Papua No. 1 News Portal | Jubi
Dibuang ke Digul, Tanah Merah, Papua pada 1935. dituduh terlibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap Belanda pada 1926/1927.penyemai nasionalisme Indonesia pertama di tanah Papua.
Yogyakarta, Jubi – Pernah ada laki-laki Jawa dipasang Belanda di Papua.Tujuannya, menanamkan nasionalisme Papua. Supaya orang Papua setia kepada pemerintah Belanda. Tapi ini jadi lain cerita. Karena yang ditunjuk itu adalah Soegoro Atmoprasodjo.
Adalah Jan Pieter Karel van Eechoud. Seorang Belanda pentolan Netherlands-Indies Civil Administration (NICA). Pada 1944, dia bikin sekolah polisi dan pamong praja di Hollandia (Jayapura). Soegoro, ditunjuk jadi direktur pertama di sekolah pamong praja itu.
Lahir di Yogyakarta, 23 Oktober 1923. Soegoro aktif di Perguruan Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara. Dia juga aktivis Partai Indonesia (Partindo).
Pada awal pendudukan Jepang, pemerintah Belanda membawanya ke Australia. Begitu Jepang kalah, dia kembali dibawa ke Papua dan bekerja di Sekolah Pamong Praja.
Bernarda Meteray dan Ode Jamal, dalam risetnya “Pertumbuhan Kesadaran Nasionalisme Indonesia di antara Orang Papua di Jayapura 1945-1949” (Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Cenderawasih, 2019) menulis, kursus singkat Pamong Praja di kota NICA (sekarang Kampung Harapan, Sentani, Jayapura), terdiri dari 12 barak. Selain dijadikan asrama, juga digunakan untuk kursus kilat pamong praja atau sekolah bestuur, kursus mantri, dan Sekolah Sambung untuk anak laki-laki (Jongens Vervolgschool=JVVS).
Sekolah Bestuur hanya berlangsung 6 bulan sementara JVVS berlangsung terus menerus selama itu. Kala itu terdapat 40 orang asli Papua sebagai calon pamong praja yang tinggal di asrama. Dorang-dorang jadi elit Papua pertama itu antara lain; Markus Kaisiepo, Lukas Rumkorem, Lisias Simbiak, Frans Kaisiepo, Nikolas Youwe, Marten Indey, Silas Papare, Baldus.Mofu, O. Manupapami. Semuel Demianus Kawab dan Herman Wayoi.
Menurut Corinus Krey, Soegoro Atmoprasodjo merupakan orang pertama yang memperkenalkan nilai-nilai nasionalisme Indonesia kepada siswa Pamong Praja. Dia mengajarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Marthen Indey berkisah, setiap tengah malam lewat pukul 24.00, Soegoro dan Corinus Krey diam-diam memantau siaran RI Yogya serta pemancar Komite Kemerdekaan Indonesia di Australia. Ada kelas gelap terselenggara di luar kurikulum resmi kursus itu.
Baca Juga:Cucu pejuang asal Sulsel tolak kompensasi pengadilan Den Haag
Soegoro juga menyebar surat kabar Penyuluh secara diam-diam kepada para siswa, guru dan pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kota NICA.
“Soegoro merencanakan pemberontakan dengan melibatkan siswa di kota Nica dan anggota batalion Papua antara lain Corinus Krey, Marcus Kaisiepo, Lukas Rumkoren, Lisias Rumbiak, Frans Kaisiepo, dan dua orang asal Sumatera, yaitu Sutan Hamid Siregar dan Aran Panjaitan. Soegoro juga mengajak eks tentara Heiho yang kebanyakan berasal dari Sumatera dan Jawa,” tulis Martin Sitompul lewat artikelnya “Soegoro Atmoprasodjo, orang pertama yang memperkenalkan-nasionalisme Indonesia di Papua” (historia.id-12 Agustus 2015.
Soegoro bikin gerakan bawah tanah menentang pemerintah Belanda. Namanya IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland).
Pemberontakan itu, sedianya akan dilancarkan pada 31 Agustus 1945. Tapi rencana itu duluan tercium pemerintah Belanda. Sekira 250 eks Heiho ditahan. Soegoro dipenjarakan di Hollandia (Jayapura).
Di penjara, Soegoro kembali merencanakan dua pemberontakan pada Juli 1946 dan Januari 1947, yang melibatkan Marthen Indey, Corinus Krey, Bastian Tauran, sebelas orang Ambon yang bekerja sebagai tukang reparasi, tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), anggota batalion Papua, dan 30 pemuda Papua yang berasal dari sekitar Danau Sentani.
Lagi-lagi rencana itu gagal, gara -gara seorang anggota batalion Papua membocorkannya kepada pemerintah Belanda. Soegoro dihukum 14 tahun, semula di Hollandia kemudian dipindahkan ke penjara Tanah Merah, Merauke.
Pada 5 April 1947, Soegoro dan Willem Nottan asal Tual Kei yang dihukum sepuluh tahun, serta lima tahanan lainnya, berhasil kabur dari penjara Tanah Merah, Merauke.Mula-mula mereka menyeberang ke Papua Nugini, lalu ke Australia.
Pada 1950, Soegoro kembali ke Indonesia dan bekerja di Departemen Luar Negeri. Jelang kembalinya Papua ke pangkuan Republik Indonesia, Soegoro jadi delegasi Indonesia dengan kedudukan sebagai penasihat dalam pemerintahan transisi UNTEA (United Nations United Nations Temporary Executive Authority). Para anak didiknya di Papua menyebut Soegoro sebagai “Bapak IRIAN”.
Bernarda menulis, proses mengindonesiakan orang Papua masih dalam tahap penyemaian sejak periode 1945 hingga 1949. Pasca integrasi 1963, pemerintah telah menjadikan hampir seluruh wilayah Papua yang belum nasionalis termasuk daerah pedalaman, sebagai daerah sasaran operasi militer.
Sejak itu, nasionalisme Indonesia dijejalkan bersama peluru dan rangkaian kekerasan tak sudah-sudah.(*)
Editor: Angela Flassy