Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Geradus Wen
Perayaan Paskah umat Nasrani di seluruh dunia sudah usai, Hari Kartini sudah usai. Pilpres dan pileg pun sudah usai. Suasana dan nuansa tetap terasa menghiasi ritme dan irama gerak perilaku dan pola pikir dan rasa semua manusia di Indonesia.
Indonesia hebat dari quick count beberapa pemilu terakhir. Sudah tidak asing lagi bagi warga zaman now bahwa setelah pemilu pasti ada quick count dan sangat terasa euforianya—bagi yang sudah menang versi quick count kendati pun real count KPU belum ada.
Ada sportifitas para negarawan yang langsung mengucapkan selamat bagi pemenang quick count. Aneh bin ajaib kali ini, semua kaum milenial heran dan pasti selalu bertanya ada apa lagi sampai quick count diragukan, bahkan ada yang tidak mengakui.
Terburuk adalah yang kalah dalam quick count yang mengklaim diri menang dalam kontestasi pilpres kali ini. Luar biasa, warga NKRI kembali dihadapi dengan tontonan aneh bin ajaib. Masih ada juga warga NKRI, calon negarawan kita yang belum menjunjung tinggi sikap yang sportif.
Ada apa dan siapakah calon negarawan kita ini? Tentu ini menjadi bahan refleksi mendalam pascapesta Paskah dan Hari Kartini, yang masih sangat baru umat Nasrani rayakan dan hari Kartini yang baru kemarin (21 April 2019) kita peringati. Saat bangsa dan NKRI ini berpikir lagi bahwa masih ada sisi-sisi gelap dalam proses demokrasi di NKRI. Ternyata calon negarawan, kaum elite tertentu belum paham secara baik sisi psikologis warganya.
Ada calon negarawan yang sudah menikmati quick count selama beberapa kali pemilu dan warga pun turut merasakan hebatnya quick count ini. Tapi sekali lagi, hari-hari ini semua calon negarawan itu balik badan dan mengatakan sudah ragu dengan hasil quick count.
Bukankah quick count itu aplikasi hasil dari teori ilmu statistik yang sudah diuji valid dan reliabelnya? Sudah lupakah bahwa yang sudah kuliah S1 apalagi S2 dan S3 tahu tentang teori statistik dan aplikatifnya di dunia praksis? Kalau memang sudah ragu kenapa bukankah dari dulu keraguan itu harus diungkapkan dalam diskursus publik?
Hematku sebagai warga negara, sebagai berikut:
Pertama politik jangan terlalu menyalahkan hal-hal akademis metodologis dengan seluruh rancang bangun keilmiahan dan objektivitasnya;
Kedua, ambisi kekuasaan jangan terlalu menilai hebat dan menang sendiri;
Ketiga, calon negarawan sedang mengajar dan mendidik perilaku politik beradab kepada generasi milenial;
Keempat, kekuasaan hanya sebagai salah satu bagian kehidupan masih banyak bagian lain yang perlu disentuh dan diperjuangkan yaitu peradaban dan kebudayaan manusia;
Kelima, siapa beradab dan berbudaya pasti sudah sangat paham tentang esensi hidup manusia dan seluruh arah perjuangan politiknya untuk terurus secara baiknya seluruh nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab;
Keenam, pascapemilu sudah pasti ada quick count. Sudah ada data dan fakta di NKRI ini bahwa siapa yang menang quick count pasti dialah pemenang kontestasi pemilunya;
Ketujuh, hidup itu sangat perlu rendah hati dan jujur dengan diri sendiri. Akui hebatnya orang lain dan akui juga kelemahan dan kekuatan pribadi. Sikap sportif perlu dilakukan.
Demikian kata para guru dan dosen serta semua orang hebat yang pernah ada di dunia ini. Tentu sikap suka belajar mengendalikan dan mawas diri perlu rutin diperjuangkan. Ini sudah pasti berlaku rumus life long education.
Akhirnya ada lagi yang baru dengan quick count kali ini. Quick count tetap hasil maksimal dan optimal. Terima kasihku untuk semua lembaga yang sudah bekerja keras melakukan pekerjaan ini. Sangat berbangga bahwa sudah ada warga Indonesia yang sudah sangat hebat dan sukses melakukan dan menyelesaikan pekerjaan quick count-nya.
Perkara ada oknum yang tidak mengakui, itu urusan lain. Terpenting adalah usai pemilu, hasil quick count pun tiba dan sangat jelas siapa presiden NKRI sekarang. Salam, selamat dan sukses untuk Presiden Joko Widodo yang sudah sangat hebat mengakui semua hasil quick count selama ada pemilu di eranya. (*)
Penulis adalah mantan guru dan dosen KPG Merauke. Tinggal di Kepi, Kabupaten Mappi, Papua
Editor: Timo Marthen