Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Nabire, Jubi – Puluhan mahasiswa/i Papua di Malang tidak dapat melanjutkan acara Nonton Bareng dan diskusi di asrama mahasiswa Papua IPMAPAPARA Malang. Mereka dibubarkan paksa oleh aparat keamanan, ormas tidak jelas dan oknum-oknum intelkam berpakaian preman.
Malam itu, 1 Juli 2018, sekitar pukul 18.00 WIB, Musa Pekei sedianya akan menjadi pemantik diskusi pada Nobar (Nonton Bareng) film Sejarah Papua (terkait sejarah Presidium Dewan Papua) dalam rangka memeringati hari Proklamasi West Papua 1 Juli 1971.
Namun kegiatan yang dilaksanakan di Sekretariat IPMAPAPARA (Ikatan Mahasiswa Papua Paniai Raya) di Jl.MT.Haryono Gang 8C, No.986B Dinoyo, Malang, itu urung dilanjutkan. Para mahasiswa dibubarkan paksa, bahkan beberapa diantaranya kena pukul aparat berpakaian preman. Mereka juga ditekan, diancam dan dicaci maki dengan kata-kata kasar.
Pasalnya, aparat gabungan yang datang bersama ketua RT setempat itu tidak terima pelaksanaan kegiatan nonton dan diskusi itu. Sebelum membubarkan, sempat terjadi adu mulut antara aparat dan pihak penyelengara diskusi.
"Pada saat terjadinya perdebatan kemudian salah satu anggota intel polrestabes menyampaikan kalimat “Periksa-periksa” kepada anggota yang lainya. Kemudian salah satu dari anggota Intelkam Polrestabes Surabaya, mengambil salinan materi diskusi dan melihat judul materi. Setelah membaca materi mereka mengatakan: 'kami melarang Diskusi maupun Aksi yang bersifat menentang negara, dan diskusi ini sudah menentang negara, maka secara tegas kami membubarkan diskusi ini dan tidak usah ada lagi untuk melanjutkan, karena kalian berada didalam negara kesatuan NKRI'" demikian ungkap Andy Irfan J, Sekjend Federasi KontraS dalam pernyataan sikap mereka yang diterima Jubi (2/7/2018).
Karena yakin acara itu adalah hak mereka, para mahasiswa tidak mau membubarkan diri. Spontan adu mulut pun terjadi antara oknum intel tersebut dengan salah satu mahasiswa Papua peserta diskusi hingga situasinya mulai memanas. Hal itu turut memancing emosi peserta diskusi lainnya apalagi intel tersebut mengeluarkan kata-kata kasar berupa cacian dan makian, tulis KontraS mengutip kronologi peristiwa pesekusi Minggu malam itu.
Dihubungi terpisah, kepada Jubi, Selasa (3/7/2018), Musa Pekei membenarkan terjadinya peristiwa tersebut. Mahasiswa asal Paniai yang berkuliah di Jurusan Hubungan Internasional di salah satu Perguruan Tinggi Kota Malang itu bahkan terkena pukulan dua kali di kepala oleh benda tumpul. Motornya juga diambil paksa.
Musa mengakui bahwa selama delapan tahun mereka mengontrak di tempat itu, hubungan dengan warga berlangsung baik. "Selama ini dengan warga setempat kami baik baik saja. Yang bikin kacau itu ormas tidak jelas, BIN, dan (aparat) pakaian preman," paparnya.
Seperti dilansir dalam kronologi pihak Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Malang, 1 Juli 2018, tak saja melakukan persekusi, para aparat tersebut juga mengambil paksa peralatan elektronik dan barang-barang pribadi mahasiswa.
"Mereka menyita Laptop 8 unit, 2 HP Oppo, 2 HP Samsung, 1 Proyektor, dan barang-barang lainnya… bahkan beberapa barang di dalam kontrakan (sekretariat) dirusaki seperti pintu yang ddidobrak, alat-alat masak, makan dan minumanpun ditendang dan dihancurkan," ungkap kesaksian mahasiswa di dalam kronologi mereka.
