Papua No.1 News Portal | Jubi
Shannon Sogavare, saat ini berusia 16 tahun, berasal dari Kepulauan Solomon, telah menyaksikan naiknya permukaan air laut yang membenamkan beberapa daerah di negaranya.
Ketika Ia itu masih lebih belia, dia biasanya mengunjungi pulau-pulau di Provinsi Choiseul dimana ayahnya, Perdana Menteri Kepulauan Solomon saat ini, Manasseh Sogavare, dibesarkan.
“Dia lalu menceritakan kisah-kisah yang indah, seperti waktu dia dan saudara-saudaranya bermain di pantai berpasir, Nuatabu, dan mereka harus bangun pagi-pagi sekali untuk menghadiri ibadah gereja di ujung desa,” kisah Shannon.
“Hal yang menyedihkan adalah saya tidak bisa melihat seluruh Pulau Nuatabu, tempat dimana ayah saya bertumbuh. Di pusat Pulau Nuatabu sekarang sepenuhnya tertutup oleh air laut, yang ada sekarang adalah pulau dengan dua … pulau terpisah.”
Shannon khawatir, seperti apa keadaan negara kepulauan itu di tahun-tahun mendatang, dan ia sangat memahami ancaman perubahan iklim terhadap tanah kelahirannya.
“Sebagai seorang remaja, isu perubahan iklim ini sangat pribadi bagi saya, karena saya sendiri masih akan hidup untuk waktu yang lama,” jelas Shannon. “Dan, dengan mengamati bagaimana pola iklim terus berubah, dan bagaimana perubahan iklim telah mempengaruhi keluarga saya dan masyarakat di desa, saya benar-benar tidak tahu seperti apa masa depan saya nantinya, dan …seperti apa kelangsungan hidup saya kedepannya.”
Shannon, seperti banyak anak-anak dan remaja di Pasifik, sedang mengikuti perkembangan dan hasil konferensi COP26 yang sedang berlangsung di Glasgow saat ini.
Masa depan kawasan Pasifik — menurut proyeksi dari laporan Save the Children berjudul Born into The Climate Crisis — tampaknya suram, anak-anak di Australia dan Kepulauan Pasifik diprediksikan akan mengalami sekitar 10 kali lebih banyak peristiwa cuaca ekstrem daripada generasi-generasi sebelumnya.
Di seluruh dunia, angka itu melonjak menjadi 24 kali lebih banyak peristiwa cuaca ekstrem yang disebabkan oleh iklim, untuk anak-anak yang lahir pada tahun 2020.
Laporan itu menunjukkan bahwa bayi yang lahir tahun lalu di Papua Nugini akan menghadapi gelombang panas 10 kali lebih sering, dan risiko kebakaran dua kali lebih tinggi, daripada yang dialami oleh orang tua mereka.
Sementara itu, anak-anak di Vanuatu diprediksikan akan mengalami kekeringan hampir tiga kali lipat dari saat ini.
Ini bukanlah masa depan yang mau diterima oleh Tanya Watsivi McGarry, anak perempuan dari jurnalis Dan McGarry, usianya 9 tahun, yang tinggal di Vanuatu.
“Tidak, saya tidak ingin tumbuh di dunia seperti itu, di mana perubahan iklim lebih parah, di mana ada lebih banyak badai, karena saya merasa itu tidak benar,” tegas Tanya.
Bahkan pada usia sembilan tahun, Tanya sudah cukup besar untuk mengingat apa yang terjadi saat Siklon Tropis Pam menyerang rumahnya enam tahun lalu.
“Kami semua berlindung di kamar mandi,” kenang Tanya, mengingat siklon dengan kategori lima itu. ”Kita bisa mendengar suara kaca pecah dan merasakan air naik.”
Dia ingat merasa “sangat takut”, khawatir tentang pohon-pohon yang mengelilingi rumahnya.
Tahun lalu saja pulau darimana ia berasal, Pulau Pentecost, diserang oleh Siklon Harold yang menghancurkan infrastruktur dan menggunduli tanaman dan sumber daya lainnya.
