Papua No. 1 News Portal | Jubi
“Tanam Sagu Seribu, Mati juga Seribu” merupakan satu dari dua Liputan Khusus wartawan Jubi, Frans L Kobun, yang menjadi hasil dari fellowship Indepth Reporting Auriga. Peliputan dilakukan di Kabupaten Merauke, Papua.
- Ada peristiwa yang dikenang dengan kecut oleh warga Kampung Kaliki. Itu terjadi pada September 2019 lalu. Waktu itu, ke desa mereka, masuk program penanaman 1.000 anakan sagu.
- Proyek di atas lahan 10 hektare ini kepunyaan Badan Restorasi Gambut (BRG), dan pelaksanaannya dihela Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Merauke.
- Toh, faktanya, anakan sagu itu mati semua. “Atas gagalnya program ini, dinas harus bertanggungjawab,” ujar Thimotius Balagaize. Dia mengatakan, jika usulan masyarakat diterima untuk menanam sagu di musim hujan, semua anakan pohon itu pasti hidup. Benarkah?
WARGA KALIKI KEBETULAN amat mengharapkan program penanaman sagu. “Memang kami sangat berharap program penanaman sagu, mengingat pohon sagu dari waktu ke waktu terus berkurang karena ditebang, dipangkur, dan diolah untuk kebutuhan makan setiap hari,” ujar Kepala Kampung Kaliki, Thimotius Balagaize, pertengahan Juni lalu di kampungnya. Jadi waktu itu mereka senang ada program ini.
Tapi ada masalah. Warga menghitung, musim tanamnya tak tepat, Karena dilaksanakan saat kemarau panjang sekitar September 2019. Sempat terjadi silang pendapat dengan Dinas Pertanian soal musim tanam ini. “Awalnya masyarakat menolak anakan sagu ditanam waktu itu. Mengingat saat itu sedang kemarau panjang dan tanahnya kering, tak mungkin sagu akan hidup,” ujar Thimotius lagi.
Tokoh Adat Kampung Kaliki, Kornelis Kaize, membenarkan soal itu. “Kami bukannya menolak program penanaman 1.000 anakan pohon sagu di atas lahan 10 hektar. Namun penanamannya salah musim, sehingga menimbulkan aksi protes masyarakat,” ujarnya.
Tapi, Dinas Pertanian jalan terus dengan program ini. Masyarakat tak kuasa menahan. Warga dari empat marga Suku Marind Kaliki, yakni Basik-Basik, Kaize, Ndiken, dan Mahuze, menyiapkan sepuluh hektare lahan mereka untuk ditanami anakan sagu. Masing-masing marga kebagian 2,5 hektare.
Berhari-hari warga berpeluh di bawah terik matahari untuk menyiapkan lahan. Maklum, lahannya belum matang. Mula-mula mereka menyiangi lahan itu. Dinas mengedrop satu unit mesin pembabat untuk masing-masing marga. Kelar lahan disiangi, lubang pun digali untuk tempat anakan sagu. Dalamnya sekitar 1 meter. Jarak antar lubang 5 meter. “Itu dikerjakan dan diselesaikan masyarakat dengan baik, termasuk menggali lubang dengan kedalaman kurang lebih satu meter dan mengatur jarak tanam antara satu pohon ke pohon sagu lain sekitar 5 meter,” kata Thimotius.
Kelar menyiapkan lubang tanam, pekerjaan masih jauh dari selesai. Warga harus mencari anakan sagu. Ini tak ringan. Soalnya, untuk mengumpulkan bibit sebanyak itu mereka harus berjalan kaki belasan kilometer, dari satu dusun sagu ke dusun sagu lainnya.
Bila warga tak kuasa menolak, alam punya kehendak. Karena penanaman tidak tepat waktu, bukan musim hujan, tetapi di saat kemarau panjang, seribu anakan sagu itu mati semua. “Tak ada satupun anakan pohon hidup setelah ditanam,” ujar Ketua Adat Mayo, Melkias Gebze.
Kegagalan ini rupanya juga masih diingat dengan baik oleh Kepala Badan Sosial Ekonomi Yayasan Santo Antonius (Yasanto) Merauke, Djago Bukit. “Dalam pertemuan di kampung, sebelum program dijalankan, saya juga hadir dan memberikan masukan kepada pejabat dari Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan agar menunggu musim hujan baru ditanam,” katanya. Tapi usulannya tidak direspon. “Alasan penyelenggara adalah penanaman sudah sesuai jadwal dan tak boleh ditunda-tunda. Jadi akhirnya dipaksakan ditanam dan hasilnya semuanya mati.”
