Papua No. 1 News Portal | Jubi
Bagian 1
“Tonawi Mana, para tetua (suku) Mee ini adalah para bijaksana yang selalu bersuara bila terjadi sebuah pertikaian atau ketidakadilan. Mereka mampu mengetuk hati para pendengarnya, serta memancing keluar semua suara-suara yang terbenam dan tak kuasa dikeluarkan pemiliknya, atau setidaknya berbicara mewakili mereka. Bagi para Tonawi ini, kedamaian dapat diwujudkan dengan menyampaikan semua suara-suara yang tersimpan itu.”
“Tonawi Mana” atau “Tonawi Berbicara” adalah tema pameran daring seni rupa yang digelar oleh kelompok Udeido. Pameran yang berlangsung dari 15 Juli hingga 17 Agustus 2020 itu menggalang karya-karya anak Papua dan non Papua yang mengilustrasikan kekerasan, ketidakadilan, marginalisasi, eksploitasi alam, kematian, pembungkaman, dan kerinduan akan kebebasan.
Sejumlah 36 karya seni visual oleh 21 seniman itu bisa disaksikan di situs udeido.com. Karya-karya itu seakan sedang memberitahukan kita, sebagian bahkan seperti menghardik, bahwa ada luka dan duka yang tak bisa disuarakan di Tanah Papua.
Luka dan duka itu berusia tua dan telah mengubah rupa dan jiwa anak-anak tanahnya. Luka tak saja menggores jiwa manusia, namun juga merusak tanah dan sungai tempat dimana anak-anak itu hidup.
“Pameran ini tujuannya untuk mengumpulkan suara-suara seputar berbagai fenomena sosial, politik, dan humaniora yang terjadi di Papua, mengemasnya sedemikian rupa untuk menempatkan penghargaan terhadap hidup manusia Papua sebagai sesuatu yang penting diperjuangkan,” kata Ignasius Dicky Takndare, Koordinator kelompok Udeido, kepada Jubi Senin (20/7/2020).
Baca juga: Frans Rumbino, Musisi sisir dari Pulau Wundi Biak
Takndare memaparkan pameran seni rupa itu adalah pameran kolaborasi yang menggabungkan karya seniman Papua dan seniman non Papua yang peduli dan bersolidaritas terhadap isu Papua. “Menarik melihat bagaimana seniman non-Papua ini ikut berdiri, bersuara bersama orang Papua. Ini merupakan pesan penting yang kami harapkan berkembang ke ranah lainnya. Kami pikir, masalah Papua tidak semestinya terbatas pada orang Papua saja. Sudah saatnya meletakkan diskursus ini pada konteks yang lebih luas dan melihatnya sebagai masalah serius yang melukai [rasa] kemanusiaan secara universal,” kata Takndare.
Pameran daring itu menempatkan spirit Tonawi Mana ke dalam aktivitas seni yang lebih luas, di mana Tonawi Mana bertransformasi menjadi suara-suara yang dihasilkan lewat karya seni dengan pendekatan dan interpretasi yang lebih bervariasi. Takndare ingin pameran itu akan memapar publik yang lebih luas untuk bertaut dengan masalah dan persoalan orang Papua.
“Bahwa permasalahan Papua perlu dibawa ke berbagai panggung yang tidak terbatas secara eksklusif untuk golongan tertentu saja. Agar bisa menjadi masalah bersama yang kelak menumbuhkan tunas solidaritas yang jauh lebih besar lagi, menembus sekat sosial, ras, golongan, agama, dengan bentuk dan manifestasi yang beragam,” ujar Takndare yang menyumbang tiga karyanya dalam pameran itu.
Pikonane, dengan karyanya “My Favorite Color” adalah salah satu seniman non Papua yang ikut dalam pameran daring itu. Lewat lukisan digitalnya, ia ikut menyuarakan persoalan rasisme yang dialami orang asli Papua. “Karya ini, [My Favorite Color] terinspirasi dari kejadian rasisme beberapa tahun ini. Figur laki-laki dan bunga di wajahnya adalah cerminan bahwa manusia berkulit hitam berhak punya warna yang sama dengan siapapun di bumi ini,” ungkapnya kepada Jubi melalui pesan whatsapp, Minggu (26/7/2020).
