Taparu dalam sosial budaya orang Kamoro Kabupaten Mimika

Papua No. 1 News Portal | Jubi ,

SETIAP klan dalam orang Kamoro biasanya memiliki taparu atau lokasi tertentu sebagai tempat mencari sumber makanan dalam mengitari sungai dan bakau di kawasan estuari dataran rendah Kabupaten Mimika.

Antropolog Belanda,  J Power, menyebutkan taparu adalah nama tanah yang menekankan penghuninya tidak seluruhnya benar.

“Terdapat pula nama-nama lingkungan hunian yang berasal  dari nama nenek moyang,” sebagaimana ditulis dalam buku berjudul ‘Taparu Fratri suku bangsa Mimika-Kamoro di Kampung Hiripau Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimika ‘oleh Dessy Pola Usmany dan kawan-kawan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua, 2013.

Taparu sendiri lebih memperhatikan kelompok-kelompok yang menghuni wilayah atau lingkungan tersebut. Pasalnya bagi orang Kamoro dalam mencari dan menangkap ikan selalu mengitari sungai dan dusun-dusun sagu yang mereka lewati. Jadi dalam areal yang luas setiap taparu sudah mengetahui dan mengenal kepemilikan wilayah tersebut.

Orang Kamoro menyebut taparu berarti tanah. Jadi, taparu berarti tanah. Sedangkan orang Sempan menamakan se iwake. Jika seseorang hendak mengambil tanah-tanah yang dilaluinya dalam meramu, nama tanah atau wilayah mencari menambah akhiran we.  Misalnya di wilayah kampong Omawka terdapat dua lingkungan yang dinamakan menurut tanah hunian, tumamerowe dan efato-we.

Begitupula dengan orang-orang di Kampung Nawaripi dalam menempatkan nama tanah hunian mereka. Adapan nama hunian tanah kampong Nawaripi meliputi Tumukamiro-we,Viriao-we, Iwiri-we. Artinya hubungan antara tumamero dan  dengan tumamero-we sama dengan tanah dan penghuni.

Kepercayaan orang Ojibwa termasuk hampir sebagian besar suku Kamoro bahwa kekuatan (roh) dari klan patrianal (klan ayah) digambarkan dalam simbol atau sejenis binatang-binatang tertentu. Pakar antropolog menyebutkan dengan nama totem, artinya suatu sistem kepercayaan yang mewujudkan representase simbolik dari dunia sosial.

Misalnya orang-orang Kamoro di Kampung Mioko disebut juga dengan nama kapaki-we atau orang tembakau. Begitupula dengan lingkungan hunian taparupi di Tipuka yang disebut juga dengan nama ewe-we atau orang buaya. Adanya simbol totem, membuat orang-orang yang  memilikinya selalu menghormati dan percaya. 

Umumnya taparu dalam sistem budaya sosial masyarakat Kamoro terdapat beberapa norma utama antara lain tanah, sungai, daerah yang dihuni. Tak heran kalau orang Kamoro sangat dikenal dengan istilah sungai, sampan, dan sagu. Mereka berperahu mengitari sungai menekuk sagu dan menangkap ikan. Selain itu taparu juga mengenal norma sebagai Otepe terkenal dan nenek moyang asal atau asal usul nya.

Ciri-ciri yang menonjol dalam taparu adalah termasuk dalam organisasi sosial, pakar antropolog menyebutnya sistem kekerabatan yang berkenaan dengan konsep fratry yang bilineal dan bukan moiety atau konsep lain.

Taparu juga merupakan gabungan dari beberapa klan yang mempunyai kesamaan leluhur yang berjenis kelamin perempuan, yang namanya diabadikan sebagai nama taparu. Leluhur yang bisa menyatukan biasanya nenek moyang perempuan.

Klan taparu yang berasal dari luar kampung lain, secara sengaja akan digabungkan ke dalam beberapa taparu tertentu yang lebih muda. Misalnya Taparu purukupi, jumlah klannya lebih banyak dari klan taparu yang lebih tua. 

Taparu bagi orang Mimika khususnya suku Kamoro untuk membedakan antara fungsi kerja dalam ritual keagamaan. Jaman dulu dipakai dalam sarana pertukaran pasangan dalam rangka perkawinan dengan memberlakukan sifat eksogami taparu. Namun masuknya agama Katolik menyebabkan eksogami fatry berubah menjadi exogami klan dan bersift patrilineal.

Selain itu taparu juga berperan sebagai fungsi politis dalam kebudayaan orang Mimika. Taparu berbeda berdasarkan kesatuan kampung-kampung di wilayah orang Mimika. Taparu juga menjaga kestabilan dan keseimbangan orang Mimika dalam mengatur ruang di wilayah bumi Kamoro.

Sayangnya, wilayah taparu juga mengalami tantangan terberat, ketika banyak sedimentasi akibat tailing menyebabkan ruang untuk mencari semakin terbatas karena pendangkalan sungai dan perubahan warna dalam mollusca di kawasan estuary Kabupaten Mimika. (*)

Related posts

Leave a Reply