Setop wartawan amplop

Papua No. 1 News Portal | Jubi , 

Jayapura, Jubi – Fenomena wartawan amplop, menjadi problem serius dalam jurnalisme. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan amplop sebagai “uang sogok” selain sebagai “sampul surat”.

Dikatakan Ketua Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo, ada banyak faktor yang melanggengkan budaya wartawan amplop, di antaranya menyangkut profesionalisme dan rendahnya kesejahteraan wartawan.

"Karena itu, Dewan Pers mendorong uji kompetensi wartawan yang sekarang terus digalakkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia ( IJTI). Minimal, wartawan yang telah diuji kompetensi tidak akan meminta-minta uang kepada narasumber," katanya, saat ditemui Jubi dalam kegiatan Dewan Pers, di salah satu hotel di Kota Jayapura, Provinsi Papua, Senin (15/10/2018).

Ketika telah mengantongi sertifikat uji kompetensi, kata Stanley, wartawan harus berhati-hati dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik.

"Jika kedapatan sertifikasinya dicabut, tapi harus ada laporan. Apalagi mengancam dan hanya melakukan kerja jurnalistik jika dibayar. Itu bukan wartawan. Kewajiban narasumber untuk menolak dan menandai orang-orang (wartawan) seperti itu," jelasnya.

Selain itu, kata dia, para narasumber yang pernah ditemui wartawan amplop, jangan menggeneralisir atau menyama-ratakan semua wartawan melakukan hal serupa.

"Masih banyak wartawan baik di Papua ini yang mengusung idealisme tinggi. Terima mereka, layani mereka," katanya.

Tambahnya, kesejahteraan wartawan yang bekerja di perusahaan media pun perlu diperhatikan. Dewan Pers sendiri berupaya mengajak Serikat Perusahaan Pers (SPS), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), agar bisa membuat workshop-workshop terkait peningkatan ekonomi perusahaan pers.

"Karena kita tahu media cetak sedang terpuruk, sementara media online berkembang banyak, tapi tidak ada sumber ekonomi yang lain," katanya.

Hal itu, kata Stanley, membuat sebagian perusahaan media masih mengandalkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

"Kalau itu diperebutkan dan tidak ada kepercayaan kepada bisnis media, bagaimana media bisa tumbuh secara ekonomi? Kue iklan nasional kita saja 70 persen ke televisi, 25 persen ke media cetak, sisanya baru ke media-media lainnya," jelasnya.

Sementara Ketua AJI Kota Jayapura, Lucky Ireeuw, mengatakan media sekaligus wartawan "abal-abal" di Papua sejauh ini sulit dikontrol.

"Sudah jelas mereka (wartawan) datang dengan kepentingan tertentu. Misalnya kepentingan finansial," katanya.

Praktik tersebut, kata Ireeuw, melanggar Kode Etik Jurnalistik apalagi ada unsur pemerasan.

"Narasumber bisa melaporkan ke AJI jika ditemui praktik-praktik seperti itu. Bahkan untuk pemerasan, bisa langsung ke polisi," katanya.

Lanjutnya, AJI mendukung penuh langkah Dewan Pers, untuk mendorong verifikasi perusahaan media dan sertifikasi wartawan di Papua.

"Kami mendapat laporan ada media-media yang sering menduplikasi media mainstream (arus utama). Ada juga media yang identitasnya tidak jelas, dari susunan redaksi dan alamatnya," katanya.

Ireeuw yang juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred) Cenderawasih Pos (Cepos) ini, pernah menemukan media yang menduplikasi nama perusahaan medianya di online.

"Namanya mirip dengan Cepos online. Dikloning. Tapi isinya jauh dari standar jurnalistik dan bukan produk dari Cepos sendiri. Jubi juga ada (diduplikasi). Nanti ini dilaporkan ke Dewan Pers dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, untuk bisa diteliti karena merugikan media-media yang sebenarnya," katanya.

Stigma buruk terhadap wartawan di Papua, diperparah dengan praktik wartawan amplop. Beberapa wartawan yang melakukan kerja jurnalistik dan taat kode etik, seringkali dibenturkan dengan penolakan narasumber yang mengaku tidak memiliki uang untuk membayar.

Salah satu kepala sekolah di Kota Jayapura, pernah menolak diwawancarai dengan alasan tidak memiliki uang. Menurutnya, pemberian uang kepada wartawan seolah wajib agar berita kegiatan sekolah dimuat, karena beberapa wartawan yang ia temui mensyaratkan itu.

Beberapa pejabat pemerintahan mengakui hal serupa. Penolakan wawancara sering terjadi, meski sebagian wartawan telah menjelaskan kerja-kerja jurnalistik tidak perlu dibayar.

Tak hanya dari lembaga pemerintahan, beberapa seniman di Papua pernah mengalami hal serupa. Di saat menggelar kegiatan, sering ditemui sejumlah wartawan yang minta dibayar agar beritanya dimuat. (*)

Related posts

Leave a Reply