Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Oleh: Hari Suroto
Suku Lani berbahasa Lani dan berdomisili di Distrik Kelila dan Distrik Eragayam, Kabupaten Mamberamo Tengah. Klennya Yikwa, Pagawak, Kogoya, Tabuni, Wanimbo, Murib, Wakerkwa, dan Wonda.
Suku Walak berbahasa Walak, berdomisili di Eragayam dan Ilugwa, klennya Gombo, Tabuni, Wandikmbo, Karoba, Togodly, Kenelak, Uaga, Doga, Medlama, Mabel, Aud, Kudligagl, Walela, Mumbo, dan Wandik.
Suku Gem-Winya dengan bahasa Gem berdomisili di Kobakma dan Megambilis, klennya Tago, Soklao, Gundigi, Mabel, Logo, Dabi, Yogosyam, Pugumis, Endambia, Elabi, Makna.
Suku Bok berdomisili di Megambilis berbahasa Winya-Bog, klennya Foisa, Barusa, Kapdo, Wud, Winangga, Wabir, Tepon, Manggumayo, Gitangga, Pelayo.
Suku Yali berbahasa Gem tinggal di Kampung Seralema, Semberagulik, dan Wiugobak.
Ada dua sistem penguburan yang dilakukan di Lembah Baliem yaitu dengan cara dibakar (kremasi) dan disimpan (mumi). Penanganan mayat dengan cara dikremasi umumnya dilakukan untuk seluruh masyarakat di Lembah Baliem. Ini berlaku untuk orang-orang yang meninggal, baik karena tua dan sakit, maupun mati dibunuh.
Penanganan mayat dengan cara dimumi hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang membutuhkan persyaratan tertentu.
Tradisi kematian yaitu proses dan tahapan pembakaran mayat masih berlangsung pada suku Lani di Mamberamo Tengah hingga saat ini.
Secara geografis, suku Lani tinggal di Lembah Baliem bagian barat. Sebelum pembakaran mayat, terlebih dahulu dilakukan pesta bakar batu. Jumlah babi yang dibunuh secara langsung menjadi tolok ukur tentang seberapa penting orang yang meninggal.
Prosesi pembakaran mayat yaitu penyiapan kayu bakar dari jenis pohon casuarina. Penyiapan sebuah lubang dengan kedalaman sekitar satu meter, lubang ini digunakan sebagai kuburan untuk abu mayat. Kayu bakar disusun membentuk segi empat, berdekatan dengan lubang yang digali.
Mayat diletakkan di dalam posisi duduk di atas tumpukan kayu. Kemudian potongan-potongan kayu disusun di atas mayat, sehingga mayat tidak kelihatan lagi. Selanjutnya pembakaran mayat dilakukan.
Api pembakaran mayat disulut dari bagian atas susunan kayu bakar. Selesai pembakaran mayat, maka tulang-tulang sisa pembakaran dikumpulkan. Abu dan tulang dimasukkan ke dalam lubang yang telah dipersiapkan sebelumnya. Untuk wilayah Distrik Kelila, sebagai penanda diletakkan batu di atas kuburan.
Sedangkan di wilayah Distrik Ilugwa, di sekeliling kuburan dibuat pagar. Jika kuburan terletak di dekat honai, maka selalu dibersihkan dan apabila pagar rusak selalu diperbaiki, tetapi apabila kuburan terletak jauh dari honai misalnya di kampung lama atau bekas kebun, biasanya dibiarkan saja.
Ungkapan rasa duka atas kematian seorang kerabat yaitu dengan memotong salah satu dari sambungan ruas jari tangan perempuan dengan menggunakan kapak. Pemotongan jari tangan sebagai penanda kematian dan penghormatan kepada kerabat yang meninggal. Mereka percaya arwah dari yang meninggal akan menghargai rasa sakit yang diderita atau duka cita mereka.
Dalam pelaksanaan upacara kematian suku Lani, kepercayaan prasejarah masih kuat. Hal ini tercermin dalam kepercayaan terhadap roh leluhur. Makna religius dari upacara kematian adalah membantu roh orang yang meninggal agar ia dapat pergi ke dunia roh dengan baik.
Upacara kematian ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan kosmos yang diharapkan dapat memberikan keselamatan baik kepada roh si mati maupun terhadap manusia yang ditinggalkan.
Upacara yang menuntut korban menurut Turner (1974: 87) adalah upacara sentral dalam religi masyarakat yang sederhana. Pada prinsipnya semua religi di dunia ini, memiliki simbol sendiri-sendiri. Suatu simbol tidaklah memiliki nilai dan kedudukan yang universal, tetapi berlaku terbatas dalam sistem religi itu sendiri dan komunitasnya. (*)
Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua