Papua No.1 News Portal | Jubi
Nuku’alofa, Jubi – Perdana Menteri Samoa, Fiame Naomi Mata’afa, telah dipandang sebagai inspirasi dalam hal perempuan Pasifik di dunia politik, tetapi di seluruh wilayah Pasifik, caleg perempuan harus berjuang keras untuk bisa masuk ke parlemen.
Seorang aktivis hak-hak perempuan terkemuka Tonga mendesak agar ada reformasi dalam sistem pemilu setelah 12 caleg perempuan gagal memenangkan satu pun dapilnya dalam pemilu nasional pekan lalu.
Ofa-ki-Levuka Guttenbeil-Likiliki menekankan bahwa hasil pemilu ini mengingatkan mereka bahwa masih banyak pekerjaan yang masih diperlukan agar perwakilan perempuan bisa terpilih ke parlemen.
“Pembicaraan tentang tindakan khusus sementara (TSM) atau tindakan afirmatif bukanlah sesuatu yang dipertimbangkan oleh pemimpin kami, tetapi saya pikir sekarang ini waktunya,” tegasnya kepada Pacific Beat.
Sebanyak 73 caleg memperebutkan 17 kursi yang disisihkan untuk perwakilan rakyat dalam parlemen nasional Tonga, dimana hanya 11% suara jatuh ke tangan caleg perempuan.
Satu-satunya petahana Anggota Parlemen perempuan Tonga, Losaline Ma’asi, juga gagal memenangkan kembali dapilnya di Tongatapu 5.
Guttenbeil-Likiliki percaya inilah saatnya bagi kaum perempuan untuk duduk berhadapan dengan para pemimpin dan mendiskusikan sistem apa yang bisa digunakan di Tonga.
Pakar pemilu Pasifik, Dr. Kerryn Baker, dari Universitas Nasional Australia, mengatakan pendidikan adalah salah satu bidang yang dapat membantu mengubah sikap masyarakat tentang perempuan dalam kepemimpinan.
“Masalah fundamental adalah bagaimana persepsi mengenai kepemimpinan politik, dan bah itu dilihat sebagai hal yang sangat maskulin… ini tentang mengubah norma-norma itu. Diperlukan waktu yang sangat lama,” jelasnya. (Pacific Beat)
Editor: Kristianto Galuwo