Papua No. 1 News Portal | Jubi,
Oleh : Pendeta Trevor Johnson
SELAMA bulan Oktober sebuah kasus medis dari wilayah Korowai menjadi viral di seluruh Papua. Kasus ini adalah kasus mengenai seorang anak kecil Korowai, Puti Hatil. Facebook dan grup What’s App menyebarkan permohonan doa dan gambar-gambar serta dalam waktu yang singkat keluar berita dan artikel mengenai anak kecil ini di berbagai media massa.
Puti Hatil adalah anak laki-laki berumur tiga tahun yang menderita dengan penyakitnya selama sebulan di daerah terpencil Afimabul di wilayah Korowai. Luka di pipinya menjadi semakin parah dan menggerogoti pipinya sehingga menjadi sebuah lubang yang besar di pipinya. Tidak ada jalan, tidak ada toko-toko, tidak ada listrik, dan tidak ada kehadiran pemerintah hampir diseluruh wilayah tersebut. Didalam kekalutan hati mereka melakukan perjalanan jauh dibantu oleh penginjil Dakinus Wanimbo menuju rumah saya di Danowage. Mereka mulai berjalan dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore untuk mencapai Danowage, melewati hutan rimba, rawa-rawa serta menyeberangi sungai-sungai kecil. Klinik misionaris di Danowage segera menolong dan mempersiapkan dia untuk segera ke rumah sakit Dian Harapan dimana dia sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang luar biasa.
Si Puti kecil sudah mendapatkan banyak perhatian media pada dua bulan terakhir ini. Walaupun begitu, Di dalam artikel ini saya akan menyorot tiga orang lainnya yang dilupakan dari kasus Puti Hatil yang sebenarnya juga patut mendapat perhatian.
Daniel Hatil:
Daniel Hatil adalah ayah dari Puti Hatil. Daniel menyaksikan bagaimana kondisi anaknya yang masih kecil itu semakin memburuk dan memburuk. Dari yang awalnya hanya sebuah bisul kemudian menjadi luka yang terbuka dan semakin melebar dan sampai pada penggerogotan area pipi hari demi hari.
Artikel ini mengenai tiga orang yang terlupakan pada cerita mengenai Puti Hatil. saya mengakui bahwa Daniel Hatil sesungguhnya tidak dilupakan oleh media hanya saja media tidak menyoroti hal-hal yang paling penting mengenai ayah dari Puti Hatil. Saat ini saya sedang membaca sebuah artikel koran mengenai Daniel Hatil yang berjudul, “Daniel Hatil, Pria Korowai Ini Pertama Kali Makan Nasi”. Ini adalah artikel yang baik dan saya senang diterbitkan. Tetapi artikel ini melewatkan topik utama yang sesungguhnya. Aspek yang paling penting pada cerita tersebut bukan mengenai manusia terpencil yang datang dari hutan dan kemudian makan nasi untuk pertama kalinya atau bahkan melihat mobil dan motor untuk pertama kalinya. Hal ini hanya akan menciptakan sebuah sensasi terhadap keprimitifannya atau menulis tentang dia karena ketidakberuntungannya yang sangat tidak berpengetahuan mengenai dunia. Tentunya pembaca dimotivasi untuk kasihan kepada Daniel.
Ini bukanlah motivasi yang benar. Kita tidak seharusnya mengasihani Daniel Hatil; kita seharusnya memuji dia. Fokus utama dari beberapa artikel yang menyebutkan Ayah Puti Hatil, Daniel Hatil, seharusnya seperti ini: Sungguh ayah yang sangat berdedikasi. Sungguh teladan kasih yang ditunjukkan ayah kepada anaknya.
Pada malam itu saat saya bertemu Puti Hatil saya bercucuran air mata tiga kali. Salah satu dari guru di Danowage menangis ketika Puti dibawa menuju teras depan rumah saya dan dia melihat lubang di pipi Puti Hatil. Guru ini menangis, “Ya Tuhanku, kenapa Tuhan mengijinkan ini, kenapa Tuhan?” dan kemudian, sesudah saya sendiri, saya juga mencucurkan air mata atas penderitaan yang dirasakan oleh anak ini. Kemudian, sesudah malam itu saya mencucurkan air mata lagi untuk kedua kalinya atas nasib buruk yang dialami masyarakat Korowai. Saya berpikir pada saat itu, “Tahun ini adalah 2017 dan masih ada banyak tempat di dunia ini di mana anak-anak seperti itu yang menderita tanpa pertolongan medis dan harus dibawa selama 10 jam untuk mendapatkan pertolongan terdekat. Bahkan pertolongan itu pun bukanlah sebuah rumah sakit tetapi sebuah klinik sederhana milik misionaris yang mana adalah milik kami.” Saya menangis pertama untuk Puti, dan kemudian kedua kalinya untuk buruknya keadaan kesehatan secara umum di wilayah Korowai.
Tetapi untuk ketiga kalinya saya menangis bercucuran air mata pada malam itu yang membuat saya tidak dapat tidur. Saya berbaring di tempat tidur. Saya mulai berpikir mengenai Daniel Hatil. Disini ada seorang ayah yang menyaksikan penderitaan anaknya yang memburuk dari hari ke hari. Tidak ada bantuan yang tersedia. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di artikel yang lain dituliskan, Daniel tidak pernah pergi ke kota. Dia tidak pernah makan nasi. Dia tidak pernah melihat motor dan mobil. Jika itu benar, hal ini menunjukkan keberanian yang besar. Melewati perjalanan yang panjang dengan anaknya untuk menyelamatkannya. Meskipun ada perasaan takut, dan meskipun tidak memiliki uang sama sekali, Ayah Puti Hatil tetap membawanya. Dan dia berjalan kaki. Dia berjalan kaki menggendong anaknya melewati hutan rimba. Ketika tiba dia tidak memiliki sepatu. Bahkan dia tidak memiliki uang ataupun yang lain di lengannya selain Puti di pelukan lengannya. Dia melindungi Puti dengan eratnya.
