Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Di tengah perkembangan musik kontemporer di Papua, ada kegelisahaan akan hilangnya musik-musik tradisi yang sangat kaya beragam sesuai kebudayaan masing-masing wilayah di Papua.
Kegelisahan itu, membuat pasangan suami istri Markus Rumbino dan Irma Dian Awaitouw mendirikannya Art Center di Kampung Yokiwa, Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura, 6 Februari 2019. Tujuannya, mendokumentasikan musik-musik tradisi di setiap wilayah adat di Papua.
Pasangan itu berharap Art Center dapat menjadi rumah untuk menyalurkan dan mengembangkan potensi-potensi seni, termasuk seni musik.
Markus Rumbino merupakan komposer muda Papua yang juga mengajar seni musik di Insitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) di Tanah Papua.
Markus memulai mendokumentasikan musik-musik Papua dengan mencari data tentang musik-musik Papua ke berbagai dinas. Namun sulit ditemukan.
“Itu baru seni musik belum seni yang lain. Padahal kita lihat dari Tanah Tabi saja, dari Mamta ini, dari Tobati sampai di Depapre sana, berapa ratus suku dan bahasa yang ada di dalam situ. Dan ini tidak terarsip dengan baik.”
Ketiadaan data inilah yang ingin diisi oleh Aliakha Art Center. Mereka melakukan perekaman data musik seperti yang tampak pada kegiatan pameran seni “The Khayouw” yang dilakukan pada 27 Februari sampai 1 Maret 2019 di Kampung Yokiwa.
Dalam kegiatan ini, Markus dan Tim merekam musik yang dipentaskan oleh anak-anak dari sanggar Seni NDS (Napas Danau Sentani).
“Adik-adik ini menyanyi, kita rekam data mereka. Suatu saat ketika mereka sudah besar, mereka tahu bahwa oh iyo kita mulai dari yang tradisi. Nah sekarang bagaimana mengembangkan. Ada data sehingga mereka bisa berkembang dengan akar yang jelas.”
Saat ini musik yang terkenal di Papua adalah musik rap. Musik itu sampai juga ke Kampung Yokiwa.
“Kenapa ini popular sekali karena tadi. Generasi muda lebih gampang mengakses musik-musik yang dari luar dibanding tong cari di Youtube musik Sentani. Itu susah sekali. Apalagi nyanyian seperti tadi Akoikoi lalu Isosolo. Itu sudah susah sekali untuk kita dapat,” katanya
Pernah dilakukan oleh Grup Mambesak
Pendokumentasian musik-musik tradisi di Papua pernah dilakukan oleh Grup Musik Mambesak.
Grup Mambesak terbentuk tahun 1978. Kala itu pemimpinnya adalah Arnold Ap. Kelompok Mambesak mendokumentasikan musik Papua dengan berjalan dari kampung ke kampung. Karena akses yang sulit saat itu, upaya pendokumentasian juga dilakukan dengan cara mengumumkannya di Radio Republik Indonesia (RRI). Melalui RRI, mereka meminta masyarakat menulis lagu dari wilayahnya masing-masing
“Masyarakat yang tulis sendiri dengan tangannya baru mereka bawa datang.
Kalau masyarakat bisa menyanyi jauh lebih baik. Kalau tidak nanti mereka cari. oh kira-kira misalnya dari daerah Paniai atau daerah Nabire, oh dia punya ciri khas suaranya, musiknya seperti ini nanti mereka langsung susun dia punya notasi,” kata Kurator Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih, Enrico Kondologit.
Dalam teks yang ditulis masyarakat, mereka mencantumkan asal daerah serta artinya. Tim Mambesak lalu menyusun notasinya. Oleh grup Mambesak hasil dokumentasi dibuat dalam bentuk buku berjudul kumpulan lagu Irian Jaya.
Musik-musik tradisi ini terdapat dalam album Mambesak mulai dari volume satu sampai volume empat.
Salahsatu tokoh musik Papua yang masih hidup saat ini adalah Agus Samori. Agus kini menjabat sebagai kepala Museum Loka Budaya.
Sayangnya, Sejak Arnold Ap dibunuh pada 1984, tidak ada lagi yang melakukan pendokumentasian lagu-lagu tradisional di Papua.
Selain tidak ada lagi pendokumentasian, ruang pertunjukan musik tradisional juga masing berkurang.
Dulu musik-musik tradisi di Papua diberikan banyak ruang untuk diputar dan diperdengarkan ke publik. Di RRI misalkan, ada program Bintara Budaya dan program dari kampung ke kampung.
Ada juga lomba lagu dan musik tradisional dilaksanakan oleh Dewan Kesenian dan Dinas Kebudayaan. Ruang lainnya adalah pesta-pesta budaya. Pesta budaya bahkan dianggap sebagai event paling penting dalam mempertunjukan musik tradisi yang tidak lepas dari tari.
“Event yang paling besar sebenarnya ada di pesta budaya itu. Tapi pesta budaya itu sejak 2000-an, ekspektasinya semakin menurun dan menurun. Walaupun Program itu tiap tahun ada tapi suasananya sudah tidak pernah tercapai” kata Kondologit.
Namun demikian, meski hilang di ruang-ruang publik, musik-musik tradisi Papua masih hidup di akar rumput. Ke mana pun pergi di Papua, masyarakat masih terus memainkan musik dan lagu-lagu tradisional.
Perlunya Pusat Studi Etnomusikologi
Penelitian tentang musik Papua sudah pernah dilakukan oleh pernah dilakukan oleh J. Kunst. Bukunya berjudul A Study of Papuan Musik.
Menurut Enrico, ini satu-satunya penelitian tentang musik Papua yang sudah dijadikan buku. Agus Amori juga menulis disertasinya tentang musik. Tulisan musik lainnya ada namun bergabung dengan tulisan tentang tari.
Enrico sendiri yang pernah menulis tentang tarian tumbuk tanah. Dalam penulisannya dia juga menulis tentang syair-syair dan jenis musik yang digunakan dalam tarian itu.
Enrico berharap Universitas Cenderawasih bisa mendirikan pusat studi Etnomusikologi. Perkembangan musik tradisonal yang makin ditinggal generasi muda saat ini bisa menjadi alasan terbentuknya pusat studi ini. Selain itu, lewat pusat studi ini, penulisan tentang musik Papua juga akan terus dikembangkan.
“Ketika saat orang Papua dikekang oleh Indonesia, salahsatu cara untuk menyampaikan rasa marah, benci, rasa senang, rasa susah itu ada di musik dan lagu. Namun kini Tapi ketika ruang itu diberikan lewat otonomi khusus, justru kita tidak kembali ke situ. Malah kita sekarang bebas untuk mau ambil musik yang lain yang sebenarnya bukan punya kita. Itu yang jadi persoalan.” (*)
Reporter: Asrida Elisabeth
Editor: Angela Flassy