Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kampus Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari dianggap sebagai ‘rumah adat’ Papua satu-satunya yang berdiri di Provinsi Papua Barat. Kampus ini sudah, sedang, dan akan menampung mahasiswa asli Papua dari tujuh wilayah adat mulai dari pantai, lembah, sampai pegunungan mulai dari Sorong hingga Merauke.
Hal itu dikatakan salah satu mahasiswa UNIPA Manokwari, Marcelino Pigai, bahwa keberadaan mahasiswa di lingkungan kampus negeri kedua di Tanah Papua ini, untuk merajut ilmu pengetahuan guna menuju kemajuan dan kecerdasan bangsa Papua, yang kerap dipandang primitif dan stok Sumber Daya Manusia (SDM) yang memprihatinkan.
“Supaya tidak salah kaprah dalam menyeleksi mahasiswa baru yang direkrut. Sekalipun ada standar ketetapan seleksi masuk jalur lokal tetapi itu justru menciptakan ketidakadilan, dan tidak substantif pada tujuan pendidikan yakni mencerdaskan manusia yang tidak cerdas khususnya orang asli Papua,” kata Marcelino Pigai kepada Jubi melalui telepon selulernya, Minggu (25/7/2021).
Hal itu ia katakan, menanggapi kericuhan yang terjadi di area kampus UNIPA Manokwari hingga berujung pada Rektor UNIPA Manokwari, Meky Sagrim, memerintahkan kepada Kepolisian setempat menangkap dan memenjarakan pelaku yang terlibat dalam aksi belum lama ini.
Menurut dia, aksi yang dilakukan mahasiswa itu bermula pada Jumat (16/6/2021), sekalipun tidak seperti aksi demo yang rektor maksudkan, tetapi mereka melakukannya dengan pendekatan persuasif untuk mengakomodir mahasiswa Papua yang tidak lulus. Sesuai penjelasan mahasiswa senior dan salah seorang alumni, pada hari itu, mulai sekitar pukul 09.30 WP pihaknya sudah menunggu, sembari berkomunikasi dengan pihak UNIPA entah siapa yang berwenang untuk menghadiri dan menanggapi mengenai ketidaklulusan calon mahasiswa baru.
“Akan tetapi belum direspons pihak kampus sebagai penyelenggara pendidikan tinggi UNIPA. Maka agenda audiensi dengan Rektorat dibatalkan dan dilanjutkan Senin (mengingat Sabtu dan Minggu tidak ada aktivitas),” katanya.
Aksi itu berlanjut pada Rabu, 21 Juni 2021. Aksi berlangsung di depan gerbang kampus UNIPA dari pagi sekitar pukul 08.30 WP. Aksi demo berlangsung sambil menunggu kehadiran Rektorat UNIPA, namun Rektor UNIPA belum tiba, maka sekitar pukul 10.00 WP, massa aksi memblokir jalan Gunung Salju Amban hingga aktivitas jalan berubah haluan.
“Kendatipun demikian tidak direspons Rektorat, massa aksi menuju Rektorat UNIPA. Sesampai di sana, massa aksi sempat tegang membakar ban mobil di depan Rektorat UNIPA dan sempat melempari kaca deretan BPAK, dan terjadi pemukulan kepada kepala BPAK yang masih bekerja,” ungkapnya.
Ia menegaskan, gambaran umum kronologi ini bisa menarik letak kausalitas pemicu peristiwa yang terjadi. Ia menyebut hal itu kelalaian kewajiban UNIPA untuk menjawab hak jawab kepada pendemo, baik calon mahasiswa baru maupun mahasiswa senior yang merupakan orang asli Papua, yang peka dengan hak pendidikan mahasiswa baru Papua.
“Hak jawab Rektor tidak responsif semenjak pedemo melakukan dengan pendekatan persuasif dan komunikasi face to face (dengan pembatasan aktivitas sesuai keadaan terkini) semenjak Jumat (16 Juni 2021) sampai dengan Rabu (21 Juni 2021),” tegasnya.
Massa pedemo menanti respons Rektor yang memakan waktu dan rupanya memicu amarah, sekalipun korlap dan aktivis mencoba menahan massa aksi tetapi gerakan spontanitas berlangsung, hingga akibatnya ada kejadian penghancuran kaca dan pemukulan kepala biro.
Mahasiswa lainnya, Sius Nare mengatakan selama empat hari demo, dikabarkan Rektor UNIPA, Meky Sagrim, tidak hadir di tempat untuk menemui para mahasiswa. Maka ada kericuhan yakni pemalangan kampus dan massa aksi memukuli dosen BPAK, Kashudi.
“Komunikasi kami untuk pihak kampus UNIPA sudah berjalan baik, dan itu dari sebelum pertama kami naik ke rektorat UNIPA untuk meminta audiensi. Namun tidak ada tanggapan sama sekali,” katanya.
Ia menjelaskan, pihaknya tidak punya rencana rusuh, tetapi dengan ketidakhadiran Rektor justru para pedemo menjadi marah. “Kami dipaksa olah Bapak Rektor sendiri,” ucapnya. (*)
Editor: Kristianto Galuwo