Papua No.1 News Portal | Jubi

Oleh Kurt Johnson di Suva

Tradisi pribumi Fiji, tabu – untuk menyisihkan sebuah zona penangkapan ikan sebagai daerah terlarang – digunakan untuk membantu melestarikan terumbu karang Fiji bagi generasi mendatang

Vesikara Mosese dan pamannya, Kinikoto Mailautoka, sedang menurunkan sauh di kawasan terumbu karang Navakavu, mengambil landak laut untuk makan siang mereka. Di bawah perahu yang bergeser akibat riak air laut, air lautnya jernih, meskipun ibu kota Fiji yang ramai, Suva, berada tidak jauh dari daerah itu dan mudah ditempuh dengan berjalan kaki.

Ketika keluar untuk menangkap ikan, Vesikara dan para nelayan lainnya dengan hati-hati mengitari daerah tabu – dibaca TAM-bo – zona larang tangkap ikan yang dibatasi oleh pilar-pilar ditutupi oleh teritip yang tertanam di lantai terumbu karang.

Daerah tabu ini adalah salah satu alat tradisional bagi banyak komunitas di Fiji. Diperkenalkan kembali di perairan Fiji setelah puluhan tahun tidak digunakan, penerapan tabu ini mewakili kembalinya metode tradisional dalam pengelolaan terumbu karang dan perikanan di Fiji. Mereka berharap bahwa kearifan lokal ini, digabungkan dengan ilmu pengetahuan modern, bisa memungkinkan populasi desa yang terus bertumbuh untuk hidup dari qoliqoli – tempat penangkapan ikan – yang telah mereka miliki selama ribuan tahun.

Tidak menyadari adanya zonasi, sekelompok dari ikan electric blue berenang melalui karang yang berwarna-warni di bawah perahu Vesikara. Terumbu karang di daerah itu tidak selalu sehat seperti ini.

Pada akhir tahun 90-an di seluruh Fiji, dan di seluruh wilayah Pasifik, krisis perikanan mencapai titik puncak. Model manajemen perikanan kolonial yang menekankan sentralisasi kekuasaan, serta eksploitasi komersial telah menyebabkan jatuhnya jumlah populasi ikan.

“Ikan-ikan menjadi terlalu kecil. Terumbu karang mati karena polusi limbah plastik dari Suva dan minyak dari kapal,” menurut Hemo Marvela, ketua dari kawasan perlindungan laut ini.

“Kalian tahu ada generasi yang akan datang. Itu sebabnya kita ingin melindungi terumbu karang. Itulah satu-satunya alasan kita.“

Akibatnya, teknik manajemen masyarakat tradisional kembali bangkit, dimana tanggung jawab untuk memantau kesehatan qoliqoli kembali ke tangan masyarakat setempat yang hidup darinya.

Austin Bowden-Kerby, seorang ilmuwan bidang kelautan yang telah mendedikasikan karirnya dalam bidang konservasi terumbu karang di Pasifik dan Amerika tengah, mengenang bagaimana ide untuk menggunakan tabu dihidupkan kembali saat konsultasi masyarakat.

“Ada satu hal yang dulunya dilakukan oleh leluhur kita sudah lama belum kita lakukan – kita akan membuat daerah tabu. Kita akan membatasi daerah terumbu karang dengan tongkat-tongkat yang di atasnya diikat daun kelapa. Dan itu berarti kalian tidak bisa menangkap apa pun di dalam daerah karang itu. Itu mengisyaratkan daerah yang suci. Selama 40 atau 50 tahun terakhir tradisi ini belum dipraktikkan lagi.”

Dalam tradisi Fiji, tabu adalah penutupan sementara sebagian daerah penangkapan ikan masyarakat selama 100 hari setelah kematian seorang kepala suku, sebelum acara peringatan diadakan. Konsep tabu modern, yang digunakan dalam pengelolaan perikanan di Fiji, adalah untuk memperpanjang penutupan itu tanpa batas waktu.

Maka, dari hasil konsultasi ini, muncul sebuah proyek percobaan dimana lima area dialokasikan sebagai zona larangan tangkap ikan permanen.

“Mereka berkata, ‘Kita akan memulai kembali budaya kita,’” tutur Bowden-Kerby.

Kabar mengenai hasil tangkapan ikan yang meningkat lalu menyebar dari desa ke desa. Saat ini, ada sebuah jaringan yang terdiri dari 400 komunitas di Fiji yang dikenal sebagai kawasan kelautan yang dikelola masyarakat lokal atau Fiji Locally Managed Marine Areas (FLMMA), yang menerapkan metode pengelolaan perikanan tradisional yang seringkali sudah diabaikan selama beberapa dekade.

Marvela adalah ketua dari sebuah komite beranggotakan empat orang, yang mengelola daerah terumbu karang Navakavu melalui sistem kepemimpinan lokal.

Menurutnya kesehatan daerah karang itu masih baik, namun mereka juga ada persoalan, khususnya akibat penangkap ikan gelap. “Mereka datang saat malam hari – selalu di malam hari.“

Komite itu bertugas untuk mengelola penggunaan daerah Navakavu, untuk memantaunya, dan mereka juga menghadapi persoalan mereka sendiri. Mereka memiliki satu kapal yang digunakan untuk berjaga-jaga terhadap penangkap ikan liar, tetapi kapal itu dicuri bertahun-tahun yang lalu. Sudah muak, Marvela berkata ia bahkan ingin menjadikan daerah terumbu karang Navakavu sebagai kawasan lindung yang diatur pemerintah. Ini berarti polisi bisa dipanggil untuk menghentikan para penangkapan ikan liar.

Tetapi itu juga berarti pemerintah di Suva akan kembali lagi mengelola qoliqoli mereka.

Di desanya, Vesikara dan Mailautoka, yang mengambil landak laut dan memakannya dengan irisan buah cabai dan perasan lemon. “Harganya masing-masing sekitar $25 di pasar di Suva.” kata Mailautoka.

Dengan pendapatan seperti itu, daya tarik – dan risiko – penangkapan ikan gelap sudah jelas, dan perubahan selera kuliner global dapat berujung dengan hancurnya qoliqoli.

Teripang, yang memainkan peran penting dalam membersihkan dan aerasi pasir, telah ditangkap hingga hampir punah, untuk memenuhi permintaan pasar Asia. Namun, kearifan tradisional yang didukung oleh sains modern dapat membantu melindunginya dari ancaman yang kian meningkat. (The Guardian)

 

Editor: Kristianto Galuwo