Namun, kata Djago Bukit, masalah kala itu bukan hanya soal waktu tanam yang salah musim. Warga Kaliki juga sempat merasa dipermainkan. Menurut warga, karena ada dananya, mestinya setiap anakan pohon sagu yang dicari masyarakat harus dibayar.
Ini dibenarkan Kepala Kampung Thimotius Balagaize. Untuk daya upaya keras menanam anakan sagu tersebut, katanya, Dinas hanya mengucurkan dana Rp 6 juta per marga. Padahal untuk membersihkan lahan saja memakan waktu antara 3-4 hari, belum untuk menggali 1.000 lubang secara manual. “Sebagai kepala kampung, saya tidak mengerti dengan cara perhitungan yang dilakukan. Mestinya dijelaskan kira-kira per-pohon anakan sagu harganya berapa,” kata dia. “Kesan yang saya tangkap pejabat dari dinas itu sangat tertutup soal anggaran.”
Supervisor Kemitraan Desa Peduli Gambut Kampung Kaliki, Fourly, membenarkan adanya dana penanaman anakan sagu ke empat marga yang menjadi pemilik tanah. Namun ia tak mengetahui soal besaran anggaran yang dialokasikan untuk program penanaman 1.000 anakan pohon sagu itu karena Dinas tak terbuka soal ini.
Yang ia ketahui persis, semua anakan sagu yang ditanam di atas lahan 10 hektare memang mati lantaran penanaman tidak tepat yakni di musim kemarau. “Dan sepengetahuan saya, setelah penanaman, belum ada monitoring dilakukan oleh pejabat dari Dinas Tanaman Pangan Merauke,” katanya.
Fourly menambahkan, program penanaman anakan sagu itu merupakan program BRG yang diiperuntukan bagi Desa Peduli Gambut. Pelaksanaannya diturunkan ke tim restorasi gambut (TRG) Provinsi Papua dan diteruskan ke dua kabupaten yakni Merauke dan Mappi.
Ia juga membenarkan pembayaran dilakukan kepada empat marga yang nota bene sebagai pemilik tanah. Namun, tidak ada keterbukaan soal besaran anggaran yang dialokasikan untuk program dimaksud.
Menanggapi temuan wartawan Jubi di Kaliki ini, Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Merauke, Ir. Ratna Lauce mengaku tidak mengetahui soal anggaran program waktu, karena waktu itu ia bukan kepala dinasnya. Namun ia membenarkan per kelompok mendapat Rp 6 juta. “Soal Rp 6 juta itu intern mereka yang mengatur, tetapi nilanya seperti begitu. Dari dinas menganggarkan Rp 25.000 per pohon dibeli dari masyarakat. Itu di luar pembabatan, penggalian lubang, penanaman, serta perawatan,” katanya.
Ratna mengatakan ia juga telah menerima soal informasi adanya anakan pohon sagu di Kaliki yang mati. “(Namun) Dari informasi kami dapatkan, tidak semua anakan sagu itu mati. Hanya sebagian saja. Tetapi tidak tahu belakangan setelah corona dan lockdown. Kami belum turun lapangan memantau secara langsung,” ujarnya.
Namun, dia melanjutkan, telah ada kesepakatan bersama di antara masyarakat jika ada anakan sagu yang mati. “Yaitu bahwa apabila mati, mereka (warga) akan cari anakan lagi untuk tanam kembali,” katanya.
Dengan kesepakatan itu, maka masyarakat harus bertanggungjawab menanam kembali apabila ada yang tidak tumbuh kembali.
Ratna juga membenarkan penanaman anakan sagu itu di musim kemarau. Namun, menurutnya, itu sudah sesuai anjuran dari pusat, karena anakan itu ditanam sebelum bulan Oktober. “Betul ditanam bukan di saat musim hujan, namun di daerah rawa gambut yang di dalamnya terdapat air,” ungkapnya.
Toh, faktanya, anakan sagu itu mati semua. “Atas gagalnya program ini, dinas harus bertanggungjawab,” ujar Thimotius Balagaize. Dia mengatakan, jika usulan masyarakat diterima untuk menanam sagu di musim hujan, semua anakan pohon itu pasti hidup. Benarkah?
Melkias Gebze membuktikannya. Oleh karena semua anakan pohon sagunya mati, ujarnya, “Saya mengambil inisiatif menanam kembali anakan pohon sagu sebanyak 20 pohon saat musim hujan dan kini semuanya hidup.” (*)
Editor: Yuliana Lantipo