Papua No. 1 News Portal I Jubi,
Ambae, Jubi – Vanuatu tidak asing lagi dengan gemuruh, goncangan, banjir dan angin yang mengguncang alam mereka.
Negara kepulauan Pasifik Selatan itu dinobatkan sebagai negara paling berisiko di seluruh dunia dalam sebuah penelitian PBB pada tahun 2016. Delapan puluh tiga pulaunya terjebak tepat di tengah lokasi rentan badai dan berlokasi di perbatasan “Ring of fire” – sebuah sabuk di sekitar Pasifik yang rentan terhadap gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Meskipun situasi genting ini telah menjadi kenyataan sehari-hari, negara ini melakukan perintah PM Charlot Salwai untuk mengevakuasi seluruh Pulau Ambae karena ancaman gunung berapi di tengah-tengah pulau yang akan meledak.
“Kehidupan masyarakat harus menjadi prioritas utama kami,” kata Salwai.”Semua orang harus dievakuasi.”
Yang terjadi selanjutnya adalah versi Vanuatu dari evakuasi Dunkirk. Masyarakat telah mulai mengorganisir evakuasi bahkan sebelum perintah Salwai. Ni-Vanuatu, orang-orang natif daerah ini, didefinisikan oleh dua hal: tanah dan keluarga. Sejak status darurat diumumkan, anggota komunitas Ambae di Port Vila, ibu kota Vanuatu, mulai memobilisasi.
Mereka tahu dan tidak menunggu pemerintah yang kekurangan uang dan sumber daya, sebaliknya membentuk pusat tanggap bencana di sebuah gereja. Perusahaan-perusahaan lokal segera mulai menyumbang barang-barang. Dalam sekejap mereka memiliki persediaan air, makanan, tempat tidur dan kebutuhan lainnya siap dikirim.
Lalu mereka menyewa kapal.
MV Makila adalah salah satu armada kapal antar pulau yang pertama di Vanuatu yang dapat mencapai Ambae dengan membawa persediaan. Kapal itu menurunkan barang-barang dan kemudian membawa lebih dari 100 penduduk ke tempat yang aman di pulau terdekat, Espiritu Santo. Lalu kembali dan melakukannya lagi.
Tidak ada keraguan, tidak ada waktu untuk merenung. Kapal-kapal itu harus bergerak. Jadi anggota masyarakat menggunakan kemampuan mereka sendiri dan mengevakuasi diri.
Di Pulau Bali, di Indonesia dimana sebuah gunung berapi juga sedang mengancam, pihak berwenang harus mengurus banyak orang yang telah dievakuasi: sekitar setengah dari 140.000 mereka yang telah dipindahkan ke tempat penampungan diminta untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.
Situasi di Ambae sangat berbeda: 11.000 penduduknya harus dipindahkan secepatnya.
Gunung berapi Manaro terletak di sebuah pulau kecil, di tengah danau, di puncak Gunung Lombenben yang profilnya mendominasi pulau ini. Sampai minggu lalu, mulut gunung berapi mengeluarkan uap dan abu dengan lembut, kadang-kadang hingga menyelimuti pulau itu.
Tapi wajah Manaro yang lembut menutupi ancaman yang memuncak. Bentuknya yang landai disebabkan oleh kerak bumi yang ditekukkan akibat tekanan tak terduga di bawah permukaan bumi. Pekan lalu dimulai dengan tenaga besar dari dalam bumi dua corong baru muncul di permukaan.
Ledakan kecil tidak berbahaya berulang kali bergema di seluruh pulau dan cahaya danau lava yang baru terbentuk dapat terlihat dari Pulau Pentakosta, 30 km jauhnya dari Ambae.
Saat tiba akhir pekan, upaya evakuasi akar rumput Ambae mulai meningkat drastis.
Nadia Kanegai menjadi asisten pribadi Perdana Menteri, dan juga seorang mantan kandidat politik. Seorang yang ahli dalam menyelesaikan berbagai masalah secara pribadi ditengah-tengah birokrasi pemerintah Vanuatu yang sering kacau balau, dia tidak bergeming menghadapi berbagai kesulitan yang berhubungan dengan pemindahakn ratusan penghuni pulau yang paling rentan ke tempat yang lebih aman.
Dia langsung saja menyewa pesawat terbang dan menyuruh pilotnya untuk tetap menerbangkan pesawat untuk proses evakuasi sampai semua penduduk telah keluar.
Kanegai menolak membahas berapa biaya pengangkutan ini yang dibebani kepada dia secara pribadi, tapi penyewaan pesawat untuk penerbangan ke pulau-pulau terluar biasanya menghabiskan biaya setara dengan £ 1.000 pulang pergi. Pesawatnya melakukan delapan belas penerbangan hanya pada hari pertama saja.
Moli, 14 tahun, adalah penderita Down syndrome. Sekarang aman dan (tidak terlalu) nyaman di landasan pesawat di Pulau Santo, dia melihat kamera ditujukan kepadanya dan menyeringai dengan wajah lega, membuat tanda peace dengan kedua tangannya. Tapi ketika ditanya bagaimana perasaannya tentang bencana ini dan evakuasi yang harus dilaluinya, dia berkata berulang-ulang kali: “Saya hanya ingin menangis.”
Transportasi udara yang diatur dari akar rumput itu memiliki dua pesawat 10-penumpang kecil yang beroperasi sepanjang hari. Tapi itu pun hampir tidak cukup. Nancy Garae harus membawa ibu mertuanya ke bandara Longana dari Lolovenue di timur laut pulau itu.
“Umurnya hampir 100 tahun,” kata Garae mengenai perempuan lanjut usia itu. “Saat kami datang, kami diberitahu bahwa pesawat sudah penuh. Kami masih menunggu. Mungkin besok bisa ada tempat bagi kami.“ Mereka berdua tidak punya tempat tinggal di Longana sehingga satu-satunya pilihan mereka adalah kembali ke desa lalu kembali keesokan harinya ke Bandar udara Longana.
Eksodus dari Ambae sudah meningkat sejak saat itu. Sepuluh kapal telah terlibat dalam usaha evakuasi massal tersebut, dan Australia telah mengumumkan bahwa HMAS Choules, sebuah kapal pengangkut barang, sedang berlayar di Laut Coral menuju Ambae untuk membantu.
Tapi bagi mereka yang tidak bisa bepergian dengan kapal, atau yang tidak bisa menunggu, mereka harus berusaha sendiri.
“Masyarakat ini yang membuat saya menjadi siapa saya sekarang,” kata Kanegai, “saya hanya membalas kebaikan mereka kembali.”(Elisabeth C.Giay)
*Dan McGarry adalah direktur media di Daily Post Vanuatu