Papua No. 1 News Portal | Jubi,
LUSIANA TABUNI dan Mika Tabuni—putra-putri dari Lembah Baliem—menjadi dua orang asli Papua yang telah bertahan selama lebih tiga tahun, menjalani hari-harinya sebagai pedagang dan penjahit di pasar Potikelek.
Apa yang dilakukan Lusiana dan Mike merupakan pekerjaan yang dapat dikatakan langka di kalangan orang asli Papua. Belum banyak OAP yang mengerjakannya.
Dari 48 toko di dalam pasar Potikelek—pasar bantuan pemda Jayawijaya yang dikhususkan bagi orang asli Papua—keduanya yang masih rutin membuka gerai usahanya bersama 10 kios lain.
“Hanya 12 kios ini yang lebih sering buka, yang lain jarang buka bahkan kebanyakan lebih sering tutup,” tutur Mika sembari menjalankan mesin jahitnya saat ditemui Jubi, Rabu (7/3/2018).
Rabu siang itu, Mika seorang diri dalam ruang berukuran 4×6 meter, bernuansa putih: lantai tehel dan temboknya. Ia hanya ditemani sebuah mesin jahit dan mesin obras. Pada bagian lain, terdapat sebuah meja panjang dan setrika, serta beberapa lipatan kain dan pakain pada rak tipis yang menempel ke tembok putih. Masih banyak tempat yang kosong.
“Memang tidak setiap hari orang datang. Biasanya hanya sekedar permak baju atau celana. Ada juga yang bawa kain untuk jahit pakaian, tapi memang jarang,” ujar penjahit berjenggot lebat itu.
“Kami juga menerima baju kebaya, pakaian dinas, hanya jas saja yang tidak terima pesanan, memang dulu pernah membuat jas tetapi karena orang yang buat jas sudah pindah makanya tidak buat lagi,” ungkapnya.
Mika bukanlah orang yang mengambil pendidikan resmi tentang jahit-menjahit. “Saya kerja jadi tukang ojek saja dulu itu, awalnya saya ojek di Sinakma. Tapi saya punya kaka yang dorong saya untuk belajar jahit sama dia dan saya belajar sampai saya bisa,” kisah Mika yang mengawali belajar menjahit tahun 2010.
Ia mengaku menikmati pekerjaannya saat ini. Meski dirinya hanya menjadi pekerja pada toko penjahit “Putra Pyramid” milik Maranus Wenda, pria bujang ini dapat memenuhi kebutuhan setiap harinya dan masih dapat menabung. Ia enggan menyebut rata-rata pendapatan per bulannya.
Keuletan Mika juga terlihat dari Lusiana Tabuni, pengusaha dan penjual pakaian dan asesoris di pasar Potikelek.
Tempat usahanya yang dinamai “Toko Pakaian Perama” itu tampak lebih padat diisi berbagai jenis dagangan; Mulai dari pakaian, sepatu, hingga aneka asesoris.
Perempuan 27 tahun ini mengaku, usaha tersebut merupakan usaha keluarga, yang dijalaninya bersama kakak-kakaknya dan telah dimulai sejak tahun 2015, tepat pada hari pasar Potikelek itu diresmikan sebagai pasar khusus untuk pedagang asli Papua.
Lusi mengaku, ide usaha tersebut juga bermula dari hobinya dengan dunia fashion.
Meski tak menyebut pendapatan rata-rata per bulan, Lusi yang mengaku memulai usaha dari hobi fashionnya, harus menggelontorkan Rp5,450.000 per tahun sebagai biaya sewa kios.
“Awalnya berjualan di rumah saja dan itu karena saya suka fashion. Yang beli juga hanya tetangga dan teman-teman, tetapi ketika dapat tempat di Potikelek baru pindah,” kata Lusiana Tabuni di tokonya.
Lusi yang memulai usaha dengan modal awal Rp10 juta itu mengaku mendatangkan barang-barang dagangannya langsung dari Bali dan harus menggunakan ekspedisi udara.
“Puji Tuhan meskipun usaha dibilang sepi, tetapi masih mendapat pemasukan meskipun kecil. Kadang kalau lagi sepi usaha bisa dapat lima ratus ribu rupiah per hari, kalau ramai bisa dapat satu juta rupiah, per bulan bisa dapat tujuh juta rupiah,” kata Lusi.
Selain menjual pakaian, Lusi juga menjual berbagai aksesoris perempuan seperti gelang, anting-anting, sepatu rajut dan noken.
Banyak pertokoan ditinggalkan
Dari pengamatan Jubi, hanya ada sekitar 12 dari 48 pengusaha asli Papua yang buka tokonya di pasar Potikelek.
Model jualan yang ditawarkan pun beragam, mulai dari toko pakaian, penjahit hingga menjual barang-barang cakar bongkar (cabor) yang menjual berbagai macam baju, celana juga jaket.
Namun dari sekian banyak tempat yang dikhususkan untuk masyarakat asli Papua itu, banyak juga yang telah dialihkan usahanya kepada masyarakat lain untuk berjualan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian dan Perdagangan Jayawijaya, Semuel Munua mengatakan, Pemda telah menyediakan 100 kios untuk OAP di pasar Jibama dan 48 pintu di pasar Potikelek.
Namun, kendala yang masih dihadapi, kata Semuel, adalah tentang kemampuan orang asli dalam berdagang. Menurutnya, masih sangat dibutuhkan pembinaan, pendampingan dan dukungan modal.
“Seperti di Potikelek, kebijakan pemerintah agar pasar menjadi ramai, dinas membuat pembauran terbatas dengan memasukan pedagang nonpapua,” kata Semuel.
Meski demikian, Munua mengakui pendampingan dan pelatihan dalam berwirausaha belum maksimal.
Semoga keberhasilan Mike dan Lusi kelak menginspirasi orang asli Papua lain untuk belajar lebih dalam mengelola suatu usahanya. (*)