Papua No. 1 News Portal | Jubi
Bagi sutradara film asal Samoa, Marina Alofagia McCartney, menciptakan film Vai adalah pengalaman yang sangat emosional dan menggugah, juga merupakan suatu pengalaman yang dapat dialami oleh banyak orang Samoa.
McCartney adalah satu dari sembilan perempuan yang ikut menulis dan mengarahkan Vai, sebuah film mengenai wanita Pasifika dari delapan negara di Kepulauan Pasifik.
Vai terdiri dari delapan bagian, setiap bagian menceritakan kisah tentang seseorang yang disebut Vai dalam berbagai tahap kehidupannya.
Dalam sketsa 10-menit arahan McCartney, Vai harus menyatukan pikiran, raga, dan jiwanya, untuk mengingatkan dirinya sendiri bahwa: ‘dia itu cukup,’ tutur McCartney.
“Kita harus benar-benar menggali lebih dalam, karena kita benar-benar menyelami identitas kita sendiri,” jelasnya mengenai proses penulisannya.
Pengalamannya sendiri, saat bertumbuh ia sering disebut ‘afakasi’, julukan untuk seseorang yang berdarah separuh Samoa, (ibu dari McCartney orang Samoa dan ayahnya dari Inggris), memengaruhi bagaimana dia menyusun karya itu, dan bagaimana karakternya menghadapi tekanan yang familier – perasaan apakah ia sudah ‘cukup Samoa’ meski ia hanya separuh Samoa.
Sketsanya menjelajahi bagaimana cara orang-orang mencapai titik di mana mereka merasa ‘cukup Samoa’, ketika mereka tinggal jauh dari, atau lahir dan besar, di luar Samoa.
“Sebagai seseorang yang sering kali diingatkan bahwa saya adalah separuh dari dua hal, kadang sulit untuk tahu di mana saya duduk. Saya duduk di titik di antara. Saya berusaha untuk mencoba menyinggung hal itu di karya saya.”
Karyanya juga menyelami praktik budaya dan spiritual Samoa, yang, menurut McCartney, ia tulis berdasarkan pengalaman dan pemahamannya sendiri.
“Pengalaman saya dengan fa’aSamoa (kebiasaan Samoa) itu akan berbeda dengan keluarga lain, hanya karena kita diajar oleh orang-orang yang berbeda, yang memiliki pandangan berbeda terhadap dunia, dan walaupun ada hal-hal sudah jelas mengikat kita semua, ada berbagai cara untuk mempraktikkannya nilai-nilai itu, tergantung pada nilai-nilai kita, desa kita, dan tempat kita bertumbuh. Saya hanya bisa berbicara dari pengalaman saya, ” tekannya.
Tim penulis/sutradara solid beranggotakan sembilan orang itu bertemu untuk pertama kalinya dalam perjalanan mereka ke Pulau Waiheke, untuk retret para penulis selama enam hari, saat mereka mempersiapkan draf naskah yang pertama. McCartney mengatakan kelompok itu banyak bercerita dan berbagi pengalaman, menjalan satu pekan yang sulit, menjelajahi jalan-jalan kehidupan mereka yang keras, dan yang indah, sebagai perempuan Kepulauan Pasifik.
“Kita tiba pada Senin dan Sabtunya kita mengirimkan draf naskah pertama kita kepada Komisi Film Selandia Baru, New Zealand Film Commission,” katanya.
“Pengalaman itu sangat luar biasa,” tambahnya.
“Banyak tema yang kita jabarkan itu sangat relevan dengan kita. Ada perasaan memiliki dan tidak memiliki, pertalian dan pengucilan, terutama seputar sejarah migrasi kita, baik di masa lalu namun di masa kini. Ini ada cerita-cerita nenek kita, ibu kita, saudara-saudara perempuan kita, sepupu kita, kita semua terpengaruh secara langsung oleh tema-tema ini.”
Namun tekad yang baja untuk mempertunjukkan suatu karakter yang belum pernah terlihat sebelumnya, mendorong mereka semua. Absennya karakter perempuan Pasifik di layar lebar terus memengaruhi Selandia Baru dan dunia perfilman yang lebih luas.
“Saya pikir satu hal yang harus terus kita ingatkan kepada diri kita masing-masing adalah, bahwa perspektif dan narasi perempuan Pasifik itu tak kelihatan di layar kaca,” katanya.
“Kita harus punya cerita tentang kita di luar sana. Kita sangat beruntung karena kita punya produser-produser yang menyediakan ruang yang aman, secara budaya, bagi kita untuk menjelajahi tema-tema dan persoalan-persoalan tersebut.”
Dengan hanya segelintir perempuan Pasifik pembuat film, baik tentang kisah Pasifik ataupun topik lainnya, McCartney mengatakan peluncuran film ini adalah sesuatu yang patut dirayakan.
Di Selandia Baru saja, hanya ada tiga film oleh tiga pembuat film perempuan, tentang kisah-kisah Pasifik: Apron Strings oleh sutradara kelahiran Samoa, Sima Urale, The Breaker Upperers, dengan koproduser Madeleine Sami yang berdarah Fiji, dan sekarang film Vai ini, kata McCartney.
Dan bukan hanya itu, Vai adalah film pertama yang melibatkan wanita-wanita Pasifik dalam semua kapasitas, penulisan, pengarahan, produksi, dan sebagai pemeran utama.
“Kita harus merayakan hal ini, ini telah menembus langit-langit kaca, dan itu berarti, semoga saja, lebih banyak film kaum perempuan Pasifik akan bermunculan. Tentu saja saya juga mengingat beberapa perempuan pembuat film di Pasifik, mereka bisa menyaksikan bahwa hal ini dapat dilakukan, dan orang-orang diluar itu tertarik mendengar cerita kita.”
Representasi perempuan Pasifik di layar kaca, dan di belakang layar, dapat membantu perempuan Pasifika merasa diakui di dunia di mana mereka jarang ditampilkan, dan secara implisit diberitahukan bahwa mereka tidak penting, ungkap McCartney.
Namun sambutan publik terhadap film ini menunjukkan ada ruang dan pasar untuk cerita-cerita dari Pasifik yang diceritakan oleh para narator dari Pasifik. Penonton di luar negeri dan di Selandia Baru telah menerima Vai dengan penuh semangat, tiket untuk pemutaran film ini juga terjual habis di konferensi film populer South by Southwest di Amerika Serikat.
Tetapi seperti halnya orang Samoa di mana pun, reaksi paling penting bagi penulis dan sutradara ini yang datang dari keluarganya. “Saya merasa sangat tersentuh ketika saudara-saudara saya menonton film ini, dan mereka menangis. Dan itu adalah tangisan yang baik, bukan tangisan menyesali apa yang sudah saya lakukan,” tukasnya. “Ini merupakan hal yang sangat penting bagi saya.” (Samoa Observer)
Editor: Kristianto Galuwo