Usaha bengkel otomotif milik orang asli Papua

Markus (Max) Kabes pemilik bengkel mobil “Rehobot" di Waena,  Kota Jayapura - Jubi/Agus Pabika
Markus (Max) Kabes pemilik bengkel mobil “Rehobot” di Waena,  Kota Jayapura – Jubi/Agus Pabika

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Bengkel tersebut lantai beralas tanah dipagari seng-seng bekas sekelilingnya. Itulah bengkel tempat ia dan beberapa karyawan putra daerah asli Papua bekerja sehari-hari

Read More

Sebelas tahun bukan waktu yang mudah bagi Markus (Max) Kabes untuk menjalankan usaha bengkel otomotif yang ia buka di jalan SPG Taruna Bakti Waena.

Berbekal ilmu dan pengalaman yang ia peroleh selama belajar di Sekolah Teknik Mesin (STM) Negeri Kotaraja Luar, Max, pangilan akrabnya, membuka bengkel bernama “Rehobot” pada 2008.

“Saya mengambil anak-anak asli Papua sebagai karyawan, karena saya lebih condong untuk bisa mentransfer ilmu kepada mereka agar kita juga memberdayakan orang Papua supaya terus ada kelanjutan di bidang otomotif,” kata Max, yang juga mewarisi profesi orangtuanya yang juga mekanik didikan Belanda.

Di bengkel otomotif miliknya, Max mempekerjakan semua karyawannya anak-anak asli Papua. Di bagian bongkar mesin dua anak dari Merauke, satu Evi Kogoya dari pegunungan ditambah untuk bagian painting (duko) atau cat bodi dari non-Papua.

“Karena tidak semua anak-anak Papua bisa ahli di bidang tersebut (duko), ada juga namun masih proses belajar pada kami,” katanya.

Max mengatakan bengkelnya tetap memerlukan orang yang profesional karena itulah yang dijualnya.

Bengkel mobil “Rehobot” melayani perbaikan mesin dari dua tipe mesin, mobil bensin, dan diesel. Sedangkan untuk semua jenis mobil untuk pengecatan (cat duko).

Max juga membutuhkan perlengkapan yang lengkap dan lebih bagus untuk menunjang usaha tersebut, karena selama ini kalah bersaing karena bengkelnya tidak punya alat yang modern seperti diagnosis, karena alat tersebut akan memudahkan mendeteksi (mendiagnosis) kerusakan pada mesin mobil.

“Mobil-mobil sekarang sistemnya sudah Electronic Control Unit (ECU) pakai computer, berbeda dengan mesin-mesin dulu karena manual saja jadi kerja tutup mata saja barang jadi, tapi sekarang tanpa barang itu (diagnosis) sudah untuk mendeteksi kerusakan pada mobil, raba-raba bikin kepala sakit,” katanya.

Max menjelaskan orang Papua yang bergelut di bidang otomotif sangat minim. Meskipun cukup banyak anak-anak Papua yang menekuni bidang otomotif, namun kurang serius mengembangkan keahliannya untuk menekuni usaha perbengkelan.

“Nyali untuk buka bengkel itu yang kurang untuk anak-anak Papua, meski skill dan kemampuan mereka (anak-anak Papua) punya, dengan demikian kita bisa bersaing dengan non-Papua yang punya perbengkelan, kita tunjukkan bahwa kita juga bisa,” ujarnya.

Max selalu yakin dengan usaha apa saja yang orang Papua lakukan dengan hikmat dan marifat yang di berikan Tuhan.

“Selalu yakin ketika kita bangkit untuk mandiri, pasti ke depan akan lebih bagus terutama kualitas, ketika kita punya kemauan untuk menekuni dan mencintai, kita punya usaha akan berjalan baik tergantung keseriusan kita untuk jalankan usaha tersebut,” katanya.

Terutama, kata Max, konsep cara berpikir orang Papua harus lebih luas dalam arti jangan terus mencari kerja sebagai PNS, tapi bagaimana menekuni bidang lain, yaitu wirausaha.

Dalam menjalankan usaha perbengkelannya Max mengaku banyak menghadapi kendala terutama soal finansial seperti modal berupa dana. Penyebabnya orang Papua di mata bank tidak dipercaya lagi atau pamor hilang.

“Kita tidak begitu diperhatikan, ketika kita berikan penawaran ke bank mereka masih pikir-pikir untuk memberikan modal ke kita, sa mau itu kalau boleh kita yang bantu kita sesama orang asli Papua terutama pemerintah maupun KAP Papua hadir dan melihat usaha seperti kami ini,” katanya.

Menurutnya pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberikan modal kepada orang Papua dalam bentuk apa saja, baik dana hibah maupun bergulir langsung dari pemerintah.

Karena menurutnya orang Papua kebanyakan manajemennya masih kurang begitu bagus, sehingga perlu belajar menata menajemen agar ada kepercayaan dari pemerintah dalam memberikan modal usaha.

“Kalau ada modal saya bisa bikin bengkel otomotif yang besar (permanen) seperti milik non Papua tidak seperti sekarang yang hanya beralas tanah ini, bisa dikatakan bengkel separuh tradisonal, orang bank lebih percaya non Papua sehingga dalam usaha seperti ini mereka yang lebih maju dibanding kita sehingga pemerintah dan KAP Papua harus bantu kami,” katanya.

Max berharap wirausaha seperti dia menjadi contoh untuk anak-anak Papua, terutama siswa jurusan SMK agar mereka bisa menekuni bidang otomotif dan bisa bersaing dengan non Papua secara sehat dengan membuat bengkel mobil dan motor yang lebih bagus didukung modal oleh pemerintah.

“Kita tunjukan bahwa kitong orang Papua juga bisa tampil, kita juga patut diperhitungkan juga oleh orang lain yang ada di luar Papua, untuk bisa bangkit kita punya komitmen yang bagus dengan menjaga kepercayaan melalui modal yang diberikan,” katanya.

Max juga ingin usaha-usaha yang dijalankan anak-anak Papua tidak hanya terkesan biasa-biasa saja dan tradisional, namun harus berkembang pesat dengan kebutuhan perlengkapan yang modern seperti dealer mobil.

Seorang warga Jayapura, Ogia Uaga, berpendapat Pemerintah Provinsi Papua perlu mendorong usaha perekonomian milik orang asli Papua, agar mereka dapat bersaing dengan warga non Papua.

“Perlu bantuan modal terutama usaha-usaha yang dijalankan serius betahun-tahun,” katanya. (*)

Editor: Syofiardi

Related posts

Leave a Reply