Tanggapan atas kebijakan Fiji yang gencarkan vaksinasi beragam

Tanggapan atas kebijakan Fiji yang gencarkan vaksinasi beragam 1 i Papua
Ashie Naisara telah membantu mengantarkan makanan kepada keluarga yang berjuang selama wabah COVID Fiji.

Papua No.1 News Portal | Jubi

Fiji terus berupaya keras untuk memastikan setiap orang dewasa di negara itu yang telah memenuhi persyaratan untuk menerima segera vaksinasi karena penyebaran varian Delta yang sangat menular terus berkembang pesat di sana.

Negara Kepulauan Pasifik itu telah mewajibkan vaksinasi Covid-19 bagi semua pekerja, yang akan dikenakan denda atau dipaksa mengambil cuti jika mereka tidak menerima suntikan itu.

Read More

Berkat adanya sumbangan vaksin AstraZeneca dari Australia, Selandia Baru dan India, pihak berwenang mengatakan mereka sekarang memiliki dosis yang cukup untuk memvaksinasi seluruh negara.

Namun meskipun melaporkan sekitar 700 kasus baru setiap harinya, pemerintah nasional telah menolak untuk menerapkan lockdown di tingkat nasional.

“Kami tidak ingin mengisolasi orang-orang,” jawab Perdana Menteri Frank Bainimarama saat hal itu ditanyakan. ”sekelompok pakar kami juga menyarankan kepada kami bahwa karantina wilayah tidak akan membunuh virus itu. Tetapi kebijakan itu akan membunuh pekerjaan dan itu bisa membunuh masa depan negara kita.”

Karena jumlah kasus Covid-19 telah melonjak sejak wabah dimulai kembali pada April lalu, tim tenaga kesehatan telah berjuang keras untuk memberikan vaksinasi dengan sigap dan aman.

Sekitar 58% orang-orang Fiji dalam populasi yang ditargetkan untuk menerima vaksin awal sudah menerima setidaknya satu dosis AstraZeneca, menurut data resmi, sementara lebih dari 10 % telah menerima suntikan tahap yang kedua.

Tetapi dengan lebih dari setengah dari 48 kematian terkait Covid-19 yang dicatat negara itu terjadi dalam pekan lalu, ada banyak pihak yang prihatin strategi ini tidak berhasil.

Kebijakan pemerintah dikecam

Meskipun pemerintah Fiji belum memberlakukan karantina wilayah yang meluas, itu telah memberlakukan larangan jam malam dan pembatasan pertemuan publik untuk membatasi pergerakan masyarakatnya.

Sementara itu, daerah-daerah dimana kasus Covid-19 menyebar dengan aktif telah dinyatakan sebagai zona pembendungan, orang-orang tidak diizinkan untuk masuk atau keluar dari zona-zona tersebut.

Di Qauia, sebuah daerah pemukiman informal dimana wabah itu juga menyebar, banyak penduduk yang bergantung pada LSM-LSM untuk menyediakan pelayanan esensial.

Ashie Naisara, dari organisasi sukarela Mama Ashy, yang telah membantu keluarga-keluarga di sana, percaya bahwa karantina wilayah pada tahap awal mungkin bisa menjauhkan masyarakat dari beban gelombang kedua yang mematikan di Fiji.

“Sudah pasti, mereka harus menerapkan karantina wilayah lebih awal, hanya 14 hari,” tegasnya.

Setidaknya tujuh orang telah meninggal akibat Covid-19 di Qauia dan sekitarnya, menurut pihak berwenang.

Meskipun demikian, Naisara menerangkan bahwa banyak orang yang menolak untuk menerima vaksin karena mereka tidak percaya semua kematian itu disebabkan oleh virus Corona.

“Mereka yang sempat saya ajak berbincang-bincang sebenarnya tidak merasa bahwa ada hubungan langsung antara kematian itu dengan virus Corona,” tutur Naisara.

Sekitar 29% penduduk Fiji hidup di bawah garis kemiskinan, dan banyak dari mereka menghadapi penyakit kronis seperti diabetes dan penyakit jantung.