“Saat itu keadaan sangat mencemaskan,” tutur Tanya. “Semua buah-buahan, sayuran, tanaman umbi-umbian, semuanya rusak. Lalu tanaman-tanaman itu tidak bisa bertumbuh lagi.”
Bertumbuh di bawah bayang-bayang perubahan iklim, perempuan muda ini menyadari peran yang akan dimainkan negara-negara asing terhadap masa depan kawasan itu.
“Ada oknum-oknum di luar sana yang mencoba melakukan yang terbaik, dan kemudian ada juga oknum-oknum di luar sana yang tidak berusaha untuk yang terbaik,” jelasnya.
Pandangan Tanya ini mencerminkan pandangan pemimpin-pemimpin Pasifik, yang telah mengkritik Australia karena tidak menetapkan target pengurangan emisi GRK yang bermakna. Akhir bulan lalu, Australia berkomitmen untuk mencapai target nol emisi GRK pada tahun 2050.
Namun awal pekan ini, pemimpin-pemimpin Kepulauan Pasifik telah mendesak Perdana Menteri Scott Morrison agar Australia meningkatkan upaya penurunan emisi GRK menjadi lebih drastis dalam dekade ini.
Dalam pidatonya dihadapan para pemimpin dunia, Morrison mengumumkan bahwa Australia akan meningkatkan komitmennya terhadap pendanaan iklim untuk negara-negara tetangganya di Pasifik dan Asia Tenggara sebesar $500 Juta selama lima tahun ke depan, dengan total $2 Miliar.
Belajar untuk hidup dengan ancaman bencana alam dan perubahan iklim
Di Fiji, Aiyanna Nacewa, 8 tahun, dan teman-teman sekelasnya sedang belajar apa yang harus mereka lakukan jika siklon terjadi.
“Kami belajar bahwa jika ada badai besar melanda, kami harus menutup semua kaca dengan kayu, mematikan listrik, menghemat air dan makanan kam, lalu menutup jendela dan pintu,” kata Aiyanna.
Meskipun memasukan hal itu dalam kurikulum dapat membantu murid untuk memahami bagaimana caranya mereka mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana alam, hal itu tidak membantu meredakan rasa ketakutan yang dialami anak-anak seperti Aiyanna, yang sudah tahu tentang bencana alam dan perubahan iklim.
“Ketika siklon pertama menerjang, dengan guruh dan kilat, saya melihat ke luar jendela dan saya merasa takut karena saya merasa petir itu bisa menyambar rumah kami dan, dan lalu melubangi atap kami.”
Masa depan generasi muda terancam
Shannon sudah pernah menyaksikan sendiri saat-saat dimana masyarakat bersusah payah mencari makanan, air bersih, dan tempat untuk berlindung setelah siklon yang lewat meratakan desa-desa di Kepulauan Solomon.
“Negara ini sangat rentan terhadap bencana alam, rumah-rumah, desa, bahkan nyawa melayang akibat bencana alam,” tambah Shannon. “Jadi, apa artinya bertumbuh dengan angin topan dan cuaca ekstrem? Pada dasarnya itu berarti bertumbuh dengan rasa takut, takut mati, takut kehilangan rumah sendiri, dan juga takut harus berjuang agar bisa bertahan hidup.
“Saya paham bahwa ini bukan persoalan mudah yang bisa diselesaikan oleh para pemimpin dunia dalam satu malam. Tetapi saya ingin pemimpin-pemimpin dunia untuk bersimpati kepada kami negara-negara Kepulauan Pasifik, dan melihat bagaimana masyarakat saya sendiri harus berjuang untuk bertahan hidup karena perubahan iklim.
“Sebagai seorang remaja, saya ingin mendesak pemimpin-pemimpin dunia untuk mencoba membuat perubahan, keluarga saya, kehidupan saya sendiri, masa depan saya dipertaruhkan.” (ABC News)
Editor: Kristianto Galuwo