Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Jayapura, Jubi – Seorang mahasiswa Doktoral Teologi, berinisial DS, di salah satu Universitas di Belanda yang juga calon pendeta, dihadang sekitar enam orang intel berpakaian rapi dalam perjalanan pulang dari aksi solidaritas untuk Nduga di Malang.
"Waktu itu, sekira jam 12.30 hari Senin, 30 Juli, sehabis hadir di aksi mahasiswa/i Papua peduli Nduga, dalam perjalanan pulang dengan ojek online, dari Jalan Semeru di perempatan belokan Jalan Bromo saya dicegat enam orang berpakaian rapi. Ojek yang jalan pelan itu berhenti dan salah seorang dari mereka menanyai saya sekitar 6-10 menit," ungkap DS saat diwawancara Jubi Rabu, (1/8/2018).
DS tidak menyangka ojeknya bakal dihentikan. Tapi daripada ribut, dia memilih tenang dan menjawab pertanyaan-pertanyaan intimidatif dari orang-orang.
"Mereka minta kartu identitas saya, terus setelah saya kasih KTP mereka minta kartu mahasiswa. Mungkin ini cara mereka intimidasi dengan melihat dimana kampus saya. Terus ditanya juga alasan kenapa kok ikut-ikut demo Papua. Saya jawab 'ya ikut saja bersolidaritas kan menyoroti isu kemanusiaan, apalagi sudah diizinkan polisi, bahkan dikawal polisi dari awal sampi akhir'. Terus mereka bilang 'ya tapi kan ujung-ujungnya Papua merdeka juga'," ungkapnya.
DS merasa yakin keenam orang yang mencegatnya itu intel karena mereka semua terlihat mengamati dan mengikuti sepanjang aksi sekitar 40-an orang mahasiswa/i itu.
Aksi demo yang bertajuk Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Alguru, Nduga itu dilaporkan berlangsung tertib dan damai. Mengutip kronologi aksi yang dibuat oleh Aliansi Mahasiswa Papua Malang di laman facebooknya, aksi dimulai dari Stadion Gajayana menuju Balai Kota Malang pukul 09.00 – selesai, mengambil tema Segera Tarik Militer dan Buka Akses Lembaga dan Jurnalis Independen ke Nduga West Papua.
Panggilan iman
Setelah peristiwa itu DS mengaku tidak takut ikut aksi karena panggilan iman, apalagi Persekutuan Gereja-Gereja Di Indonesia (PGI) sudah membuat seruan keprihatinan terkait peristiwa Nduga.
DS yang berkulit terang dan berambut lurus memang tampak kontras dan sangat kentara di tengah-tengah aksi yang didominasi mahasiswa/i Papua berkulit gelap dan berambut keriting itu.
Aksi ini bukan kali pertama keterlibatannya. Beberapa kegiatan diskusi dan nonton film terkait Papua juga ia hadiri. Salah satunya kegiatan nonton bareng dan diskusi Biak Berdarah, yang dipersekusi aparat kemanan, pada 1 Juli lalu.
Saat ditanya apa yang ia pikirkan setelah kejadian intimidasi itu, DS menyebut itu hanya mengonfirmasi kecurigaan selama ini bahwa aparat memang sengaja meminimalisir partisipasi Non Papua pada aksi-aksi dan kegiatan terkait HAM Papua guna memelihara stigma.
"Buat saya ini mengonfirmasi kecurigaan teman-teman bahwa aparat memang berusaha meminimalisir partisipasi orang Non Papua. Karena mungkin kalau yang ikut (aksi) Papua semua lebih mudah distigma," tutur DS.
Dia mencontohkan peristiwa persekusi nobar 1 Juli lalu yang juga diselenggarakan oleh AMP.
"Penggerebekan acara AMP juga senjatanya stigma. Anak-anak Papua dituduh tidak dekat dengan masyarakat lah, suka mabuk, main perempuan, dan lainnya, sehingga warga tidak suka. Terus diprovokasi dan dengan cepat tersebar berita bahwa mereka bikin kerusuhan, seperti sudah direncanakan begitu. Saya rasa strategi seperti itu akan lebih mudah dijalankan kalau yang ikut aksi dari Papua semua," kata DS yang kebetulan peserta aksi pertama Non Papua yang tampak di lapangan pada aksi peduli Nduga itu.
Berdasarkan kronologi aksi yang dikeluarkan Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Alguru Nduga di Malang, sejak awal aksi berlangsung aparat keamanan mencoba mengisolasi massa aksi dengan memblokade jalan dan mengalihkan jalur lalu lintas warga di depan balai kota Malang. Namun massa aksi tetap tertib bergerak di tepi jalan dekat SMK depan gedung DPRD Malang, dan melanjutkan aksinya
Menurut mereka ada beberberapa warga asing yang menyaksikan, mengambil selebaran aksi dan melakukan pemotretan jalannya aksi, namun beberapa intel mengusir mereka dari tempat aksi.
Serangan di Alguru, Nduga
Pada tanggal 13 Juli lalu Majelis Pekerja Harian PGI mendesak aparat keamanan untuk menghentikan tindakan represif dan mulai memikirkan upaya-upaya persuasif yang mungkin dilakukan. Menurut PGI upaya ini penting untuk dapat menjamin keamanan dan keselamatan dari masyarakat Nduga agar tidak terjadi kondisi krisis berkepanjangan dan trauma yang semakin mendalam.
Sejak pertengahan Juli lalu, seperti dilaporkan Jubi, Rabu (11/7/2018), pengejaran terhadap kelompok bersenjata dilakukan oleh aparat keamanan di Nduga. Bupati Nduga, Yarius Gwijangge mengatakan masyarakat melaporkan ada tembakan yang berasal dari sebuah helikopter yang berputar di atas Alguru, Keneyam.
Bupati mengaku telah meminta kepada pihak kepolisian untuk tidak melakukan tembakan atau serangan dari udara karena dikhawatirkan bisa mengakibatkan warga sipil menjadi korban.
Seminggu setelah penyerangan, Kamis (19/7/2018), ratusan mahasiswa dan pemuda Papua yang tergabung dalam Solidaritas Ratapan Kemanusiaan Alguru di Kabupaten Nduga melakukan demo damai di halaman gedung DPR Papua mendesak penarikan pasukan keamanan Polri dan TNI dari kabupaten itu.
Dilaporkan sekitar 50 KK juga menjadi korban operasi keamanan, atau yang disebut kepolisian sebagai operasi penegakan hukum, saat itu. Puluhan KK itu meninggalkan kampung merek dan belum diketahui kondisinya.(*)