Naisara menambahkan bahwa mereka bukan hanya paling rentan terhadap dampak ekonomi dari penerapan karantina wilayah, tetapi mereka juga yang paling terpukul oleh wabah tersebut.

“Sanitasi dan standar hidup tidak mencapai standar, beberapa dari mereka hidup dalam kondisi yang sangat merisaukan,” ungkapnya.

“Jadi kita tahu bahwa Covid-19 telah semakin mempersulit masalah-masalah yang sudah ada sebelumnya.”

Penolakan pemerintah untuk menerapkan lockdown negara itu telah menerima kecaman yang signifikan, dengan Anggota Parlemen oposisi, MP Biman Prasad, mengkritik keputusan itu, bahwa itu telah membuat krisis semakin buruk.

“Ini adalah hasil dari kebijakan pemerintah yang naif, ngotot, dan didorong oleh ego, karena mereka telah menolak untuk mengubah strategi mereka,” tegas Profesor Prasad.

Jumlah kematian akan jauh lebih tinggi jika cakupan vaksinasi Fiji

Meskipun pada awalnya Fiji berhasil mencegah masuknya virus itu dengan menutup perbatasannya, mengendalikan varian Delta yang sangat menular telah menimbulkan tantangan yang sulit bagi otoritas kesehatan.

“Jumlah kematian akan jauh lebih tinggi daripada yang kita alami sekarang, jika cakupan kita dalam hal vaksinasi sangat rendah,” menurut dr. Rachel Devi, yang mengepalai satuan tugas vaksin Kementerian Kesehatan Fiji.

“Untuk melakukan semua upaya kita untuk pergi ke lokasi-lokasi itu dan memberikan vaksinasi sekarang itu sangat penting.”

Tetapi memimpin program vaksinasi yang ambisius di tengah-tengah ancaman wabah yang sangat menular juga memiliki risiko sendiri.

Menurut dr. Devi, tenaga-tenaga kesehatan harus menerapkan langkah-langkah protokol kesehatan Covid-19 yang ketat saat memberikan suntikan.

“Hal terakhir yang kita inginkan adalah jika lokasi vaksinasi menjadi sumber superspreader,” jelasnya.

Berbagai cluster yang melibatkan tenaga kesehatan telah menyebabkan penutupan berbagai rumah sakit dan fasilitas kesehatan di Fiji, dan staf Kementerian Kesehatan pun diisolasi setelah terpapar kasus positif.

Mahomed Patel, seorang profesor epidemiologi terapan di Australian National University, mengatakan bahwa Covid-19 telah menghadirkan sebuah ‘wicked problem’ bagi pemerintah-pemerintah yang berusaha untuk mengendalikan dan membendung penyebarannya.

Dr. Patel menekankan bahwa Australia bisa saja beralih ke karantina wilayah sebagai cara untuk mengurangi jumlah kasus atau meminimalkan kematian, tetapi negara-negara seperti Fiji mungkin tidak mampu mengambil keputusan seperti itu.

“Di Australia pemerintah bisa memberikan dana bantuan kepada usaha-usaha untuk melanjutkan operasionalnya atau bisa menciptakan program-program seperti JobKeeper untuk memastikan tidak ada warganya yang mati karena kelaparan,” menurut Dr. Patel. “Di negara yang kaya, ini adalah solusi yang sangat mudah. Di negara miskin, ini adalah masalah yang besar.”

Dr. Patel menimpali bahwa meskipun vaksinasi adalah ‘hal terbaik yang kita miliki saat ini’, pendekatan tunggal seperti ini tidak mungkin berhasil. “Covid-19 telah menunjukkan adanya keterbatasan-keterbatasan dalam sistemnya, yang selanjutnya akan semakin mendorong ketaksetaraan,” katanya. “Satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah dengan mengambil langkah kecil satu per satu dalam perlahan-lahan, memantau dampaknya, dan kemudian memutuskan apakah itu berhasil atau tidak, dan bersiaplah untuk mengganti langkah itu dengan cepat.” (ABC News)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply