Oleh: Gembala Dr. Socratez Yoman, MA*
Pembukaan Mukadimah UUD 1945 menyatakan: “Bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Dengan dasar konstitusi bangsa Indonesia telah menjamin dan memberikan ruang dan kesempatan untuk kemerdekaan setiap bangsa, maka, “pendudukan dan penjajahan bangsa kolonial modern Indonesia atas bangsa Papua Barat harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Undang-Undang Negara Republik Indonesia dapat menjamin untuk referendum bagi bangsa Papua Barat yang sedang berjuang untuk [menuntut] pengakuan dan pengembalian kemerdekaan dan kedaulatan rakyat dan bangsa Papua Barat pada 1 Desember 1961, yang dianeksasi oleh Indonesia dengan agresi militer.
Dari alun-alun Yogyakarta pada 19 Desember 1961, Ir. Soekarno menyatakan Tiga Komando Rakyat (Trikora). Salah satu nomor penting yang diakui Presiden pertama Indonesia dalam pidato resminya ialah, “bubarkan negara Papua buatan Belanda.”
Dalam perjalanannya para penguasa kolonial menambah satu kata, yaitu, “boneka”, sehingga sekarang sering dikenal dengan “bubarkan negara ‘boneka’ buatan Belanda”.
Negara Papua yang lengkap dengan atribut kenegaraan dan kebangsaan, seperti, bendera Bintang Kejora, lagu Hai Tanahku Papua, simbol bangsa Burung Mambruk, mata uang Gulden, dan lengkap dengan anggota Parlemen New Guinea Raad, kemudian dianeksasi dan dibubarkan.
Proses dan fakta sejarah ini tidak bisa dihapuskan atau dihilangkan dengan moncong senjata, apalagi dengan cara-cara sibuk urus dan larang simbol-simbol bangsa Papua Barat.
Ada video beredar, ada beberapa anggota TNI (diduga) menahan orang asli Papua yang menggunakan gelang di tangan dengan simbol Bendera Bintang Kejora, dan disuruh ambil parang dan diminta potong. Lalu anak itu ambil parang dan memotong gelang di tangannya. Suara anggota TNI terdengar jelas, “ambil parang itu, potong gelang di tanganmu itu. Saya minta di hutan ini tidak ada orang yang memakai gelang atau noken yang menggunakan simbol Bintang Kejora.”
Anggota TNI/Polri yang miskin ide, inovasi dan kreativitas seperti penguasa mereka yang tidak mampu dan tidak sanggup menyelesaikan akar persoalan Papua, yang sesungguhnya dan telah menjadi luka membusuk dan bernanah, dalam tubuh bangsa Indonesia.
Anggota TNI dan para penguasa berpikir bahwa tindakan teror, intimidasi dan pemaksaan itu sebagai suatu prestasi dan keberhasilan. Tapi, perilaku itu sesungguhnya anggota TNI/Polri menyatakan kebodohan dan kemiskinan keilmuan mereka.
Aparat keamanan perlu sadar dan belajar banyak dari berbagai bentuk kesalahan dan kejahatan. Belajar dan koreksi diri dan memperbaiki kekerasan yang berbasis diskriminasi rasial yang telah menjadi luka membusuk dan bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia.
TNI/Polri jangan memelihara, merawat dan mempertahankan luka membusuk dan bernanah ini. Perilaku ini sangat memalukan karena tidak sesuai dengan kemajuan teknologi dan modernisasi dewasa ini. Penjajahan primitif, kuno dan ketinggalan zaman harus dibuang ke tempat tong “sampah” karena sudah luka membusuk dan bernanah.
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dengan tepat mengatakan, “Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255). “…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan, “Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Penyebab luka membusuk dan bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia sudah ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan negara di Papua.
Empat pokok akar konflik dirumuskan LIPI yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu, 1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; 2) Kekerasan negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; 3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; dan, 4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Diharapkan, solusi untuk mengakhiri semua persoalan ini, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam seruan moral pada 21 November diserukan, sebagai berikut:
“Meminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun.”
“Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang asli Papua yang terus-menerus meningkat.”
“Presiden Joko Widodo tetap konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok Pro Referendum, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Agustus 2005.”
Akhir dari artikel ini, saya mengucapkan selamat merayakan/memperingati 1 Desember 1961 – 1 Desember 2021 sebagai HUT ke-60 kemerdekaan Papua Barat. Anjing menggonggong di belakang, saudagar (ULMWP) terus melaju dengan inovasi dan kreativitasnya, serta ide-ide baru untuk pengakuan kemerdekaan rakyat dan bangsa Papua Barat.
Dunia ini bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga milik bangsa Papua dan bangsa-bangsa di bumi ini. Para pembohong, pencuri, perampok, pembunuh, dan penjahat tidak perlu ditakuti, tapi seganilah dan takutilah orang-orang benar yang mengatakan kebenaran dan yang memperjuangkan keadilan, martabat kemanusiaan, kesamaan derajat dan kedamaian bersama. (*)
*Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP), anggota Dewan Gereja Papua (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC) dan Aliansi Baptis Dunia (BWA)
Editor: Timoteus Marten