Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, ada enam provinsi di Indonesia yang memiliki angka buta aksara tinggi. Provinsi Papua menempati urutan paling tinggi sebesar 21,9 persen. Artinya, sebanyak 657 ribu dari 3,7 juta penduduk Papua buta aksara alias tara tahu baca. Jika memakai data Gubernur Lukas Enembe yang menyebut jumlah orang Asli Papua (OAP) sebanyak 2,3 juta jiwa. berarti tercatat sebanyak 490 ribu orang yang belum bisa membaca.
Kalau mau disimak lebih mendalam, sebenarnya masalah buta aksara di Papua bukan masalah baru. Bahkan salah seorang pembaca Jubi dalam komentarnya menyebut buta aksara adalah masalah klasik di Papua.
“Adakah guru berani tidak menaikkan siswanya yang buta aksara (tidak naik kelas), terutama di daerah terpencil/pedalaman. Bukan hal aneh jika ada mahasiswa yang tidak bisa calistung (baca tulis dan hitung) karena hal ini, bahkan bisa lulus ujian nasional. Siapa yang bertanggung jawab. Mari kita perbaiki kualitas pendidikan di Tanah Papua. Guru dan segala perangkat pendidikan/ sarana prasarana harus lebih ditingkatkan,“ tulis Abdulah Sarijan dalam jubi.co id menanggapi berita berjudul Hasil Susenas 2019 soal buta aksara di Papua tertinggi dari enam provinsi di Indonesia.
Masalah buta aksara bukan saja monopoli wilayah pedalaman dan daerah terpencil saja. Wilayah kepulauan di Tanah Papua pun mengalami nasib yang sama. Tercatat masih ada pelajar yang belum bisa membaca. Meski studi AJI Kota Jayapura berlangsung delapan tahun lalu, tetapi mengapa masalah buta aksara 2020 di Papua masih tinggi.
Tim AJI Kota Jayapura pada 2012 pernah melakukan penelitian dan liputan mendalam soal buta aksara di Kepulauan Yapen. Memang ada tim AJI Kota Jayapura yang meliput di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua menyebutkan ada yang tidak tahu membaca tetapi bisa pula membalas short message sent (SMS).
Berbagai faktor sangat berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan membaca di sekolah terutama sekolah dasar (SD) terutama peran orangtua di tengah terbatasnya guru di daerah terpencil.
Noak Kontini, orangtua murid di SD YPK Hosana Kontinuai Distrik Angkaisera, Kabupaten Kepulauan Yapen dalam penelitian tim AJI Kota Jayapura pada 2012 lalu mengeluhkan kehadiran dan keaktifan guru yang selama ini dinilai sangat minim.
Akibatnya, para murid di sekolah itu jadi korban. Setiap tahun dalam penerimaan siswa baru ke jenjang SMP pasti ada saja murid yang ditolak karena tidak tahu membaca. Para guru di sekolah tersebut dinilai tidak serius dan minim keterampilan mendidik anak-anak kampung.
“Sampai saat ini para muridnya banyak yang tidak tahu baca dan sering ditolak jika mau mendaftar ke SMP,” katanya.
Baca juga: Susenas 2019 : Papua jadi provinsi dengan angka buta aksara tertinggi
Sebaliknya, guru menepis tudingan itu. Salmon Sumbari, guru mata pelajaran Pendidikan Jasmani (Penjas) di SD YPK Hosana Kontinuai Distrik Angkaisera, mengatakan ada beberapa kendala yang membuat adanya murid hingga lulus tidak mampu membaca karena faktor lingkungan, kurangnya dukungan orangtua, serta gizi yang rendah.
Faktor lingkungan dan kurangnya dukungan orangtua, dikeluhkan hampir setiap masa kenaikan kelas maupun kelulusan. Para guru selalu dibawah ancaman orangtua.
“Anak-anak rata-rata malas sekolah, kadang kita guru kalau tidak kasih naik kelas, pasti orangtua datang marah-marah mau bongkar sekolah dan kami guru diancam dengan parang, bahkan pernah ada teman guru yang dipukul,” ungkapnya.
Sedangkan kondisi murid untuk daya serap menerima pelajaran, ia akui terbentur faktor gizi yang masih kurang. Sehingga program PMTS yang pernah digulirkan pemerintah bagi para murid sekolah dasar sebaiknya diaktifkan kembali.
PMTS hanya diberikan sejak 1999 sampai 2000 dan hingga kini tidak pernah ada lagi.
Bahkan sebagai guru Penjas, selama dirinya mengabdi di sekolah tersebut tidak pernah mendapat bantuan sarana dan prasarana olahraga. Ia juga berharap adanya penambahan rumah guru, sehingga kehadiran dan keaktifan guru di sekolah akan lebih baik. (*)
Editor: Dewi Wulandari