Tanah Papua kekurangan guru lebih 30.000 orang

papua
Felisa (tengah) bersama siswa SD Inpres Suntamon, Kabupaten Yahukimo. - Jubi/Dok. Pribadi.

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Ketersediaan guru di Tanah Papua masih sangat kurang untuk mengajar anak-anak Papua, terutama di daerah yang penduduknya dominan Orang Asli Papua.

Read More

Akademisi Universitas Papua Agus Sumule mengatakan jumlah guru di Tanah Papua masih kurang dan persebarannya tidak merata. Ketersediaan guru di daerah wilayah dominan Orang Asli Papua jauh lebih sedikit dibandingkan wilayah non Orang Asli Papua.

Menurut Sumule kekurangan guru di Tanah Papua mencapai 20.147. Di antaranya di Provinsi Papua kekurangan guru SD 7.038 orang, SMP sebanyak 3.973 orang, SMA sebanyak 1.217, dan SMK 1.162 orang. Kekurangan ini ditambah lagi dengan guru yang akan pensiun sebanyak 1.250 orang.

Sedangn di Papua Barat kekurangan guru SD sebanyak 2.313 orang, guru SMP 1.429 orang, guru SMA 747 orang, SMK 514 orang, dan guru yang akan pensiun 504 orang.

“Diperkirakan kekurangan tenaga guru lebih 30.000,”katanya.

BACA JUGA: UNICEF dampingi 120 SD di Tanah Papua dalam program literasi

Sumule mengatakan hingga 2019 di wilayah dominan Orang Asli Papua kekurangan tenaga guru, seperti di daerah Jayawijaya, Mamberamo Tengah, Yahukimo, Yalimo, Nduga, Tolikara, Lanny Jaya, Pegunungan Bintang, Paniai, Deiyai,  Dogiyai, Intan Jaya, Puncak Jaya, dan Puncak. Di daerah-daerah tersebut kekurangan guru PAUD sebanyak 427 orang, SD 4.076 orang, SMP 1.916 orang, SMA 917 orang, dan guru SMK 430 orang. Total kekurangan tenaga guru 7.766 orang.

“Ini mengidentifikasikan bahwa banyak guru yang ditempatkan pemerintah di daerah tersebut mangkir dari tempat tugas. Studi UNICEF pada 2012 menunjukkan 30 persen guru di Papua dan Papua Barat mangkir mengajar,” ujarnya.

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Papua tersebut mengatakan perlu adanya program pengadaan guru untuk mengatasi kekurangan guru di Tanah Papua. Pengadaan guru harus dibarengi dengan penerapan sekolah sepanjang hari, pengadaan tenaga administrasi, pustakawan, spesialis teknologi  informatika, dan perbaikan infrastruktur sekolah seperti gedung sekolah, kantor, listrik, toilet, air bersih dan jaringan internet.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 106/2021 Pasal 7 ayat (3) menyatakan pemerintah kabupaten/kota sudah harus menyelesaikan kekurangan tenaga guru SD paling lambat 7 (tujuh) tahun melalui program pendidikan guru SD dua tahun bagi lulusan SMA dan SMK.

“Karena kekurangan guru SD kurang lebih 12.000 orang, maka itu berarti harus tersedia lulusan pendidikan guru SD paling sedikit 2.400 orang setiap tahun sejak 2024,” katanya.

Apabila kebutuhan guru SMP, SMA, dan SMK dipenuhi melalui program Pendidikan Profesi Guru dua semester, kata Sumule, maka harus tersedia tiga ribu guru profesional setiap tahun sejak 2003 hingga 2007. “Target yang tidak mudah dicapai,” ujarnya.

Menurut Sumule mereka yang dilatih menjadi guru profesional sebaiknya OAP muda yang memenuhi syarat, serta direkrut dari daerah-daerah yang kekurangan guru dengan melibatkan lembaga-lembaga agama dan lembaga adat. Dengan demikian para guru profesional yang dilatih adalah benar-benar terpanggil dan akan betah bekerja di lapangan sebagai guru kelas, guru masyarakat, dan guru “jemaat”.

“Hal-hal lain yang perlu diperhatikan di antaranya adalah lembaga-lembaga pelatihan guru di Tanah Papua, fasilitas pelatihan, pendanaan pelatihan, penempatan guru dan fasilitas bagi guru di tempat tugas,” ujarnya.

Felisa, seorang guru, mengatakan sebenarnya ada kemauan guru untuk mengajar di daerah pedalaman Papua. Namun, harus dibarengi dengan jaminan keamanan bagi guru tersebut.

“Sebenarnya banyak yang mau, tapi ya itulah, kadang usaha kita tidak dihargai. Mau hadir di pedalaman tapi siapa yang sanggup bertahan kalau pulang tinggal nama,” katanya.

Felisa pernah mengajar di SD Inpres Suntamon di Kabupaten Yahukimo pada 2018. Ia dikontrak melalui program Yayasan Indonesia Cerdas. Ia bersama lima temannya hanya bertahan selama setahun mengajar di sana.

“Tapi tiba-tiba saja ada kelompok orang yang susun rencana untuk usir kami saat pimpinan di daerah itu tidak ada di tempat,” ujarnya.

Menurut Felisa selama setahunia mengabdi di Yahukimo masyarakatnya sangat baik dan ramah. Masyarakat bahkan selalu membawakan mereka sayuran dan ubi.

Namum, karena alasan keamanan Felisa dan teman-temannya memutuskan tidak kembali mengajar di sekolah tersebut. Saat ini Felisa mengajar Bimbingan Konseling di SMK YPPK Teruna Bakti Waena.

“Mereka (masyarakat) minta kami untuk kembali, tapi kami tidak kembali karena memang kami takut terjadi sesuatu,” katanya. (*)

Editor: Syofiardi

Related posts

Leave a Reply