Triton: Dulu memanggil warga sekarang alat musik

Alat tiup triton digunakan pula untuk memanggil warga datang dan berkumpul karena keluarga pihak laki-laki sudah tiba dan siap menyambut mereka. - Tempo

Papua No.1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Pekan lalu upacara peminangan dari dua keluarga suku Byak dan Maluku berlangsung di Waena oleh keluarga Rounsumbre dan Kakiasina. Alat tiup triton digunakan pula untuk memanggil warga datang dan berkumpul karena keluarga pihak laki-laki sudah tiba dan siap menyambut mereka. Pemuda yang diberi tugas untuk meniup berkali-kali.

Read More

“Ini baru pertama kali dengar ada suara Triton dalam acara peminangan ini,”ujar Max salah seorang warga kepada arsip.jubi.id di sela-sela pesta Word an Ararem itu.

Bahkan hampir sebagian besar generasi muda terutama masyarakat adat Saireri sudah lama tak lagi mendengar desahan nafas peniup Triton, terompet khas anak anak Pulau di Papua dan Pasifik Selatan.

Bagi masyarakat adat Saireri khususnya warga suku Byak, Triton juga termasuk alat musik tradisional di Papua dan selalu dipakai dalam tarian serta pukulan tifa yang bertalu-talu. Alat musik ini hampir sebagian besar terdapat di wilayah pantai dari Raja Ampat, Biak Numfor, Supiori, Yapen, Waropen, Nabire dan Teluk Wondama.

Sebenarnya alat ini hanya digunakan untuk sarana komunikasi atau sebagai alat panggil/ pemberi tanda. Biasanya masyarakat akan berkumpul ketika alat ini ditiup dan warga akan bergegas menuju ke rumah upacara atau tempat pesta Ararem dan Wor dalam budaya suku Byak. Namun dalam perkembangannya alat ini dipakai juga dalam hiburan dan alat musik tradisional.

Selanjutnya, alat ini juga digunakan sebagai sarana hiburan dan alat musik tradisional. Alat musik ini juga akan harmoni suara dengan perkusi dari tifa sehingga melahirkan variasi musik yang berbeda selama ini.

Alat musik Triton ini berasal dari kerang dan dilubangi bagian atasnya untuk ditiup. Cara memainkannya adalah dengan cara ditiup. Meski sering digunakan tetapi kulit kerang Triton ini sudah semakin punah sehingga dilarang untuk diambil dari laut bebas. Kulit bia atau kerang Triton ini berbeda bentuknya Cangkang Helm Raksasa atau nama ilmiahnya Pahua atau Hima.

Hima atau Pahua ini termasuk keanekaragaman hayati dan terdaftar CITES dan daftar merah IUCN dan sudah terancam punah secara global dan regional. Kalaupun hendak impor atau mengekspor harus membutuhkan izin CITES. Di negara negara Pasifik sangat bervariasi dalam persyaratan impor dan ekspor tambahan serta beberapa negara mengizinkan ekspor dengan kuota tertentu.

Triton di Papua khususnya masyarakat suku Byak digunakan saat pesta atau wor, akan dimainkan bersama dengan tarian tifa dan wor. Oleh karena itu biasanya Triton ditiup bisa lebih dari satu orang dan suaranya bisa berbeda. Suara yang keluar dari kerang Triton kalau semakin kecil bentuk kerangnya maka suaranya akan nyaring sekali. Sedangkan kalau cangkang atau kerangnya besar biasanya suara kecil atau tidak nyaring. Intinya besar kecil lubang di kerang Triton sangat mempengaruhi suara yang ditiup atau dihasilkan.

Selain di wilayah adat Saireri, kerang Triton ini juga digunakan di Pasifik Selatan mulai dari Fiji, Solomons Island, Papua New Guinea, Vanuatu dan Bougainville. Sedangkan di Indonesia banyak digunakan di Kepulauan Maluku.

Di Maluku kerang ini disebut Tahuri atau kulit bia yang merupakan hasil laut yang cukup menjadi komoditas utama di Maluku, khususnya Kampung Bere-Bere. Tahuri biasanya digunakan dalam Tarian Cakalele sedangkan di Biak untuk tarian Wor.(*)

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply