Siswa SMAN Aceh Selatan Belajar di Lantai

Tapaktuan, Aceh, Jubi/Antara – Pembangunan SMAN-1 Kota Bahagia, Kabupaten Aceh Selatan, senilai Rp 1,6 miliar tidak dilengkapi dengan meja dan kursi sehingga para siswa terpaksa belajar di lantai.

Ketua Komite SMAN-1 Kota Bahagia, Junaidi, di Tapaktuan, Kamis (20/8/2015), mengatakan pihaknya merasa heran dan tak habis pikir kenapa proyek pembangunan unit sekolah baru melalui dana bantuan sosial tahun 2014 itu tak dilengkapi dengan mebelair.

Meskipun sekolah tersebut telah diserahterimakan dan sudah difungsikan sejak Juli tahun 2015, namun meja kursi untuk belajar belum lengkap.

Sebelumnya, para siswa SMAN-1 Kota Bahagia menumpang di TPA Bustanul Huda, Desa Buket Gadeng, Kecamatan Kota Bahagia.

Padahal, saat tim dari pusat minta pertanggungjawaban laporan pembangunan sekolah tersebut justru harus dilengkapi dengan mebelair.

“Saya tidak tahu dimana diambil foto bangunan sekolah yang dilengkapi dengan mebelai oleh pihak Dinas Pendidikan Aceh Selatan,” kata Junaidi, kepada wartawan yang berkunjung ke sekolah tersebut.

Anehnya lagi, sambung Junaidi, proyek pembangunan SMAN Kota Bahagia tersebut bersumber dari dana Bansos yang seharusnya sistem pekerjaannya dilaksanakan secara swakelola pihak sekolah bersama Komite Sekolah. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan justru langsung ditangani Dinas Pendidikan.

“Saya selaku Ketua Komite Sekolah tidak pernah dilibatkan dalam pekerjaan proyek itu, kecuali hanya pada saat pengukuran lahan mau dimulainya pekerjaan proyek, namun setelah itu tidak pernah dilibatkan lagi. Saya juga tidak tahu kepada siapa proyek itu diserahterimakan, sebab kami selaku komite tidak pernah tahu apakah sudah diserahterimakan atau belum,” ungkapnya.

Dia mengatakan setelah proses belajar mengajar siswa dipindahkan ke gedung baru itu, pihaknya telah pernah mempertanyakan kepada pihak Dinas Pendidikan kenapa gedung sekolah itu tidak dilengkapi dengan mebelair.

Saat itu, kata Junaidi, pihaknya juga pernah minta melihat Rencana Anggaran Biaya (RAB) pembangunan sekolah itu kepada Dinas Pendidikan, namun permintaan itu tidak direspon.

“Saat saya pertanyakan kenapa tidak dilengkapi mebelair, pejabat di Dinas Pendidikan Aceh Selatan menyarankan kepada kami agar mengambil kursi dan meja di SD Seunebok Keuranji. Namun arahan itu kami tolak karena dapat mengganggu proses belajar mengajar di SD tersebut,” katanya.

Di sisi lain, Junaidi juga mengaku bahwa pihaknya merasa sangat kecewa terhadap realisasi pembangunan SMAN 1 Kota Bahagia tersebut, karena pembangunan gedung sekolah yang terdiri dari tiga ruang kelas belajar, ruang kepala sekolah dan dewan guru, tata usaha, laboratorium dan Pustaka itu, hasil pekerjaannya sangat tidak memuaskan.

Hasil pantauan di lokasi, bangunan sekolah yang baru selesai dibangun tahun 2014, kondisi dindingnya sudah mulai retak-retak, pondasi mulai turun karena diduga timbunan tidak padat, cat sudah pudar, kosen pintu dan jendela sudah renggang karena diduga kayu yang digunakan berasal dari kayu sembarang.

“Jika saja pembangunan sekolah ini diserahkan kepada pihak kami dengan sistem swakelola, tentu hasilnya tidak demikian. Bahkan jika anggaran lebih akan kami pergunakan untuk membangun pagar dan menimbun lahan sekolah ini termasuk pengadaan mebelair sehingga para siswa tidak perlu harus belajar di lantai,” katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Aceh Selatan, H Yusafran, yang di tanyai terkait persoalan itu menjelaskan sumber anggaran pembangunan SMAN 1 Kota Bahagia berasal dari bantuan NGO Negara Donor Australia yang dikucurkan dalam bentuk dana Bansos.

Sesuai petunjuk teknis dari Pusat (Kementerian Pendidikan Nasional), kata Yusafran, sistem pekerjaan proyek tersebut memang bukan swakelola melainkan langsung ditangani tim Panitia pembangunan yang di SK-kan oleh Dinas Pendidikan melalui persetujuan Bupati.

Yusafran juga mengakui bahwa dalam paket proyek pembangunan SMAN 1 Kota Bahagia tersebut tidak termasuk item pengadaan mebelair karena anggaran yang tersedia sebesar Rp 1,6 miliar tidak cukup.

“Sebenarnya, jika dikalkulasikan secara detail anggaran sebesar Rp1,6 miliar untuk pembangunan tiga ruang kelas belajar, Kantor Kepsek dan guru serta Tata Usaha, Laboratorium dan Pustaka serta WC umum jelas tidak cukup. Karena perhitungan anggaran oleh orang pusat berbeda dengan realisasi di lapangan, perhitungan orang Pusat dalam RAB Rp 1,8 juta/meter, sedangkan realisasi di lapangan mencapai Rp 4 juta/meter,” sebutnya.

Menurut Yusafran, berdasarkan hasil tinjauan lapangan dan laporan pertanggungjawaban yang telah diserahkan oleh pihaknya kepada pihak NGO Negara Donor Australia melalui Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta, realisasi pekerjaan proyek itu telah disetujui dan diterima oleh pihak Kementerian dimaksud, sehingga pihaknya menilai terkait pekerjaan proyek itu tidak ada masalah lagi.

Sedangkan terkait beberapa item pekerjaan proyek telah mulai rusak meskipun gedung sekolah itu baru selesai dibangun tahun 2014, menurut Yusafran kondisi itu wajar dan lumrah terjadi karena gedung sekolah itu sudah mulai difungsikan atau digunakan selama ini.

“Hal itu (kondisi beberapa item rusak) maklum sajalah, karena bangunan itu sudah digunakan selama ini,” ucapnya.

Ia menyatakan terkait pengadaan mebelair dan pembangunan pagar sekolah telah dianggarkan dalam APBK 2015 dan akan dikerjakan dalam waktu dekat ini. (*)

Related posts