala suku dari tujuh wilayah adat, dengan ekspresi wajah mereka yang sinis. Itu gambaran kehidupan kepala suku, ondoafi dari masing-masing daerah sebagai pemimpin daerah,” kata Tebay kepada Jubi di Nabire, Kamis (4/3/2021).
Ia mengungkapkan kegelisahan batin dan fakta yang terjadi di Tanah Papua. Kegelisahan itu ia rasakan setelah berkeliling di tujuh Wilayah Adat di Tanah Papua, yaitu Mamta, Saereri, Lapago, Meepago, Anim Ha, Domberai, dan Bomberai. “Saya menggali pengalaman saya setelah menjelajahi Papua, dan merumuskannya dalam sketsa saya,” kata Tebay.
Tebay menjelaskan, sketsanya menunjukan kebudayaan yang bertumbuh dan diwariskan leluhur orang Papua di setiap wilayah adat. “Gambaran pohon dan wajah manusia itu adalah kepala suku, ondoafi, manawir. Pohon dalam gambar merupakan nilai budaya yang bertumbuh di sana. Akan tetapi, nilai budaya mereka sudah tebang, tidak berlaku,” katanya.
Baca juga: Berkaca dari sketsa ubi Ellya Alexander Tebay
Bunga kamboja dalam sketsa Tebay seperti petunjuk ancaman kematian. Tebay melukiskan bunga kamboja itu di bagian kepala burung, karena Sorong dirasakannya sebagai pintu masuk orang luar Papua.
“Menurut saya, kematian kepemimpinan serta kearifan lokal itu tampak di sana. Bunga kamboja itu menerangkan tentang ancaman kematian orang asli Papua. Saya melihat di sorong di bagian Bandara itu hampir sebagian besar didominasi oleh kaum non Papua. Tandanya, kematian orang Papua itu sudah ada di depan mata, karena mereka tidak ada peluang untuk bersaing,” katanya.
Tebay mengatakan kepemimpinan tradisional yang telah diwariskan leluhur telah tergerus. “Sebab tidak ada proteksi dari pemerintah setempat untuk melindungi pemimpin adat dari masing-masing suku yang ada. Sehingga, dalam sketsa itu tampak wajah-wajah kepala suku yang menangis karena perubahan yang sedang terjadi,” katanya.
Tebay menyesalkan para tokoh adat yang seharusnya membela orang asli Papua justru membela pemerintah. Menurutnya, para tokoh adat itu mengabaikan tugas mereka sebagai kepala adat.
“Mereka seolah-olah membiarkan masyarakat adat begitu saja. Mereka lebih fokus kepada urusan daerah otonom yang telah dibagi berdasarkan wilayah adat, juga terpecah karena uang,” sesalnya.
Tebay mengatakan kebudayaan merupakan hal terpenting dalam sebuah bangsa. Ketika kebudayaan hancur, maka manusianya akan hancur juga.
“Dalam gambar itu, saya menggambar nadi-nadi yang terputus kendor, karena faktanya hari ini kami berjalan tidak sesuai dengan kebudayaan kami. Ondoafi, kepala suku, menggantungkan nasib [kepada] pemerintah, padahal justru pemerintah yang seharusnya mendengarkan mereka,” katanya.
Ketua Dewan Adat Nabire, Herman Sayori mengatakan pemerintah harus membangun kembali rumah adat untuk kepala suku di tTeluk Cenderawasih. “Pemerintah harus melihat sisi adat, agar kami bisa merumuskan konsep pembangunan yang tepat sesuai dengan harapan masyarkat adat di Nabire,” katanya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G