Papua No.1 News Portal | Jubi
Wamena, Jubi – Aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata terhadap sejumlah tenaga kesehatan beberapa waktu lalu di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, mendapat perhatian dari salah seorang pemerhati Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.
Pembela HAM Papua, Theo Hesegem, menyebut kekerasan yang dialami tenaga kesehatan di Kiwirok itu sangat tidak manusiawi, karena petugas kesehatan merupakan pekerja kemanusiaan di mana mereka mempunyai hak dan kebebasan dalam memberikan pelayanan.
“Siapa pun yang ada di Papua entah OAP maupun non-OAP punya hak untuk hidup di atas tanah ini. Yang perlu dilihat pemerintah daerah dan pusat mengapa konflik bersenjata di Pegunungan Bintang berdampak kepada petugas kesehatan, ini hampir sama dengan kejadian di Puncak, Intan Jaya, yakni guru yang diperlakukan tidak manusiawi,” kata Theo Hesegem kepada wartawan di Wamena, Minggu (19/9/2021).
Ia menyebut, kejadian itu akan berdampak pada pelayanan kesehatan terhadap masyarakat sipil lainnya di daerah tersebut. Sehingga hal ini menjadi tugas bersama, dan pemerintah pusat maupun daerah harus membentuk tim independen untuk memastikan siapa pelaku dan motif sebenarnya.
Pasalnya, kata Theo Hesegem, ada pernyataan dari OPM jika ada salah satu dokter mempunyai dan mengeluarkan senjata api sebagai pembenaran melakukan aksi tersebut, namun hal ini tidak bisa dipercaya sepenuhnya.
Begitu pun, kata dia, dengan pernyataan-pernyataan dari pihak keamanan baik TNI maupun Polri yang membenarkan hal itu dilakukan oleh kelompok bersenjata, sehingga kedua belah pihak seperti sama-sama mencari pembenaran.
“Sehingga perlu dibentuk tim independen untuk bisa mengungkap masalah ini, karena pernyataan dari pihak OPM pun belum bisa dibuktikan.”
Menurutnya, seperti contoh kasus Nduga pada 2018 yang mengatakan karyawan perusahaan pekerja jalan merupakan mata-mata, tetapi hal itu pun tidak bisa dibuktikan, seperti senjatanya, serta kartu identitasnya.
“Sama halnya dengan kejadian di Pegunungan Bintang yang dikatakan bahwa dokter keluarkan senpi, harus dibuktikan siapa dokternya, senpinya apa. Makanya perlu dibentuk tim investigasi independen yang dipercayai kedua belah pihak untuk mengungkap masalah ini,” katanya.
Sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Papua menyatakan peristiwa di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang (Pegubin) mencederai kemanusiaan.
Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey, menyatakan siapa pun pelaku pembakaran puskesmas, gedung sekolah dasar, dan beberapa bangunan lain di sana, maka aksi itu tidak bisa dibenarkan.
Apalagi selain membakar sejumlah fasilitas publik, seorang tenaga kesehatan (nakes) wafat dalam peristiwa itu, serta beberapa lainnya dianiaya kelompok terduga pelaku.
“Atas nama kemanusiaan, Komnas Perwakilan Papua menyampaikan duka cita mendalam. Tindakan ini mencederai kemanusiaan, karena selain membakar fasilitas publik [terduga palaku] juga mengintimidasi nakes. Bahkan ada nakes yang wafat,” kata Frits Ramandey kepada Jubi, Sabtu (18/9/2021).
Menurut Ramandey, nekes dan guru dikualifikasikan sebagai pekerja kemanusiaan. Guru dan nakes melaksanakan tugas dan tanggung jawab memberi pemenuhan hak kesehatan dan hak pendidikan terhadap warga.
Frits Ramdey mengatakan membakar fasilitas publik yang keberadaannya untuk pemenuhan hak dasar masyarakat, misalnya hak atas kesehatan dan pendidikan merupakan tindakan yang melanggar prinsip HAM.
“Salah satu prinsip HAM itu kan harus menghormati hak hidup. Sehingga ketika mereka melakukan tindakan ini, itu melanggar prinsip-prinsip HAM,” ucap Ramandey. (*)
Editor: Kristianto Galuwo