My Favorite Color yang dibuat khusus untuk pameran “Tonawi Mana” itu sudah disiapkan Pikonane sejak sebulan sebelum pameran. Sejak 2018, ia telah aktif menggelar pameran tentang Papua di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
“Saya ajak teman-teman Papua untuk ikut bikin karya, lalu pada tahun 2019 saya jadi terhubungan dengan teman-teman Papua dan diajak ikut pameran di Yogyakarta dengan tema ‘Mairi’. Jadi tahun ini kita bikin yang ketiga,” kata laki-laki yang bernama asli Indra Siagian ini.
Semakin menggemakan suara Papua
Siagian mengurai perkembangan seni visual, khususnya di Jakarta, dalam merespon persoalan sosial dan politik Papua. Menurut dia seni visual bertemakan Papua telah mengalami peningkatan sejak 2018. Pada tahun 2018 ketika terjadi peristiwa Nduga, sekelompok seniman di Jakarta membuat acara charity “Bakar Batu Soliday” yang mengalang dana bagi pengungsi di Nduga. “Kirim Karya Papuamu”, menjadi tema pameran itu, yang lekas direspon oleh 50 seniman dari berbagai kalangan. “Karya-karya yang ditampilkan beragam, mulai dari tema budaya, social hingga politik,” kata Siagian.
Namun, Siagian melanjutkan, keterbatasan akses informasi soal Papua juga turut mempengaruhi bagaimana para seniman bekerja. “Hampir sebagian peserta atau pengunjung tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya di Nduga. Namun acara charity akhirnya menjadi ruang bertemunya teman-teman Papua dengan teman-teman Indonesia. Mereka jadi saling kenal dan dialog secara terbuka,” ungkap Siagian.
Perhatian para seniman terhadap isu Papua semakin intens pasca kasus persekusi dan rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019. Pemberitaan kasus itu ramai dibicarkaan media sosial, sehingga banyak masyarakat ikut protes dengan caranya masing-masing. Begitu juga para seniman. Menurut Siagian, banyak karya lahir di periode ini.
Baca juga: Ketika pernyataan Mahfud MD tentang korban HAM Papua menjadi sebuah karya seni
“Sejak kejadian rasisme di Surabaya, banyak seniman Indonesia kemudian berkarya dengan tema Papua sebagai bentuk solidaritas. Mulai dari poster, seni grafis, komik hingga mural-mural di pinggir jalan. Isu rasisme menjadi pintu masuk yang dapat menarik banyak orang melihat Papua secara jernih. Banyak diskusi yang digelar, poster-poster berseliweran di lini masa sosial media, semuanya tentang Papua. Secara visual, banyak dari poster tersebut memberikan pesan yang jelas, bahwa rasisme perlu dilawan bersama,” katanya.
Namun Siagian menegaskan bagaimanapun seni visual perlu ruang. “Perlu ada wadah atau forum untuk jadi tempat berkumpulnya semua seniman yang bicara Papua. Kalau Jakarta punya Jakarta Bienalle, Jogja Bienalle, mungkin perlu ada juga Papua Bienalle, agar isu dan persoalan Papua bisa menjadi lebih dekat dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
“Tonawi Mana” menampilkan karya-karya seni visual dari Betty Adii, Blandina Yeimo, Ina Wossiry, Ignatius Dicky Takndare, Nelson Natkime, Yanto Gombo,Whens Tebai, Michael Yan Devis, Moelyono, Syam Terrajana, Albertus Vembriyanto, Andreas Wahjoe, Bayu Widodo, Ervancehavefun, Fitri DK, Taring Padi, Ipeh Nur, Pikonane, Prihatmoko Moki, Setu Legi, Ucup Baik, dan satu karya visual puisi dari sastrawan Papua Alex Giay.
Seperti yang diungkapkan Frida Kahlo, pelukis perempuan progresif yang terkenal dari Mexico, “I paint flowers, so they will not die (Saya melukis bunga-bunga, agar mereka tidak mati.” Begitu pula karya-karya ini, dan karya-karya bertema Papua sebelumnya, yang tak saja merekam duka dan luka dalam ingatan dan melukiskannya kembali untuk berbicara kepada orang yang menyaksikan. Karya-karya itu juga telah turut menggerakkan orang-orang untuk membentuk ruang-ruang alternatif dimana suara-suara bisa dengan bebas dilantangkan.(bersambung)
Editor: Aryo Wisanggeni G