Menurut pengakuan mereka setidaknya 10 orang mahasiswa/i yang diambil paksa barang-barang pribadinya, dan tujuh orang mengalami kekerasan.
Sekjend Federasi KontraS dan Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya dalam pernyataan mereka mengecam tindakan berlebihan aparat gabungan tersebut. Apalagi ini bukan kejadian pertama.
Selama 2017, persekusi serupa juga terjadi sebanyak dua kali. "Kali pertama saat malam keakraban IPMAPA 2017, lalu pada pemutaran film Freeport 2017, dan ketiga 2018 kejadian malam lalu," ungkap Musa Pekei saat dikonfirmasi Jubi melalui pesan singkat di akun media sosialnya.
"Peristiwa ini merupakan alaram tanda bahaya bagi masa depan demokrasi bangsa indonesia, dalam kontek ini negera abai terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana telah diatur dalam pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas memberikan hak setiap warga atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat," tulis KontraS.
Atas persekusi itu, Kepolisian Republik Indonesia diminta melakukan evaluasi atas sikap, tindakan dan perilaku aparat dibawahnya yang secara jelas dan nyata anti-demokrasi, melanggar konstitusi, dan menyepelekan hak warga untuk berkumpul dan berekspresi. Mereka juga menuntut Pemerintah Jokowi memastikan perlindungan HAM dan pemenuhan keadilan kepada Rakyat Papua.
Tuntut balik
Malam itu juga, sekitar pukul 21.30 rombongan mahasiswa/i yang tidak terima perlakuan sewenang-wenang dan disriminatif para persekutor mendatangi Mapolresta Malang. Mereka longmarch dari Dinoyo Lowokwaru ke Mapolresta Malang Klojen sejauh 5 km.
"Saya ikut dalam rombongan itu. Malam itu kami menuntut agar besok ada pertemuan mediasi bersama Kepala Polresta Kota Malang dan DPRD Malang, agar menjamin tidak boleh lagi memata-matai dan mengganggu aktivitas Mahasiswa Papua di Malang," ujar Musa Pekei kepada Jubi.
Menurut Musa, pertemuan tersebut terjadi pada Senin, 2 Juli pukul 14.00 WIB di Aula Kantor Polres Malang. "Kami pertemuan mediasi difasilitasi oleh Polresta Malang, Dandim 0833, Plt. Walikota Malang. Tapi tidak ada penengah di mediasi ini. Kami juga tidak punya kuasa hukum yang bisa berperan sebagai mediator," kata Musa.
Walhasil pertemuan yang turut dihadiri wakil Kelurahan Dinoyo itu menurut Musa jadi berat sebelah. "Hasil pertemuan menyangkut masalah kontrakan, perpanjangannya dan klarifikasi yang lebih memihak pada warga setempat. Semua kata-kata dari pihak AMP tidak direspon baik. Mereka belokkan ke masalah kontrakan saja, bukan pokok perkara," ungkap Musa yang duduk di semester akhir bangku kuliah ini.
Peristiwa persekusi malam itu tidak lantas menyiutkan nyali mahasiswa. Walau sejak malam itu mereka akhirnya diusir oleh pemilik kontrakan, Musa, yang juga wakil ketua badan pengurus IPMAPAPARA 2016-2018, yakin hal itu hanyalah dampak akibat pemilik yang ditekan oleh aparat. Apalagi mereka sudah delapan tahun menghuni tanpa masalah.
"Ini adalah perlakuan diskriminasi. Pengeroyokan, intimidasi, teror, dan fitnah yang dilakukan oleh kelompok ormas reaksioner yang dekat dengan militer dan Polri adalah murni pelanggaran HAM. Perlakuan mereka pada kami di Malang tidak manusiawi," kata Musa sambil menuntut pada pihak berwenang agar menangkap dan mengadili pelaku persekusi tersebut.
"Data kami lengkap, kami sudah visum dan lain-lain. Semoga bisa ada mediator yang lebih adil," ujar Musa. (*)