Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Tim Investigasi Kasus Nduga Papua merekomendasikan agar ada dialog lintas elemen untuk mengatasi bencana kemanusiaan yang terjadi di Kabupaten Nduga, Papua. Hingga Jumat (29/3/2019), ribuan warga sipil dari Kabupaten Nduga harus mengungsi ke berbagai kabupaten di Papua, demi menghindari konflik bersenjata atara aparat gabungan TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang dipimpin Egianus Kogoya.
Anggota Tim Investigas Kasus Nduga, Pastor John Djonga, menyatakan dampak upaya pasukan gabungan TNI/Polri mengejar kelompok Egianus Kogoya telah meluas dan merugikan hak-hak warga sipil di Kabupaten Nduga. “Harus ada dialog agar persoalan bisa diselesaikan. Ini bukan soal isu kontak senjata saja, tapi ada hak-hak warga sipil,” kata anggota Tim Investigasi kasus Nduga Papua, Pater John Djonga, dalam konferensi persnya di Jakarta, Jumat (29/3/2019).
Baca: Sedikitnya 229 anak pengungsi Nduga terancam gagal ikuti Ujian Nasiona
Pasca pembunuhan 19 pekerja PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018, TNI/Polri terus menambah jumlah tentara dan polisi di Kabupaten Nduga. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang dipimpin Egianus Kogoya telah mengumumkan bertanggungjawab atas pembunuhan 19 pekerja Istaka Karya itu, dan pasukan gambungan TNI/Polri menggelar “operasi penegakan hukum” untuk mengejar kelompok Kogoya.
Pastor Djonga mengatakan persoalan Papua tidak dapat diselesaikan melalui operasi militer. Untuk itu, tim investigasi mendesak agar pemerintah dan DPR mengutamakan pendekatan dialogis berbasis kemanusiaan bukan melalui militer. Tim Investigasi Kasus Nduga menemukan banyak warga sipil yang kini trauma akibat kontak senjata TNI dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Banyak warga sipil yang tidak terlibat aksi TPNPB memilih lari ke hutan untuk menghindari dampak operasi militer.
Baca: Diduga mengungsi, tujuh pelajar SMK di Nduga tidak ikut Ujian Nasional
“Hasil investigasi yang ditemukan memperlihatkan ibu-ibu melahirkan di hutan ketika mereka berada di pengungsian. Mereka juga sulit mengakses pertolongan medis,” katanya.
Dampak lain yang dirasakan warga Nduga di saat ini, kata dia, adalah tidak dapat menjalani aktivitas seperti biasa termasuk beribadah. “Pemerintah, LSM, TNI, Organisasi Papua Merdeka, masyarakat dan pihak terkait sebaiknya duduk bersama untuk bicara agar persoalan ini tidak membuat warga yang tidak terlibat kelompok bersenjata TPNPB menjadi korban,” kata dia.
Video : Kami lari ke hutan karena takut TNI-POLRI
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan pengungsi di Nduga membutuhkan respon cepat. Mereka adalah para korban sipil yang tidak terkait dengan kontak bersenjata.
Usman mengusulkan agar pemerintah merespon persoalan-persoalan tersebut dengan mengutamakan pendekatan hak asasi manusia daripada pendekatan keamanan terkait persoalan Nduga. “Pengungsi yang jumlahnya besar butuh respon cepat. Ada anak-anak kesulitan menjalani hidup seperti semula, ibu melahirkan tidak dilengkapi penanganan dan fasilitas memadai. Artinya, ada korban sipil tidak terkait menjadi korban,” katanya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G