Saya akan membuat suatu pengakuan. Ketika Puti tiba di depan teras rumah kami, aroma bangkai tercium dimana-mana. Daging Puti dari pipinya sudah terinfeksi. Ini artinya pembusukan kronis, memakani wajahnya sentimenter demi sentimeter. Penyakit yang diderita Puti adalah Noma, atau Cancrum Oris, dan kita bisa menemukan gambar yang mengerikan ini di dalam internet. Penyakit ini berawal dari malnutrisi dan penyakit ini secara lambat menggerogoti semua daging di wajah. Hanya orang-orang yang berada pada lingkungan yang sangat miskin dan malnutrisi yang mengalami penyakit ini. Tetapi pada tahun ini, tahun 2017, dimana banyaknya dana OTSUS yang disumbangkan ke Papua. Uang sedang mengalir di tanah Papua. Sementara wilayah ini sangat miskin. Dimanakah perginya uang itu?
Aroma dari luka Puti Hatil sangat bau. Bahkan tubuh Puti beraroma tidak sedap. Ketika saya mendekatinya untuk memeriksa lukanya, saya hampir mulai mual dan ingin muntah karena aroma tubuhnya yang sangat berbau. Isteri saya sangat setia untuk membersihkan dan memperban luka-luka itu tanpa komplen sedikitpun. Sesudah kejadian malam itu, tidak ada dari antara kami yang bisa menikmati makan malam kami. Kami kehilangan selera makan dan tidak merasa lapar lagi setelah melihat kejadian malam itu dan mencium aroma yang tidak sedap.
Saat saya membaringkan badan di tempat tidur pada malam itu, saya mulai berefleksi atas semua peristiwa ini. Saya hanya berdekatan dengan Puti sekitar satu atau dua menit untuk memeriksa lukanya. Isteri saya mendekatinya untuk beberapa menit untuk membersihkan dan memperban luka itu. Tetapi ayah Puti, Daniel, membawa anak ini dan menggendongnya selama 10 jam melalui hutan! Badan dan wajah Puti bersebelahan langsung dengan ayahnya. Daniel mengangkat anakya berjam-jam bahkan berhari-hari meskipun aroma bau busuk dan nanah di pipi anaknya menempel di bagian tubuhnya. Tetapi ayahnya sama sekali tidak pernah menjaga jarak dari anaknya karena aroma bau itu. Malahan dia terus memeluk anaknya dengan erat dan memberikan rasa aman.
Kemudian saya mencucurkan air mata ketiga kalinya pada malam itu karena hati saya sangat tergugah dengan tindakan Daniel Hatil. Jika dapat diberikan sebuah ilustrasi yang luar biasa akan cinta kasih seorang ayah kepada anaknya, maka kejadian di teras depan rumah saya sangat mewakili kejadian itu di mana Daniel Hatil tidak hanya menggendong anaknya selama 10 jam melewati hutan belantara dan rawa-rawa, tetapi juga bertahan selama berjam-jam memeluk anaknya sambil mencium aroma yang begitu menjijikkan akibat infeksi. Baginya aroma bau itu tidaklah menjadi masalah. Tidak menjadi masalah baginya nanah yang berbau yang keluar dari pipi anaknya. Itulah cinta kasihnya kepada puteranya.
Saya akhirnya merefleksikan bahwa cinta kasih Daniel kepada puteranya sangat sama dengan bagaimana cinta kasih Allah kepada umat manusia. Kita semua telah jatuh dan sering kesakitan. Dosa kita telah mengotori kita dan membuat kita tidak lagi bersih. Kita tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perjalanan panjang agar mendapatkan pertolongan, sehingga Allah Bapa kita selalu siap memeluk kita dan membawa kita ke tempat yang aman dan menjadi penyelamat kita.
Jadi, ayah Puti Hatil, Daniel Hatil seharusnya tidak disorot sebagai sebuah objek untuk dikasihani bahkan tidak juga seharusnya kesederhanaan atau keprimitifannya menjadi fokus utama. Kita tidak patut merasa lebih superior atau lebih dibandingnya karena kita lebih berpendidikan tinggi. Lebih baik, Daniel dijadikan contoh yang baik untuk kita belajar sesuatu darinya. Keluarga mengalami banyak keretakan di Papua. Banyak ayah-ayah di kota yang memukul anak-anak mereka atau pergi dan mabuk-mabukan dan berbicara kasar kepada keluarganya. Tetapi di sini, di tengah hutan ada seorang pria yang bermurah hati yang mengorbankan waktu dan tenaganya demi kenyamanan puteranya, Puti. Kejadian ini membuktikan tentang bagaimana uang bahkan pendidikan bukan menjadi jawaban utama untuk meningkatkan moralitas manusia seperti seorang Daniel yang bahkan tidak memiliki uang ataupun pendidikan. Banyak orang di kota-kota memperbesar keserakahannya dengan memperoleh uang sebanyak mungkin serta menambah kelicikan mereka untuk memperoleh pendidikan setinggi mungkin. Ini mengenai apa yang ada di dalam hati manusia merupakan hal yang paling utama. (bersambung)
Pendeta Trevor Johnsonadalah seorang misionaris GIDI di Koroway, Yahukimo, Papua