Papua No.1 News Portal | Jubi
Enarotali, Jubi – Papuan Voices akhirnya resmi mengumumkan tiga pemenang kompetisi Festival Film Papua (FFP) IV. Pengumuman pemenang itu dilakukan pada acara penutupan sekaligus peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia 9 Agustus 2021.
Ketua Panitia FPP IV tahun 2021, Berto Yekwam mengatakan juara pertama diraih dengan judul film ‘Siklus Hidup’ memiliki 29:59 durasi waktu, berasal dari Samenage, Kabupaten Yahukimo yang dibuat oleh Yosep Levi.
“Sementara juara kedua diraih oleh Kristina Soge dan Denia Tafor dengan judul film ‘Dari Hutan Kitong Hidup’ berdurasi waktu 13:00 menit dari Keerom,” katanya.
Sedangkan juara ketiga, kata dia, dengan judul film ‘Penjaga Dusun Sagu’ dengan durasi waktu 7:01 menit, asal ceritanya dari Kabupaten Sorong yang dibuat oleh Esau Klagilit.
Ia mengemukakan pendapat para juri untuk film dengan judul ‘Siklus Hidup’, bahwa film ini berlokasi di Samenage, Kabupaten Yahukimo, Papua, dan menceritakan tentang kehidupan masyarakat di Distrik Samenage. Mereka mewarisi tradisi nenek moyangnya untuk mempertahankan hidup. Di samping itu mereka juga terbuka akan dunia luar melalui pendidikan formal.
Di balik kehidupan masyarakat Samenage yang terlihat damai, lanjut dia, ternyata menyimpan berbagai persoalan. Film ini juga berusaha menggunakan pendekatan emik dalam antropologi, dengan menggabungkan video-video yang direkam oleh dua orang siswa-siswi SD Inpres Samenage. Rekaman rekaman siswa-siswi dapat dilihat sebagai representasi pandangan mereka (masyarakat lokal) tentang dunianya.
“Film ini menurut para juri sangat luar biasa. Walaupun sederhana, dia bisa menceritakan proses demi proses yang benar-benar dialami dan dilakukan oleh masyarakat di daerah pegunungan. Itu satu dokumenter yang penting dan bisa menjadi inspirasi dalam membangun gerakan bersama bagaimana memahami situasi masyarakat di pegunungan. Selain itu, di tengah hiruk pikuk masalah pandemi Covid-19, sebagai penonton kita dibawa jauh pada situasi sehari-hari masyarakat pegunungan yang jarang terlihat. Judul Siklus Hidup juga tepat untuk mengingatkan kita bahwa serumit apa pun kita memikirkan kehidupan, hidup itu sendiri sebenarnya sangat sederhana, lahir, hidup, dan lalu mati sebagaimana digambarkan dalam film ini,” ungkap Berto Yekwam kepada Jubi melalui keterangannya, Selasa (10/8/2021).
Sementara film dengan judul ‘Dari Hutan Kitong Hidup’, ia menceritakan tentang keluarga Cosmas Boryam dan Magdalena Penaf tinggal di Kampung Wembi, Distrik Manem Arso Timur, Kabupaten Keerom. Film ini menggambarkan hubungan mereka dengan hutan adat yang telah diwariskan kepada mereka turun-temurun.
“Jadi menurut para juri, film ini sangat bagus. Pesannya sederhana, kalau hutan itu rusak, maka mereka tidak bisa hidup. Hutan di mana mereka hidup adalah tempat mereka berkebun, mencari buruan, dan semua kebutuhan hidup mereka yang lain. Film ini bisa dijadikan sebagai bahan kampanye agar masyarakat terus menjaga wilayah adat,” ujarnya.
Sedangkan film dengan judul ‘Penjaga Dusun Sagu’, sinopsisnya marga Klaigilit suku Moi Segen Kabupaten Sorong di Kabupate Sorong khawatir dengan rencana pemerintah, untuk membuka Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang berpotensi merusak dusun sagu marga Klaigilit.
Menurut para juri, film ini benar-benar menggambarkan situasi yang dialami oleh masyarakat di daerah Moi Segen.
“Masyarakat Moi di sini terdesak oleh investasi skala besar, baik kelapa sawit maupun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kabupaten Sorong. Kawasan ini yang masuk dalam KEK. Kemungkinan masyarakat yang ada di sekitar lokasi jalan menuju KEK ini akan direlokasi dari kampung mereka. Film ini bisa mendorong gerakan bersama warga di Kabupaten Sorong untuk tetap menjaga wilayah adat dari kebijakan pembangunan yang merampas hak-hak mereka atas wilayah adatnya,” katanya.
Selain tiga juara, ada juga pemenang favorit dengan judul film ‘Hana’, memiliki durasi waktu 6:40 dan asal ceritanya dari Kaimana dibuat oleh Emooz Kofit.
Sinopsis film ini, menurutnya menceritakan tentang satu keluarga yang hidup sederhana. Saat anak perempuan yang paling tua mulai beranjak dewasa, ia mengambil tanggung jawab membantu orang tuanya. Dia mencoba mencari pekerjaan di berbagi tempat, namun banyak ketidakadilan yang dihadapinya.
“Narasi yang dibacakan dalam film ini sangat mempengaruhi emosi penonton. Alurnya enak dan menyentuh masalah yang paling sering dialami oleh generasi saat ini. Pembuat mengangkatnya dalam film dan di akhir menggantung pertanyaan kembali ke penonton bagaimana menyikapi situasi ketidakadilan seperti itu,” katanya.
Ia menyebutkan ketiga tim juri yakni Dandhy Laksono, pembuat film dan pendiri WatchDoc, Elvira Rumkabu, akademisi Universitas Cenderawasih Jayapura dan Max Binur, pembina Papuan Voices dan budayawan Papua.
Koordinator umum Papuan Voices, Bernard Koten mengatakan komunitas pembuat film di Tanah Papua yang ia pimpin fokus memproduksi dokumenter berdurasi pendek tentang manusia dan Tanah Papua.
“Tujuannya adalah mengangkat cerita-cerita tentang Papua dari sudut pandang orang Papua sendiri,” ujarnya.
Saat ini Komunitas Papuan Voices menyebar di sembilan wilayah di Papua, antara lain Jayapura, Keerom, Wamena, Merauke, Sorong dan Raja Ampat, Biak dan Manokwari.
“Festival Film Papua ini kami harapkan bisa menjadi tolak ukur pergerakan perfilman di Tanah Papua, terutama dokumenter, memicu semangat para filmmaker Papua untuk terus berkarya, dan membangun gerakan nonton film dokumenter di masyarakat, terutama di Tanah Papua,” ujar Koten. (*)
Editor: Kristianto Galuwo